Index

Happy New Year 2015

Happy New Year 2015!!!

Teeeeetttttt…!!!

Sebenarnya udah telat (pake banget!) kalo ngomongin tahun baru saat ini. Udah hampir satu minggu juga. Hahaha. Tapi gak apa-apalah. Masih ada kok sisa-sisa kegembiraan menyambut tahun baru kok (seenggaknya dalam benak gue, hehehe).

Tahun 2014 kemarin bisa dibilang tahun yang cukup sibuk buat gw atau seenggak-enggaknya gw yang sok menyibukkan diri, hihihih. Tapi tahun 2014 juga menorehkan banyak moment-moment penting di kehidupan gw, salah satunya gw berhasil menyematkan satu title di belakang nama gw ini dengan IP yang memuaskan! (pamer dikit nggak apa-apa ya?? :D). So, masa-masa sulit dalam menyelesaikan skripsweet sudah berakhir. Masa-masa mencari dan mengolah data sudah berakhir. Masa-masa bolak-balik nyari dan nemuin pembimbing sudah berakhir (btw, thanks ya Pak dan Bu pembimbing yang udah ngasih nilai gede buat gw, :*). Masa-masa menegangkan saat disidang juga sudah berakhir and finally gw diwisuda!!! Hufffhhhh, kalo dilihat lagi ke belakang… Hmmm, someday I will miss that moment….

Oke, kelar ngomongin soal bangku kuliah. Sekarang saatnya untuk melangkah ke kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan di mana gw harus lebih mandiri dan bisa mengaplikasikan ilmu yang sudah gw dapat dan gelar yang udah gw sandang. Ini lebih berat dari ngelarin skripsi kayaknya… Karena itu di tahun 2015 ini harapannya semoga yang terbaik buat gw. Buat kalian juga. God will guide us through it all.. He will help us and care for us.. He will help you understand things better.
Eh, lupa. Semoga ditengah segala kesibukan gw masih bisa Santay. Supaya bisa akrif lagi di blog ini. Hehehehe.
Satu lagi, gw minta maaf juga kalo terkesan menelantarkan blog ini dan updaten ceritanya jadi tersendat-sendat.

I am A Slave for U: I’ll Volunteer Part Three

Slave Part One|Slave Part two|Volunteer Part One|Volunteer Part Two

I’LL VOLUNTEER PART THREE.
Wahyu terbangun saat hari sudah gelap. Dan ia mendapati tubuhnya sudah terbungkus selimut yang hangat dan tebal.
Wahyu memegang kepalanya. Rasa pusingnya sudah hilang, meskipun kepalanya masih terasa berat. Ia langsung bangun dan menyibak selimut dan menyusuri lekuk tubuh telanjangnya. Kilasan kejadian yang sudah berlalu kembali mengambang di benaknya.
Cowok itu— Rizky kemana dia?
Wahyu melihat sekeliling ruangan, mencari pakaiannya. Tapi ia tidak menemukannya. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada pintu kecil yang menuju exe-room. Ia teringat dengan foto-foto yang memenuhi dinding ruangan.
Foto-foto siapa saja itu? Kenapa Rizky memajang foto-foto itu?
Wahyu bergerak menuju ruangan kecil itu. Ia menghidupkan lampunya dan cahaya temaram langsung menerpa meja lebar yang berada tepat di atas lampu dan di tenga ruangan. Pemandangan itu persis seperti ruangan penyelidikan yang kerap ditonton Wahyu dalam film-film hollywood.
Wahyu mulai meneliti foto-foto yang terpajang itu. Ada sekitar lima puluhan foto yang terpajang di sana. Siapa saja mereka? Kenapa semuanya laki-laki? Dan Wahyu akui, semuanya rupawan.
Otaknya langsung bisa memahamai dengan cepat. Kesemua foto ini pasti korban-korban Rizky.
Astaga! Sebanyak ini???!
Wahyu kembali meneliti foto itu satu persatu. Ia mencari foto dirinya. Jika memang ini daftar korban Rizky, pasti ada foto dirinya di sana.
Tapi apa yang ia temui justru diluar perkiraannya. Alih-alih menemukan foto dirinya, ia justru menemukan foto orang yang sudah sangat dikenalnya.
“Regi…?”
“Ada foto dia di sini? Kenapa?”
“Regi punya hubungan apa sama Rizky? Apa dia korban juga?”
Wahyu benar-benar bingung. Ia tiba-tiba meragukan asumsinya barusan.
“Nggak mungkin! Regi nggak mungkin korban Rizky.”
Lagi pula ia datang ke sini atas ancaman Rizky yang ingin menggantikan dirinya dengan Regi. Jadi pasti Regi bukan korban Rizky.
Tapi kenapa ada foto Regi di sini?
Sebuah pikiran melintas di benak Wahyu.
Astaga! Ia terlonjak kaget. Ini bukan daftar korban-korban Rizky. Tapi ini daftar mangsa Rizky selanjutnya.
Iya. Mereka dan Regi bermaksud dihancurkan juga sama Iblis berwujud manusia bernama Rizky ini.
“Gue nggak mungkin ngebiarin ini terjadi lagi!” Wahyu langsung bergegas keluar dari ruangan exe-room itu. Tapi langkahnya langsung terhenti sama sesosok tubuh yang berdiri santai di depan pintu.
Rizky.
Dada Wahyu langsung bergemuruh.
“Lagi ngapain?” tanya Rizky lalu menggigit apel merah di tangannya.
“Nggak apa-apa.”
“Akhirnya elu tahu juga…”
“Sepandai-pandai elu nyimpen bangkai, lama-lama baunya akan kecium juga.”
“Pribahasa itu sangat pas buat teman lu si Regi. Ya, ya…” Rizky mengangguk-angguk.
Wahyu menyipitkan matanya.
“Gimana keadaan elu? Gue takut banget elu out ketika liat wajah elu pucat banget.”
“Gue nggak bakal mati duluan, sebelum bisa membalas kelakukan elu. Setidaknya menghentikan niatan bejat elu itu!”
“Oh ya?”
“Jangan ganggu mereka. Mereka nggak punya salah sama elu. Jangan hancurkan hidup mereka.”
“Mereka? Siapa mereka?”
“Siapapun mereka, elu nggak berhak menghancurkan hidup seseorang. Gue udah bersedia datang dan menuruti kemauan elu. Kalo sampai Regi elu apa-apain, gue nggak perduli apapun. Gue bakal laporin elu ke polisi.”
“Jadi gue dan Regi bakal masuk penjara?”
“Regi?”
Rizky berjalan menghampiri Wahyu. Ia melabuhkan kedua lengannya ke pundak Wahyu.
“Sayang, kamu pernah nggak mikir kenapa kamu bisa ada di sini?”
Wahyu tak menjawab. Ia enggan untuk menjawab.
“Regi. Tanya sama teman elu itu.”
Wahyu menatap wajah Rizky.
Rizky mengangguk, lalu menggigit Apelnya lagi. “Mau?”
“Iya. Gue tahu semua gara-gara Regi. Karena dia punya teman satu sekolah seorang iblis berwajah manusia macam elu. Hanya sebatas itu. Tidak lebih!”
“Belum paham juga…” Rizky mendesah.
“Elu suka tempat ini?” Rizky mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Pasti elu lagi bernostalgia sama pengalaman seks pertama kita ya? Meja ini jadi alas saat elu ngasih keperjakaan elu ke Master-mu ini…” Rizky menyentuh permukaan meja.
Wahyu mencoba menghilangkan bayangan buruk itu.
“Kalo gue yang bilang Regi lah yang menggiring elu ke sini gimana?”
“Iya. Secara nggak sengaja. Karena dia nggak tahu—“
“Elu itu terlalu naïf, Yu. Regi nggak sebaik yang elu kira.”
Lantas Rizky pun membeberkan rencana yang sudah ia susun bersama Ken dan Regi.
“Elu mau memecah belah persahabatan kami?”
“Gue ngomong apa adanya. Sebenarnya gue kasihan sama elu yang dikibuli sama Regi. Dia itu salah satu slave gue.”
“Slave? Budak?”
“Sex-slave.”
“Budak Seks?”
“Yup. Dia sama kayak elu dan cowok-cowok yang barusan elu lihat fotonya di dinding. Semuanya itu mantan slaves gue.”
Tak bisa dipungkiri, Wahyu sangat terkejut.
“Dia adalah slave gue terlama.”
Wahyu geleng-geleng kepala. Ia tidak bisa menelan bulat-bulat omongan Rizky begitu saja.
“Tapi dia udah nggak perjaka sebelum jadi slave gue. Dia udah sering main sama cowok. Dan jujur, dia mainnya jago banget. Kapan-kapan elu harus coba main sama dia biar tahu gimana hebatnya dia. Hehe.”
Wahyu mual membayangkan omongan Rizky barusan.
“Dia juga mau diapain aja. Ngeseks kayak yang kita praktekkin barusan mah belum apa-apanya buat kita. Kita pernah main di atas atap pas tengah malam…, di langit-langit toilet sekolah, pake lilin…”
“Cukup. Gue nggak mau dengar elu pamer. Itu nggak ngaruh buat gue!” potong Wahyu sambil berjalan meninggalkan ruangan.
“Bahkan hampir setiap sudut rumah ini udah kita coba!”
“MANA PAKAIAN GUE?!”
“Lagi dicuci. Pake yang gue aja,” jawab Rizky seraya muncul dari ruangan exe-room. Ia lantas menuju lemari pakaiannya dan mengeluarkan sepotong kaos dan celana jeans lalu melemparkannya ke Wahyu.
“Elu mau pulang?”
Wahyu tak menjawab.
“Oke. Gue tunggu di garasi.”
“Gue bisa pulang sendiri!”
“Oke.” Rizky berdiri memandangi Wahyu yang mengenakan kaos.
“Oh, iya. Underwear elu juga dicuci. Elu mau pilih nggak pake atau pake punya gue?” Rizky memelorotkan celana dalam putih yang ia kenakan sampai ke pangkal paha.
“Gue nggak terbiasa nggak pake celana dalam.”
“Berarti elu pilih opsi kedua,” Rizky melorotkan celana dalamnya dan melemparkannya ke Wahyu.
“Di rumah ini Cuma ada satu celana dalam doang???”
“Itu baru gue pakai. Dan nanti kalo elu di rumah, kalo elu kangen sama gue, elu bisa cium aroma kejantanan gue dari celana dalam itu…”
“Najis…”
“Wangi kok. Elu pasti suka. Bahkan elu bisa-bisa horny pas cium aromanya. Apalagi kalo sambil bayangin bentuk isinya…” Rizky menggoyang-goyang junior dengan tangannya.
Apa boleh buat. Dari pada junior gue sakit kegesek sama jeans, mendingan gue pakai celana dalam ini, gumam Wahyu dalam hati.
“Oh iya, itu handphone dan dompet elu!” Rizky menunjuk ke arah meja belajarnya.
Wahyu bergegas mengambil kedua barang miliknya itu.
“Elu mau langsung pulang?”
“Bukan urusan elu!”
“Oke.”
Wahyu melangkah cepat keluar kamar tanpa sepatah katapun.
“Elu keren banget pake pakaian gue. Lebih keren lagi kalo pake sepatu. Lu bisa pake sepatu itu,” Rizky menunjuk sepatu yang berada di rak sepatu dekat pintu.
Wahyu menoleh kearah rak sepatu yang ditunjuk Rizky. Ada banyak sepatu keren di sana. Salah satu sepatu berwarna merah nampak cukup familiar. Lupakan, desis Wahyu seraya bergegas keluar kamar.
Rizky tersenyum. Ia melempar sisa gigitan Apelnya ke dalam keranjang sampah sebelum mengambil handphone dan menghubungi seseorang. “Awasi dia!”
***
Tujuan Wahyu sangat jelas.
Ke rumah Regi.
Wahyu mengetuk pintu rumah itu dengan gusar. Kebetulan sekali, yang membukanya Regi sendiri.
“Hei! Tumben elu datang malem-malem? Ada apa?”
“Elu lagi apa?”
“Nggak ada. Santai aja. Eh, pakaian elu—”
“Kenapa?” Wahyu menyipitkan matanya. Regi menatap pakaiannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Nggak apa-apa. Keren.”
‘Thanks. Mau temani gue jalan-jalan nggak?”
“Kemana?”
‘Taman yuk? Gue bosen di rumah…”
“Okeee… tunggu ya.”
Regi mengangguk.
Sepeninggalan Regi, hati kecil Wahyu kembali bertanya akan kebenaran omongan Rezky. Apa mungkin Regi benar seperti itu?
“Ayo!” ajak Regi.
“Pake motor elu ya?”
‘Oke. Eh, tapi tadi elu kesini naik apa?”
“Uhm, Ojek.”
“Ohhh…”
Mereka berdua pun pergi menuju taman dengan mengendarai motor Regi.
Sesampainya di taman, mereka berdua duduk di salah satu sudut taman yang lumayan sepi.
“Malam ini cuacanya bagus ya…” kata Regi.
“Iya. Tapi sesuatu yang nampak bagus, belum tentu bagus adanya.”
“Hmm.”
“Apa sih arti persahabatan buat elu?” tanya Wahyu.
“Sahabat? Kayak kita ini. Saling berbagi, saling mendukung…”
“Berbagi apa aja? Apakah yang buruk-buruk juga mesti dibagi?”
“Berbagi di sini maksud gue, antar sahabat itu nggak boleh saling mencurangi, nggak boleh ada yang ditutupi, susah senang, baik buruk satu sama lain harus tahu…”
“Apakah ada rahasia yang elu simpan dari gue?”
Regi menatap Wahyu.
“Adalah. Hal yang menurut gue nggak perlu dikasih tahu, cukup gue sendiri yang tahu, maka nggak akan gue kasih tahu. Elu juga gitu kan?”
Wahyu mengangguk-angguk.
“Apa elu pernah melakukan hal yang merugikan sahabat elu?”
Regi tak langsung menjawab.
“Pernah nggak?”
“Ih, elu kok kayak lagi mengintrogasi gue sih? Kayak gue tahanan aja…”
“Tiba-tiba aja pengen membahas arti persahabatan. Jadi gimana?”
“Semoga aja nggak.”
“Uhmm.”
“Elu sendiri?”
“Gue? Gue rasa nggak. Bahkan gue rela mengorban diri gue demi kebaikan sahabat gue.”
“Wow! Pengorbanan macam apa?”
“Dari kejahatan yang bisa mengancam masa depannya.”
“Kayak super hero aja elu… hehehe…”
“Sayangnya, kalo informasi yang gue dengar itu benar, pengorbanan gue itu sia-sia.”
“Lha, kenapa?”
“Justru teman gue itu yang menjerumuskan gue.”
“Gue nggak ngerti. Kok bisa gitu?”
Wahyu meneliti raut muka Regi, mencari setitik kebenaran di sana.
“Apa alasan elu ngajakin gue ke ultah teman elu waktu itu?”
“Kan udah gue bilang alasannya karena gue nggak punya teman.”
“Nggak punya teman? Dari sekian banyak orang di sana masa sih—“
“Kenapa sih elu nanya hal itu?”
“Gimana dengan insiden elu nggak nyariin gue saat gue dibawa sama Ken?”
“Bukannya udah jelas kalo elu ganti baju—“
“Berapa lama buat gue ganti baju? Sejam? Dua jam? Atau sampai pesta berakhir?”
“Ada apa sih?”
“Bahkan elu gak nanya gue lagi dimana? Padahal elu yang ngajakin gue ke sana. Elu pulang tanpa nunggu gue?”
“Kenapa sih elu ngungkit masalah pesta itu? Waktu itu elu diam aja…”
“Karena gue baru tahu apa yang sesungguhnya terjadi!”
“Apa?”
“Elu sengaja kan??? Elu udah ngerencanain semuanya!”
“Apa sih maksud elu?”
“Nggak usah pura-pura bego lagi. Rizky udah ngasih tahu semuanya. Tega elu ya ngehancurin teman sendiri!”
“Elu bisa ngomong baik-baikkan, Yu?”
“Shit!” kesabaran Wahyu habis dengan sikap Regi yang pura-pura nggak tahu apa-apa. Ia langsung menyarangkan tinju ke rahang kanan cowok itu.
Regi mengerang sambil memegangi rahangnya. “Lu apa-apan sih?!” Regi ikutan tersulut amarah.
“Jangan berlagak pilon! Elu udah ngehancurin hidup gue!” Wahyu menarik kerah baju Regi dengan kasar. “Gue nggak sehina elu yang mau jadi budak seks. Jangan elu pikir karena kita temanan, maka jalan pikiran kita sama, hah?!” Wahyu menampar wajah Regi dengan punggung tangannya.
Regi tak berucap apa-apa.
“Ngertikan elu? Masih mau pura-pura nggak tahu? Ini yang elu anggap sahabat, hah?!” Wahyu mendorong tubuh Regi hingga tersungkur ke tanah.
“Gue nggak nyangka elu setega ini sama gue. Padahal gue korbanin diri gue buat si Iblis itu supaya dia nggak nyentuh elu!”
“Elu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Yu…”
“APA?!”
“Rizky ngancam gue…”
“Ancaman apa yang bikin elu takut sama dia?!”
“Sama kayak dia udah nyancem elu!”
“Dia ngancem gue dengan mau gantiin gue dengan elu! Makanya gue rela turutin maunya dia. Tapi elu? Ancaman apa yang dia kasih ke elu sampai elu tega ngorbanin gue???!”
“Rizky itu pacar gue. Gue sayang banget sama dia. Dia mau ninggalin gue kalo nggak nyerahin elu…”
“Anjing elu ya!” Wahyu menyarangkan sepakan ke dada Regi. “Jadi Cuma karena ancaman itu? Elu tahu Rizky itu siapa? Tapi elu mau-maunya jadi pacar dia? Gila elu!”
Regi meringkuk menahan sakit akibat terjangan Wahyu.
“Kalian benar-benar sakit jiwa! Orang kayak kalian nggak seharusnya berkeliaran bebas. Pantasnya kalian di penjara!!!”
“Kita sama-sama korban, Yu.”
“Gue nggak perduli lagi sekarang. Gue nggak percaya sama yang elu katakan. Nyatanya elu ikut sekongkol buat menjerat gue. Bahkan elu sendiri udah lama tahu kalo Rizky itu iblis tapi elu diam aja!”
“Jangan gegabah, Yu. Kalo elu melapor, elu bakal rugi!” Regi berusaha bangun.
“Gue nggak peduli! Gue udah hancur. Cukup gue aja korban terakhir kalian!”
“Jangan muna. Yu. Lu juga suka sama Rizky kan?”
“Jangan sembarangan nuduh elu!”
“Itu pakaian yang elu kenakan? Itu pakaian Rizky kan? Kenapa elu pakai punya dia? Elu dari rumah diakan? Kalian habis ngapain? Elu ngentot sama diakan? Iya kan?”
BUG! Wahyu menendang punggung Regi cukup keras sehingga cowok itu meringkuk menahan sakit.
“Gue lakuin itu demi elu! Kalo bukan terpaksa gue nggak mau! Elu tahukan siapa gue. Gue belum pernah sama sekali berhubungan badan. Elu bisa bayangin gimana menderitanya gue diperlakukan nggak manusiawi sama Iblis itu? Dia memperkosa gue tanpa ampun tanpa peduli perasaan dan kesakitan gue. Gue juga terpaksa pake pakaian dia buat pulang karena dia berlagak baik dengan nyuciin baju gue…” dada Wahyu bergemuruh.
“Maafin gue, Yu. Gue nyesal. Gue udah mencoba menghentikan Rizky…”
“Taek elu! Gue nggak percaya omongan elu biar polisi yang menghukum kalian!!!” Wahyu menendang punggung Regi lalu pergi begitu aja meninggalkan Regi yang mengerang kesakitan.
***

I am A Slave for U: I’ll Volunteer Part Two

Masih ingat dengan kisah Wahyu? Cowok apes yang dilecehkan cowok rada psycho bernama Rizky? Hmmm, kira-kira bagaimana ya kabar si Wahyu sekarang? Kita intip yuk!

Bagi yang belum baca atau udah lupa monggo dicek di:

Slave Part One|Slave Part two|Volunteer Part One

I’LL VOLUNTEER PART TWO.
Logika Wahyu terkalahkan sama hati kecilnya. Dan sampai saat ini ia masih berbaring di samping Rizky yang masih tidur.
Menatap wajah Rizky yang semakin dilihat semakin tampan menjadi aktivitas yang menarik bagi Wahyu. Entahlah, sihir apa yang sudah dihembuskan jin penunggu rumah ini, sehingga Wahyu tidak ingin melepaskan pandangan dari wajah cowok itu.
Sesekali ia membelai bahu Rizky, atau sekedar merapikan selimut cowok itu yang melorot. Dan itu juga sangat menyenangkan baginya.
Setelah beberapa lama, Rizky belum bangun juga. Dan kini Wahyu yang dihinggapi rasa kantuk. Ia pun tertidur sambil menggenggam tangan Rizky…
Ia terbangun saat merasakan sesuatu yang keras digesekkan ke belahan pantatnya. Ia perlahan membuka mata dan menyadari kini ia sudah telanjang bulat. Ia menoleh ke belakang dan melihat tubuhnya dan Rizky tidak berjarak. Tangan cowok itu melingkar di perutnya. Dan benda keras yang membangunkannya tadi itu tak lain adalah junior Rizky.
“Udah bangun elu?”
“Hei! Elu tuh benar-benar ya…” Wahyu berusaha melepaskan lingkaran lengan Rizky di perutnya.
Rizky justru memeluknya makin kuat.
“Benar-benar sakit jiwa elu! Orang tidur aja masih dikerjain…”
“Gue Cuma nempelin kontol gue doang…”
“Itu sama aja elu melecehkan orang.”
“Dan elu suka kan?”
“Najis!”
“Hahaha. Munafik elu! Buktinya elu masih di sini. Buat apa? Elu belum puas pengen digarap gue lagi kan???” Rizky menekan kepala Wahyu ke bantal.
“Sembarangan elu! Gue cuma mau mastiin keadaan elu aja. Kalo gue tahu elu itu orang yang nggak tahu terima kasih, gue nggak bakal mau repot-repot jagain elu!”
“Jagain gue? Siapa yang nyuruh elu jagain gue, eh?”
“Selain Psiko, ternyata elu pengidap penyakit lupa juga ya. ELU tadi yang minta gue nemenin elu! Nggak ingat elu?!”
“Tapi gue nggak nyuruh elu tidurkan? Apalagi sambil pegang-pegang tangan gue segala.”
Wahyu menelan ludah.
“Elu ngapain aja selagi gue tidur, eh? Elu manfaatin gue, iya?!”
“Apa maksud elu? Siapa yang memanfaatkan siapa di sini, eh?!”
“Apa elu nyium gue tadi? Peluk gue? Grepe-grepe gue? Nyepong gue??? Apa?!”
“Jangan ngarep lu!!! Gue Cuma ngerapiin selimut elu doang. Nggak lebih!”
“Nggak percaya gue!”
“Terserah.”
“Berani elu macem-macem sama gue, elu bakal tahu akibatnya,” Rizky lagi-lagi menekan kepala Wahyu ke bantal.
Wahyu memilih untuk diam. Ia bosan meladeni tuduhan Rizky.
“Elu harus dihukum!!!”
“Terserah. Hukum aja. Gue udah capek ngeladenin elu… elu mau ngapain gue? Perkosa gue lagi?”
“Tuhkan, jelas banget elu tuh ketagihan sama gue.”
Wahyu menghela nafas. The real Rizky is back. Ia menyesal sempat menyayangi dan menaruh kasihan ke cowok itu barusan.
Rizky melompat bangun dan mengambil selendang yang entah sejak kapan sudah ada di atas meja di samping lampu tidur. Wahyu yakin selendang itu diambil Rizky di dalam Exe-room saat dia tertidur tadi.
“Bangun!” perintah Rizky.
Wahyu bangun tanpa komentar.
Rizky mengikat kedua pergelangan tangan Wahyu masing-masing dengan satu selendang. Ikatannya begitu kencang. Tidak hanya itu, ternyata Rizky juga mengingat pergelangan kakinya dengan dua selendang yang lain. Wahyu bisa menebak bahwa Rizky akan mengikat tangan dan kakinya ke ranjang.
“Balik badan!”
Wahyu membelakangi Rizky. Sedetik kemudian, bahunya didorong ke depan. Rizky lantas mengikat masing-masing ujung selendang yang tadi diikatkannya ke tangan Wahyu ke tiang hiasan ranjang sehingga kedua tangan Wahyu terentang lebar.
Belum sempat Wahyu berpikir apa yang akan dilakukan Rizky selanjutnya, tiba-tiba kaki kanannya ditarik ke arah kanan bawah dan diikatkan ke tiang ranjang sehingga posisi tubuhnya sekarang setengah terangkat ke atas. Setelah mengikat kaki kanan Wahyu, sekarang Rizky mengikat kaki kirinya ke tiang ranjang sebelah kiri bawah dan tubuh Wahyu pun langsung terangkat sempurna di atas ranjang. Tubuhnya seolah-olah melayang di atas ranjang dengan posisi kedua kaki dan tangan terentang.
Wahyu menelan ludah. Sudah dipastikan Rizky akan menyetubuhinya di udara.
“Gimana? Enak??” Rizky jongkok dan menyeringai ke arah Wahyu.
Wahyu hanya menoleh sebentar dan membuang muka.
Rizky terkekeh sambil menekan kepala Wahyu ke bawah.
“Ini akan sangat menyenangkan…” Rizky terkekeh sambil berjalan mengitari tubuh Wahyu sebelum akhirnya berhenti tepat di sela kaki Wahyu yang terlentang lebar.
“Hole elu masih sempit aja…” kata Rizky sambil menepuk-nepuk pantat Wahyu.
Wahyu memejamkan matanya. Kepalanya pusing setiap melihat ke bawah.
“Siap?” tanya Rizky seiring langsung menekan juniornya kearah liang Wahyu.
Wahyu langsung mengejang menahan serangan Rizky.
“Bener kan. Masih sangat sempit… ugh!” Rizky mendorong dan memaksa miliknya menerobos Wahyu yang melakukan penolakan.
“Elu masih belum paham juga ternyata. Semakin elu tolak, maka prosesnya semakin lama dan semakin sakit. Lebih baik elu rileks dan terima kontol gue ini…”
Wahyu menghela nafas, sehingga tubuhnya pun melemas.
“Buka lubang elu selebar-lebarnya biar gue bisa masuk dengan mudah. Bukannya elu udah nggak tahan pengen dapat semburan panas pejuh gue, eh? Hehehe…” Rizky menjauhkan kedua bongkah pantat Wahyu dengan tangannya.
Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit junior Rizky tenggelam ke dalam liang hangat milik Wahyu.
“Ohhhh….” Desah Rizky nikmat. Ia selalu menikmati saat-saat di mana miliknya mulai tenggelam dalam liang gelap nan sempit itu setiap bercinta. Tapi dari semua korban yang pernah ia masuki, hanya liang Wahyu yang benar-benar memberikan kenikmatan luar biasa. Liang sempit Wahyu yang belum pernah dijamah siapapun kecuali dirinya, selalu menyambutnya dengan pijatan yang menghadirkan rasa nikmat dan geli secara bersamaan dengan luar biasa, yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata selain lenguhan panjang dan dalam.
“Gimana? Enak?”
Wahyu bergeming. Meskipun rasa sakit tidak seperti sebelumnya, tapi ia tetap tidak bisa menikmatinya. Atau setidaknya belum bisa menikmatinya.
“Jujur ajalah. Nggak usah elu pura-pura menolak, padahal suka, hehehe…” Rizky menampar pantat Wahyu.
“Akh!”
Rizky mendaratkan tamparannya lagi.
“Ukh!”
Lagi.
“Aduh!”
Dan lagi.
Wahyu mengigit bibirnya.
“Mengerang lagi!” perintah Rizky sambil menampar kedua belah pantat Wahyu secara bersamaan dengan kedua tangannya.
“Sakit!” teriak Wahyu.
“Sakit ya?”
“Umppp…!” Rizky menghentak pinggulnya ke depan, membuat juniornya tertanam semakin dalam di liang Wahyu.
“Arg! Uhhh…” erang Wahyu.
Plok!!!
Rizky menghentak lagi.
Wahyu melenguh.
Rizky menghentak lebih keras. Membuat tubuh Wahyu terguncang.
Puas menyetubuhi Wahyu dengan posisi berdiri, akhirnya Rizky melepaskan ikatan Wahyu. Tapi bukan berarti ia menyudahi permainan itu. Ia menyuruh Wahyu berdiri jongkok di depannya dan mengoral miliknya.
Wahyu menuruti kemauan Rizky dengan terpaksa.
Terpaksa. Entahlah. Wahyu tak yakin. Apakah ini sebuah bentuk keterpaksaan atau kepasrahan.
Setelah beberapa lama dioral, Rizky meminta Wahyu telungkup di ranjang. Wahyu menghela nafas lega. Setidaknya kali ini Rizky akan menggempurnya dalam posisi normal.
Tapi bukan Rizky namanya jika tidak menyulitkan partnernya. Apa yang dipikirkan Wahyu salah besar. Setelah Wahyu telungkup, ia mengangkat kedua kaki Wahyu ke atas, sehingga posisi Wahyu sekarang tak ubahnya pesenam yang sedang memperagakan gerakan sikap Lilin. Bahkan lebih itu, sekarang Rizky meminta Wahyu berdiri hanya bertumpu pada kedua tangannya, sementara kedua kakinya dipegang Rizky.
Setelah membuka kedua kaki Wahyu dan menjepitnya ke ketiaknya, Rizky kembali menyetubuhi Wahyu sambil berdiri. Goa Wahyu yang terbuka seakan menantang kejantanannya itu langsung dimasukinya dengan mudah. Posisi Wahyu membuat miliknya masuk sepenuhnya. Nikmat sekali. Ia membenamkan miliknya itu cukup lama sebelum menariknya keluar sedikit, sebagai awalan menenggelamkannya kembali.
Sementara Rizky tengah diselimuti kenikmatan, berbeda dengan Wahyu yang Nampak sangat kepayahan menopang tubuhnya hanya dengan tangannya. Belum lagi hentakan Rizky yang bertubi-tubi, membuat sekujur tubuhnya bergetar. Berkali-kali tangannya ingin terlipat, tapi buru-buru diluruskan kembali secara paksa oleh Rizky dengan cara menarik pinggang Wahyu lagi.
Wahyu nanar. Kepalanya pusing dalam posisi terbalik seperti itu. Ia memejamkan matanya, berharap pusing bisa berkurang. Tapi hentakan demi hentakan yang diterimanya, membuat pikirannya tidak bisa tenang yang berimpas pada pusing di kepalanya.
“Gue mohon, berhenti, Ky. Kepala gue…” pinta Wahyu.
“Kenapa pala Elu?”
“Gue pusing terbalik kayak gini…” jawab Wahyu jujur. Tak ada gunanya pura-pura kuat di hadapan manusia berhati Iblis macam Rizky.
“Baru aja dua ronde. Masa udah kewalahan?”
Wahyu tak menjawab. Ia kembali memejamkan matanya.
“Tunggu sampe gue keluar!” kata Rizky sambil mempercepat gerakan maju mundur pantatnya.
Wahyu mengigit bibirnya. Pusing di kepalanya semakin hebat.
Plok. Plok. Plok.
Bunyi setiap gerakan Rizky menyetubuhi Wahyu. Semakin lama, ia semakin menggila. Cairan hangatnya tidak lama lagi akan keluar. Ia semakin mempercepat gerakan senggamanya.
Sementara itu, tubuh Wahyu semakin lemas. Sampai akhirnya kedua lengannya rebah dan tengkuknya mendarat ke ranjang. Rizky buru-buru menarik pinggul Wahyu yang merosot ke arahnya. Menjaga agar juniornya tetap berada di dalam Wahyu.
“Ah..! ah..!aahhhh…!” Rizky melenguh mengimbangi gelombang kenikmatan yang melanda dirinya.
Tak berapa lama kemudian, cairan kental keluar dari dirinya. Ia menghentak pinggulnya sehingga miliknya yang keras memenuhi liang Wahyu yang hangat. Setelah seluruhnya keluar, ia pelan-pelan mencabut miliknya dari liang Wahyu yang basah dan lengket oleh cairan putih kentalnya.
Rizky menjatuhkan kedua kaki Wahyu ke atas ranjang. Membuat beberapa tetes cairan itu menodai seprai saat pantat Wahyu mendarat ke ranjang.
Wahyu membuka matanya dan bergerak sedikit. kepalanya yang masih pusing membuatnya tak peduli dengan apa saja yang sudah terjadi.
Rizky mendorong tubuh Wahyu ke arah dinding. Saat itu ia melihat wajah Wahyu pucat sekali. Ia yang bermaksud untuk rebah langsung membatalkan niatnya itu.
“Hei, elu kenapa?” tanya Rizky.
Wahyu tak menjawab. Ia justru semakin mempererat pejaman matanya.
“Elu kenapa?” Rizky mencoba membangunkan Wahyu.
“Jangan ganggu gue!” teriak Wahyu.
Rizky menyentuh kening Wahyu. Ia tidak merasakan panas sama sekali.
“Ya udah. Lu capek ya? Silahkan tidur.”
***

Bianglala Satu Warna Chapter XVm-lanjutan

“Kemana, Bray?” tanya gue ke Arie.
“Terserah…”
“Gue juga nggak tahu…”

Arie nggak membalas lagi omongan gue. Ia membawa motor ke arah luar pusat kota Curup menuju kota Kepahiang.

“Kemana nih?” tanya gue lagi.
“Ke Kabawetan yuk?”
“Kabawetan?”
“Iya, udah lama nggak kesana.”
“Ya udah. Gue kasih tahu teman-teman—”
“Nggak usah,” potong Arie.
“Kenapa? Biar rame…”
“Berdua aja. Gue pengen suasana damai.”
“Oh… Oke…” gue menaruh lagi HP ke dalam saku celana.

Kabawetan merupakan objek agrowisata berupa perkebunan teh yang terletak di kabupaten Kepahiang provinsi Bengkulu. Kabupaten Kepahiang merupakan kabupaten tetangga dari Kabupaten Curup. Perkebunan teh Kabawetan adalah peninggalan kolonial Belanda. Jaraknya sekitar 10 km dari pusat kota Kepahiang. Sementara jarak antara Curup-Kepahiang kira-kira 30 km. Jadi kami berdua menempuh jarak 40 kilo-an menuju objek wisata Kabawetan.

Sesampai di sana, sebuah sensasi panorama yang indah dan kesegaran alam tersaji di depan mata. Sepanjang mata terbentang kebun teh bak permadani hijau. Arie menepikan motornya di pinggir jalan yang membelah hamparan kebuh teh itu.

Gue merentangkan tangan, menangkap semua kesegaran dan menghirup nafas dalam-dalam.

“Udah lama gue nggak kesini…” ulang Arie lagi.
“Gue kapan ya terakhir kesini? Lumayan lama juga sih…” kata gue.
“Mungkin setelah ini, bakal lebih lama lagi gue bisa menginjakkan kaki ke sini…”
“Iya deh, yang bakal kuliah di luar provinsi…” cibir gue.
Arie terkekeh.
“Entar kalo elu pulang liburan semester, kita bisa ke sini lagi,” kata gue.
“Doain aja,” balas Arie.
“Pasti bisa. Yang ke Padangkan cuma elu doang. Keluarga elu masih disini. Emang elu nggak bakal balik kesini lagi?”
“Siapa tahu aja,” Arie nyengir.
“Hadeeehhhh… Belum pergi aja niat elu udah mau ngelupain temen aja, Bray. Apalagi kalo udah lama disana, mungkin sengaja ntar elu ngehindari gue. Terus kalo misalnya udah sukses, elu juga sengaja pura-pura nggak ngenalin gue. Temen macam apa elu?!” gue menoyor pala Arie.
“Lha, emang apa untungnya inget elu?!” Arie nantang.
“Sama! Elu juga kagak ada untungnya buat gue! ” gue nggak mau kalah.
“Ya udah, kenapa dipermasalahin???”
“Hah!” dengus gue.
“Yuk, kesana!” Arie menunjuk sebatang pohon rindang yang berdiri tegak tak jauh dari tempat kami ngobrol sekarang.
Gue membuntuti langkahnya.
“Coba tadi perginya bareng teman-teman, pasti rame dan seru…” kata gue.
“Gue nggak mau seru-seruan. Gue kesini cari suasana damai…” balas Arie.
“Bisa foto rame-rame…” gue sama sekali nggak menghiraukan omongan Arie barusan.
“Besok elu ajak orang sekampung ke sini ya. Biar rame dah tuh…”
“Emang mau tawuran?”
“Terserah elu—eh, mana snack tadi?” tagih Arie.
“Oh, iya. Masih di motor,” jawab gue sambil kembali menuju tempat motor terparkir. Sebelum ke Kabawetan tadi, kami memang beli cemilan dulu di jalan.
Tiba-tiba melintas nama Ayah di benak gue. Hmmm, Ayah masih ngerjain tugas nggak ya???

“Tuuuuttt…” gue telepon Ayah.
“Assalamualaikum, ya, Oh?”
“Walaikumsalam. Ayah lagi ngapain? Masih ngerjain tugas?”
“Udah kelar. Kamu di mana?”
“Kabawetan, Yah.”
“Ya, ya.”
“Ayah udah makan?”
“Udah.”
“Sip dah. Udah ya, Yah…”
“Heeh. Pulangnya jangan kesorean. Ntar hujan…”
“Yap. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”

Sehabis telepon Ayah, gue balik lagi menemui Arie sambil bawa kantong kresek berisi cemilan.

“Elu ngambil snack-nya di Curup ya, Mo?”
“Kenapa?”
“Lama!”
Gue terkekeh.
“Bekicot aja udah nyampe duluan tuh…” Arie nunjuk Bekicot yang bergerak lamban di depan kami.
“Wah pasti Bekicot rider nih…” gue terkekeh.
Arie ikutan ketawa.

Kita berdua ngobrol santai, dalam suasana damai, adem dan ditemani semilir angin.

“Kapan-kapan gue mau ajak Kak Jo kesini,” kata gue.
“Mau mesum di sini lu berdua?”
“Hahaha…!”
“Kayaknya asyik ‘hooh-hooh’ di sini ya… Wkakakakak…!”
“bakalan jadi great outdoor fuck, wowww!”
“Tapi hati-hati aja kalo kepergok sama pemetik teh, hahaha…!”
“Cari waktu yang sunyi kayak sekarang dong…”
“Eh, emang elu beneran mau ngelakuinnya disini???”
“Gila! Nggak lah! Lagian kalopun gue mau, Kak Jo mana mau. Dia kan sangat beradab sekali, hahaha…!”
Arie terkekeh.
“Ngomong-ngomong, kok elu gak pernah komunikasi sama Juwi sih, Bray?” tiba-tiba pertanyaan itu melintas gitu aja di kepala gue.

Bianglala Satu Warna Chapter XVm

***Johan***

Suara nada pesan singkat dari ponsel yang tergeletak di samping laptop-ku langsung menyita perhatianku yang sedari tadi terpusat pada layar laptop.

Dari: Oh
Time: 10.06
Date: 01/05/2013

Yah, Oh jalan sama Arie ya…

Oh, iya, Mario. Aku sejenak melupakan dia pagi ini saking asyiknya berkutat di depan laptop. Aku pun langsung membalas pesan singkatnya.

Dari: Ayah
Time: 10.07
Date: 01/05/2013

Oke, have fun! 🙂

Dari: Oh
Time: 10.07
Date: 01/05/2013

Sip. Ayah juga. Love you.

Aku tersenyum lalu meletakkan ponsel ke meja lagi. Tapi baru beberapa kalimat yang kurangkai di Word, ponselku berbunyi lagi.

Dari: Oh
Time: 10.09
Date: 01/05/2013

Bales, Yah!

Aku menghela nafas. Masih aja kekanakan…

***

***Mario***

“Mo! Ayo!!!” seru Arie sambil terus meraung-raungkan gas motor.

“Ntar dulu! SMS gue belon dibales!”

“Nggak apa-apa kali sambil jalan nunggu balesannya…”

Ugh! Ayah kenapa nggak balas sih?!

“Yuk lah!” gw melompat naik ke belakang Arie.

“Nungguin balesan SMS dari siapa sih?” tanya Arie.

“Ada deeehhh.”

“Mister Jo.”

“Sok tau.”

“Siapa lagi kalo bukan dia…”

Gue baru aja mau menimpali Arie, saat HP gue berbunyi.

Ayah calling!

“Halo!” seru gue antusias.

“Assalamualaikum…”

“Wallaikumsalam…”

“Mo pergi kemana?”

“Jalan-jalan aja…”

“Kalian berdua aja atau–”

“Sekarang sih cuma berdua. Nggak tahu ntar. Siapa tahu ketemu teman yang lain…” potong gue.

“Oh, gitu. Ya udah. Hati-hati, jangan kebut-kebutan…”

“Ya.”

“Oke. Have fun!”

“Thanks, Yah. Love you.”

“Assalam—”

“Yah, Ayah!” potong gue.

“Ya? Kenapa?”

“Bales dong!”

“Apa?”

“Tadi gue SMS gak dibales. Ini juga nggak!” gue sedikit kesal.

“Tindakan lebih berarti dari sekedar kata-kata.”

“Tapi lebih bagus lagi jika ada kata-kata yang diikuti dengan tindakan,” kejar gue.

“Oke. Ya.”

“Oke apa? Ya apa?”

“I Love You, Mario Lingga Evans bin siapa nama Papa kamu?”

“Mario Lingga Evans Aja,” seumur-umur gue sudah mengubur impian untuk menyebutkan dengan bangga nama “bin siapa” di belakang nama gue.

“I dislike your cold voice.”

“Ayah yang mancing!”

“Sorry, Boy. Ayah nggak maksud. Sayang kamu.”

“Sayang aja?”

“Sayang kamu… Cinta kamu juga.”

“Ah, beneran?”

“Heeh.”

“Oh juga sayang dan cinta sama Ayah. Bahkan lebih dari yang Ayah punya.”

Ayah terkekeh.

“Seriously. Oh nggak bohong,” jawab gue sungguh-sungguh.

“Iyaaa. Ayah percaya kok. Oke, udah ya? Ayah mo lanjut ngerjain tugas lagi.”

“Ayah jam segini udah ngerjain tugas aja? Santai dulu napa?”

“Lebih enakan nyantai pas kerjaan udah kelar….”

“Hehehe. Oke deh. Met ngerjain tugas, habis itu ambil waktu buat santai ya, Yah.”

“Ya.”

“Bye Dad!”

“Bye. Assalamualaikum!”

“Wallaikumsalam…”

Gue tersenyum puas dengan hati dilingkupi bahagia setelah dengar suara Ayah.

“Apa kata gue tadi, pasti Mister Jo,” celetuk Arie yang sedari tadi diam sambil membawa motor dengan kencang.

“Emang siapa lagi…” timpal gue.

“Elu ngomongin apa tadi sama dia?”

“Kan elu dengar tadi…”

“Nggak jelas.”

“Cuma ngasih kabar aja ke dia kalo kita jalan.”

“Terus?”

“Ya udah.”

“Maksud gue, tanggapan dia gimana?”

“Dia cuma pesen kita nggak boleh kebut-kebutan kayak sekarang, hahaha…!”

Tiba-tiba Arie mulai memperlambat laju motor.

“Kenapa?”

“Ntar pacar elu itu ngamuk ke gue, kalo gue nggak patuhin pesannya.”

Gue terkekeh.

“Eh, Mister Jo udah tahu belum kalo gue demen laki juga?”

“Kayaknya sih belum…, nggak tahu juga.”

“Elu nggak cerita?”

“Nggak.”

“Kalo dia tahu gimana ya kira-kira?”

“Mungkin dia ngelarang gue ketemu sama elu.”

“Kok…? Kenapa?” tanya Arie dengan nada kentara sekali terkejut.

“Dia takut kalo gue pacaran sama elu.”

“Masa sih?”

“Ya, pasti nggaklah! Buktinya sekarang kita nggak pacaran.”

“Hehe, iya…” desis Arie pelan.

“Elu itu cinta gue di masa lalu, dan dia itu cinta gue saat ini dan selamanyaaaa, hahaha…!”

“Lebaayyy…”

“Hahaha…!” gue tertawa lepas.

***

Bianglala Satu Warna Chapter XVl-2014

Bianglala Satu Warna Chapter XVl-2014

“Gimana?? Enak???”

“Elu mo coba? Sini!” Arie menekan tengkuk Mario.

Mario berontak. “Ampun, Bray! Ampuunn…”

“Enak aja! Bales dulu!”

“Elu yang salah. Makanya jangan ngajakin orang main sembarangan!” Mario menoyor kening Arie.

“Orang sembarangan gimana? Elu tuh orang spesial buat gue…”

“Bodooohhh!”

“Gue rela deh bodoh. Asal dibodohi sama elu…”

“Elu habis nenggak apa sih semalam, Mo? Kok jadi mengerikan gini???”

“Nenggak racun cintamuuuhhh…”

“Sial, kenapa nggak racun tikus aja yah?”

“Gue belum mau mati sebelum dapetin elu.”

“Hoooaaammm… Gue tetiba ngantuk…”

“Sama. Ada elu, bawaannya gue pengen di ranjang mulu…”

“Di keranda aja elu bagusnya, Mo!”

“Di ranjang berdua… Terus kita goyang dah ni ranjang…” sambung Arie tanpa menghiraukan omongan Mario.

“Hufffh! Amit-amit, amit-amit…”

Tiba-tiba Arie mendaratkan tangannya ke bawah pusar Mario. Ia meremas gundukan Mario cukup kuat. Kontan saja Mario langsung teriak sambil berusaha melepaskan tangan Arie dari juniornya.

“Seak! Apa-apain sih elu, Mo?!”

“Gue penasaran aja sama elu, Bray. Kontol elu tegang nggak…” Arie nyengir.

“Bodong* nian gawe lanang inilah!” semprot Mario.

“Punya elu lebih gede, Mo. Seak!”

“Onderdil bule coooyyy…!”

“Eit, jangan senang dulu elu. Soal di ranjang belum tentu elu menang, Braayy. Punya bule suka letooyy, beda sama yang Asia, kalo lagi ON keras banget!”

“Elu lupa gue Indo, eh? Gue dua-duanya lah. Gede iya, keras juga iya…”

“No action sama dengan hoax. Buktiiiinnn…!”

“Modus ah!”

“Gue butuh bukti, bukan sekedar omongan.”

“Gue takut ntar elu minder pas udah liat punya gue, Mo…”

“Halah! Bilang aja elu cuma nge-hoax!”

“Serius! Elu harus siap lahir batin kalo pengen liat punya gue. Punya gue dua kali lipat dari punya elu yang mini itu, wkwkwkwk…!”

“Seak! Berlebihan banget elu. Punya gue standar! Lagi pula lebih baik mini yang penting berfungsi baik, dari pada gede tapi impoten.”

“Maksud elu apa, Mo?!” Mario ngeplak kepala Arie. “Elu bilang gue impoten??!!”

“Gue nggak bilang…”

“Tadi elu bilang dari pada gede—”

“Gue cuma bilang mending mini dan berfungsi baik, dari pada gede tapi penyakitan. Bukan ngomongin elu!”

“Yang gue berfungsi dengan sangat amat baik yaaaa.”

“Kalo baik-baik aja kenapa elu barusan marah??? Gue jadi curiga…” canda Arie sambil nyengir.

Mario langsung berdiri dengan bertumpu di kedua lututnya dan membuka restleting celananya lalu mengeluarkan juniornya.

“Nih!” Mario menggenggam miliknya. “Elu lihat niiihhh…”

“Yesss!!! Berhasil! Berhasil! Apakah kalian melihat kontol Mario? Di mana? Di mana? Katakan dengan keras!!! Hahahaha…!!!” Arie meniru ucapan Dora The Explorer sebelum tertawa keras.

“Di depan elu, bego!”

“Katakan sekali lagi!”

“Nih! Nih!!!” Mario mendekatkan selangkangannya ke depan Arie.

“Ya… benar…” Arie mendongak sambil tersenyum ke Mario.

Entah kenapa, Mario tiba-tiba merasa sangat malu dengan apa yang barusan dilakukannya. Ia langsung memasukkan lagi miliknya ke dalam celana, tetapi gerakannya ditahan Arie.

“Gue masih pengen lihat, Mo…” desis Arie sambil menjauhkan tangan Mario dari selangkangan.

Seakan tersihir, Mario diam saja saat Arie mulai menjamah area pribadinya itu. Membiarkan jemari sahabatnya menyentuh setiap jengkal juniornya, menggoyang-goyangkan kemaluannya.

Sentuhan lembut Arie tak kuasa ditahan Mario. Dirinya bangun dan mengeras di dalam genggaman tangan Arie yang hangat.

“Benar. Elu benar. Punya elu gede dan keras, Mo. Sial!” umpat Arie.

Mario tersenyum tipis.

“Kalo dimasukin sama elu, pasti bikin kelonjotan ya…”

Mario mengangkat bahunya.

Arie menimang-nimang milik Mario. Ia seakan baru mendapat mainan baru dan terus ingin memainkannya.

Jujur, Mario merasa tak nyaman dengan apa yang dilakukan Arie. Pikirannya berkabut. Ia tak menginginkan ini. Terlebih lagi saat wajah Johan melintas di pelupuk matanya. Ia tak bisa mengkhianati Johan seperti ini.

“Sudah, Rie…” Mario mundur dan membuat jarak.

Arie nampak salah tingkah.

Suasana pun langsung berubah kaku.

“Demen banget elu mainin punya gue? Sendiri juga punya…” Mario menunjuk gundukan di bawah pusar Arie dengan dagunya.

“Ah!” sontak Arie menutup selangkangannya dengan telapak tangan.

“Uhmmm… Gue pernah baca, kalo yang kecil pas lagi bangun bisa membesar dua kali lipat. Punya elu gitu nggak?”

“Elu mau lihat?” tanya Arie, dan tanpa diminta langsung mengeluarkan miliknya serta dengan bangganya menggenggam miliknya yang tengah menjulang.

“Gue cuma nanya, nggak perlu diliatin juga kali…”

“Lebih afdol pake bukti,” Arie nyengir.

“Benar-benar eksibisionis ya elu!”

“Sama teman juga,” bela Arie. “Gimana?”

“Apanya?”

“Gak kecil-kecil bangetkan?”

“Standarlah. Wkwkwk…!”

“Lagian, sebelum ini elu kan pernah lihat punya gue? Sempat dinikmatin pula…”

Mario menelan ludah. Iya, dia pernah mengoral milik Arie sebagai pelampiasan saat dirinya tersulut amarah terhadap Johan.

“Iya. Tapi gue nggak terlalu memperhatikan waktu itu.”

“Oh…”

“Elu mau gue bayar hutang gue itu?” tanya Arie.

Mario mengerutkan keningnya.

“Elu mau gue bales oral ju..ga?”

“No! No! Gila elu ya! Apaan sih!”

“Gue cuma nggak mau punya hutang—”

“Elu nggak punya hutang apapun sama gue. Itu kesalahan gue. Kalo elu mau bayar, bayar aja pake duit.”

“Serius?”

“Seak! Elu kira gue gigolo, eh?!” Mario dorong kepala Arie.

“Gue pengennya sih serius. Gue bayar berapa aja deh asal bisa—”

“Udah ah! Gue mau tidur lagi. Masih pagi ini,” potong Mario.

“Tidur lagi?”

“Iya. Nggak ada kerja juga.”

“Gitu ya? Oke deh! Gue tidur juga,” kata Arie. “Kapan lagi bisa tidur bareng sama BF orang…” gumamnya.

“Apa elu bilang, Bray?” gumaman Arie barusan kedengaran sama Mario.

“Suara gue barusan kuat banget ya?”

“Elu kira gue tuli?”

Arie nyengir.

“Seak!”

***

notes: bodong : bodoh

Bianglala Satu Warna Chapter XVl-lanjutan 2

“Ish!”

“Seriuusss…”

“Ke kamar mandi sono!”

“Coli maksud elu?”

“Terserah elu! Sana, sana!”

“Males ah…”

“Awas kalo elu ngotorin selimut gue, Mo!” Mario mengultimatum.

“Ntar gue cuci deh…”

“Bego Mo, ah!”

“Kok bego?”

“Dasar eksibisionis elu!”

“Ah, sama elu juga! Anggap aja nggak ada orang!”

“Elu anggap gue makhluk gaib apa?”

“Udah, udah… Jangan ngomong lagi…” desis Arie.

“Eh?”

“Gue makin horny dengar suara elu…” Arie membelai tengkuk Mario dengan ujung telunjuknya.

“Mo!”

“Aroma tubuh elu enak banget ya, Bray…”

“Baru nyadar elu?”

“Badan elu juga anget banget…”

“Gue kan bukan vampire.”

“Elu semok juga ternyata…”

“Woy bego!” Mario serta merta menepis tangan Arie yang berada di atas pantatnya.

“Ish, pura-pura nolak…”

“Gue tendang ntar kontol elu, Mo!”

“Enakan dikulum daripada di tendang…” jemari Arie menyusuri pangkal paha Mario.

Mario langsung bangkit dan menangkap lengan Arie. Tak hanya itu, ia juga langsung duduk di atas perut Arie.

“Jangan macam-macam elu, Mo!” Mario mencengkeram pergelangan tangan Arie kuat.

Arie menyunggingkan senyum dan bersikap santai.

“Kita gak pernah kek gini sebelumnya. Gue pengen di hari-hari terakhir kita sama-sama, bisa gila segila-gilanya sama elu…” Arie manatap bola mata Mario.

“Nggak porno gini juga kali ah…”

Arie terkekeh.

Mario menghela nafas pelan, lalu melepas cengkraman tangannya di tangan Arie. Ketika ia hendak turun dari perut Arie, tiba-tiba Arie menahan tubuhnya dengan cara memegang kedua sisi pinggangnya. Mario mengernyitkan kening.

“Elu kok cakep banget sih, Bray? Beruntung banget Mister Jo bisa dapetin elu…”

“Baru nyadar elu? Selama ini kemana ajaaa???”

“Selama ini cuma cakep aja. Tapi pagi ini cakepnya pake banget. Bikin bawah gue sesak…”

“Ish! Mulai lagi!”

“Main yuk? Hihihi…”

“Main?” Mario merunduk.

“Ya. Hihihi…” Arie nyengir.

Mario makin merunduk. Wajahnya hanya berapa mili lagi dari dada Arie.

“Nih!”

“ADAW!!! PILAT* elu, Mo!” jerit Arie kesakitan saat jentikan jari Mario tepat di jakunnya dengan keras.

===

notes: * pilat : kelamin cowo (bhs palembang)

Bianglala Satu Warna Chapter XVl-lanjutan

Review: Johan dan Mario kembali akur. Mereka kembali menghabiskan waktu bersama seperti sebelum adanya konflik di antara mereka. Di akhir pekan, Mario diminta mamanya membantu membereskan laporan sehingga ia harus menginap di rumah. Apa yang selanjutnya terjadi saat mereka berdua untuk semalam tidur tak satu atap malam itu???

***

Sore hari di penghujung bulan Mei…

Tiba-tiba Mama menelepon Mario.

“Assalamualaikum. Napa, Ma?” tanya Mario.

“Yo, kamu gak ada kerjaan kan?”

“Nggak…”

“Bantuin Mama, ya?”

“Bantu apa dulu nih?” Mario yang tadinya duduk bersandar sekarang menegakkan tubuhnya.

“Besok kan awal bulan. Laporan Mama belum kelar. Tolong ya…”

“Terus laporannya diapain?”

“Dienter ke excel…”

“Cuma masukin data ke laptop doang?”

“Ya.”

“Bisa, bisa.”

“Oke. Bisa kan malam ini?”

“Bisa kok. Ntar Yo ke rumah.”

“Ya, ya. Makasih ya, Nak…”

“Ya, Mam.”

Setelah mendapat telepon dari sang Mama, Mario langsung menemui Johan yang sedang angkat dumble di kamar.

“Yah, tadi Mama telepon Oh…” beritahu Mario sambil duduk di bibir ranjang.

“Ya…?”

“Mama minta Oh bantuin dia beresin laporan kerjaannya…”

“Ya, bantuin dong. Kamu kan gak ada kerjaan…”

“Iya. Oh cuma kasih tahu doang. Ntar malam Oh pulang bantu Mama…”

“Good.”

“Ayah nggak mau kesana?”

“Ntar Ayah kesana, tapi cuma antar kamu doang.”

“Nggak ikut tidur di sana?”

“Nggak. Ayah mo ngerjain tugas power point sama presentasi, Oh…”

“Kan bisa di sana?”

“Di rumah aja deh. Sekalian jaga rumah…”

“Ooohh, gitu. Ya udah…”

“Kapan mo kesana?”

“Habis Maghrib aja.”

“Oke, oke.”

“Habis Maghrib kita langsung cabut. Kita makan malam di sana aja ya?” usul Mario.

“Boleh, boleh…”

Mario mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah itu diam sambil memperhatikan Johan mengangkat dumble.

Jadilah seusai maghriban, keduanya berangkat ke rumah Mario. Sesampainya di sana mereka langsung makan malam. Setelah itu mereka ngobrol di ruang tengah sembari menonton TV. Setengah jam kemudian, Johan pun pamit pulang.

“Gak nginap di sini aja, Jo?” usul Mama Mario.

“Makasih, Te. Cuma masih ada tugas kampus yang belon kelar…”

“Ooohhh… Ya udah, hati-hati aja pulangnya ya…”

“Ya, Te.”

Johan pun berjalan keluar ditemani Mario.

“Ayah beneran mo balik?” tanya Mario.

“Iya dong…”

Mario mangut-mangut.

“Ayah pulang ya?” Johan memakai helm-nya.

“Ayah…”

“Eh?”

“Cium dulu…” kata Mario sangat pelan, hampir tak terdengar.

“Apa?”

“Cium.”

“Ngomong apa sih?” Johan melepas helm-nya lagi.

“Ci-um,” Mario mendekatkan bibirnya ke telinga Johan.

“Woalah!” Johan terkekeh. Ia mencium kening Mario dengan hidungnya.

Mario mengumbar senyumnya.

“Ayah pulang ya?”

“Hati-hati…”

Johan mengangguk.

***

Mario tengah berkutat dengan data sang mama yang ingin dimasukkan ke komputer saat sebuah pesan WA masuk.

Arie: Yo, elu besok ada di rumah?

Mario: ada. Knp?

Arie: gue mo kesana. Besok Mr Jo kuliah gak?

Mario: nggak. Kan Sabtu…

Arie: oohhh…

Mario: emang napa?

Arie: ada yg pengen gue omongin.

Mario: kesini aj.

Arie: gue cuma mo ngomong berdua.

Mario: malam ini aja. Gue lgi di rumah mama.

Arie: elu lg di Tamsis?

Mario: iya. Gue bantu mama ngurusin laporan.

Arie: oke. Gue ke sana.

Mario: gue tunggu.

Beberapa menit kemundian, Arie sudah satu ruangan dengan Mario.

“Apaan sih yang mau elu omongin?” tanya Mario tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

“Nggak…”

“Nggak? Katanya mau ngomong…”

“Elu tidur di sini ntar?”

“Iya. Sampai laporannya kelar.”

“Kenapa nggak dibawa ke rumah Mister Jo?”

“Nggak aja…”

“Kok dia gak kesini? Besokkan libur?”

“Dia ngerjain tugas kampus…”

“Kenapa nggak ngerjain di sini?”

“Katanya repot…” jawab Mario sambil mengangkat bahunya.

Arie mangut-mangut.

“Bantuin gue, Mo.”

“Bantu apa?” Arie beringsut duduk di samping Mario.

“Elu sebutin isi datanya, gue yang ngetik. Capek gue bolak balik lihat kertas-laptop terus-terusan…”

“Sini,” Arie mengambil kertas laporan yang berada di samping laptop. “Yang mana lagi?”

“Nomer 134.”

“Ohhh, 134. Di kolom barang kertas A4. Jumlah 8 rim. Harga @Rp.35.000…”

***

Berkat bantuan Arie, Mario bisa menyelesaikan laporan mamanya lebih cepat. Saat jarum jam hampir menyentuh pukul 00.00 mereka kelar memasukkan semua data laporan di kertas ke laptop.

“Huaaaa… Kram rasanya kaki sama tangan gue…” kata Mario sambil menggeliat.

“Iya nih…” kata Arie sambil “mematah-matahkan” lehernya.

“Hoaaa—nghantugh ghueee…” Mario menggugam tak jelas sambil menguap.

“Gue matiin ya laptopnya?” tanya Arie.

“Ntar dulu. Gue tanya Mama dulu,” tahan Mario.

“Lho, apalagi? Emang masih ada data yang lain?”

“Bukan!” jawab Mario sambil melesat keluar kamar.

Tak berapa lama kemudian ia datang lagi sambil menaruh sebuah flash disk ke atas meja.

“Copy-kan datanya ke sini, Bray.”

Arie meraih Flash disk tersebut dan mencolokkannya ke laptop.

“Kalo udah laptopnya dimatiin yaaaa…” pesan Mario sambil berlalu keluar kamar lagi.

“Mau kemana lagi sih…” gumam Arie. Ia meng-copy data laporan yang mereka masukkan tadi ke flash disk. Setelah itu mematikan laptop sesuai pesan Mario. Saat ia hendak keluar menuju kamar mandi, ia berpapasan dengan Mario.

“Dari mana elu?” tanya Arie.

“Kamar mandi. Elu mo ke kamar mandi?”

“Iya.”

Mario mengangguk.

“Datanya udah gue masukin ke flash…” beritahu Arie.

“Sip!”

Di kamar, Mario melihat laptop sudah ditutup. Flash disk berada di atasnya. Ia mengambil flash tersebut dan langsung memberikannya ke sang mama. Saat ia balik ke kamar, ia sudah menemui Arie tiduran di ranjang.

“Elu nggak lapar, Mo?” tanya Mario.

“Nggak. Napa? Elu lapar?”

“Nggak. Kalo elu laper, nasi sama lauk masih ada tuh. Atau elu juga bisa masak mie sama telur…” terang Mario seraya berbaring di samping Arie.

“Nggak. Sebelum ke sini gue udah makan. Lagian nggak baik makan malam…”

“Hehehe…”

“Mendingan tidur aja deh kita…” ajak Arie.

“Yup. Tapi gue masih penasaran sama isi WA elu tadi. Sebenarnya elu mo ngomongin apa sih?”

“Nggak ada.”

“Ah! Gaje elu!”

“Dari dulu.”

“Ish!”

Arie terkekeh. Bersamaan dengan itu handphone Mario berbunyi.

“Ayah telepon…” gumam Mario.

Tawa Arie langsung berhenti.

“Walaikumsalam. Belum… Baru aja mo bobo… Udah, barusan aja udah… Tugas Ayah gimana?… Oohhh… Iya. Ngantuk dikit, hehehe. Ayah lagi apa?… Lagi tiduran aja… Oke. Have a nice dream, My Daddyyyy. Muach!”

“Hmmm… Cieee…!” goda Arie setelah Mario selesai teleponan dengan Johan.

Mario terkekeh. “Kenapa? Cemburu elu? Makanya cari cowok, hehehe…!”

“Cowok inceran udah ada yang punya sih…”

“Aduh! Gue gee-eeerrr…!”

“Hahaha.”

“Elu beneran suka sama gue, Mo?”

“Menurut elu?”

“Meneketehe.”

“Yup. Tapi sekarang nggak lagi.”

“Kok gitu?”

“Yaaahh, gitu deh. Setelah gue pikir-pikir, gue sama elu gak boleh punya perasaan lebih, selain temenan…”

“Kenapa? Apa karena gue udah punya Ayah?” selidik Mario.

“Salah satunya itu. Tapi masih ada alasan lain yang cukup gue yang tahu, hehehe…”

“Ish!”

“Elu itu gak se-“wah” yang gue pikir selama ini, wkwkwkw…!”

“Maksud elu?!”

“Hahahaha…!”

“Menurut gue elu itu gak usah mikirin cowok. Fokus ke cewek aja, Rie. Gak usah main cowok selagi masih bisa sama cewek. Pertahanin hubungan elu sama Juwi,” saran Mario.

“Hehehe. Iya…”

“Kalo gue pikir, kita berdua ini emang gak ditakdirkan buat bersatu sebagai pacar ya, Mo? Ditakdirkan cuma jadi sahabat sejati…”

“Kenapa elu bilang gitu?”

“Soalnya kita ini udah temenan sekian lama. Tapi baru kali ini kita tahu isi hati masing-masing. Sama-sama suka sejak dulu, tapi gak pernah ada celah yang membuat kita menyatu. Sekalinya dikasih tahu kebenaran, eh, gue udah punya orang lain… Elu juga udah punya pacar…” Mario menjelaskan.

“Jalan kita masih panjang kok. Apapun bisa terjadi. Siapa tahu itu hanya sebuah awal… Kita gak pernah tahu…” Arie menaruh kedua lengannya di belakang kepala.

“Iya sih…”

Sejenak mereka larut dalam pikiran masing-masing…

“Bentar lagi kita akan pisah, Bray…” Arie memecah kebisuan.

“Iya…” desis Mario.

“Kita bakal susah ketemu…” suara Arie tercekat.

“Iya. Tapi bukan berarti komunikasi kita akan terputus…”

“Iya…”

“Gue akan tetap kuliah di sini, Rie…”

“Ohhh…” desis Arie.

“Elu jadi ke Padang?”

“Iya.”

“Kenapa gak di sini aja biar kita tetap bisa sama-sama?”

“Hehe…” Arie tertawa lirih. “Saatnya kita menentukan jalan sendiri-sendiri, Mo.”

“Hehehe…”

Arie terdengar menghela nafasnya.

“Di sana banyak cowok cakep ya…” gumam Mario.

“Cowok cakep banyak, tapi cari yang klik susah…”

Mario tersenyum.

“Ah, sedih gue, Bray. Kita bakal pisah,” desis Mario.

“Gue juga. Sedih.”

“Elu kalo liburan sering-sering pulang ya.”

“Gak janji ya. Kalo lebih enak di sana ngapain pulang, hehe…”

“Jiah, belum pergi aja udah sombong elu!”

“Hehehe…”

“Awas kalo elu sombong! Pura-pura gak kenal gue. Gue kutuk jadi batu!”

“Ampun Bundoooo…! Hahaha…!”

“Indak ado ampun-ampunan!”

“Ini cerita Malin Kundang apa ibu tiri?”

“Ibu tirinya Malin Kundang, haha…”

“Stres.”

“Itu namanya kreatif. Pasti kalo dibikin cerita bagus tuh…”

“Ya udah, bikin aja sama elu sendiri…”

“Tunggu gue jadi penulis skenario. Bakal gue tulis!”

“Sesuatu yang nampak mustahil, wkwkw…!”

“Gak ada yang nggak mungkin…”

“Iya, tapi susah.”

“Kalo itu pasti. Hihihihi.”

“Udah ah, tidur yuk?”

Mario melirik jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi.

“Yuk!”

Mereka berdua merapikan selimut yang membungkus tubuh. Suasana pun berubah hening.

“Maafin kalo gue ada salah sama elu…” tiba-tiba Arie berujar lagi.

“Ya…”

“Gue pasti banyak banget salah sama elu. Secara nggak sengaja gue juga mungkin udah nyakitin hati elu…”

“Banget!” balas Mario lalu tertawa.

“Jujur, gue nggak pernah bermaksud begitu…” nada suara Arie terdengar serius.

“Gue tahu. Kalo gue nyakitin elu, juga nggak disengaja itu…”

“Gue bisa ngerasain itu sekarang.”

“Maksudnya?” Mario menoleh kepalanya ke Arie.

“Lupakan, hehe…”

“Grrr…! Dari tadi elu ngomongnya gantung mulu, Rie!” Mario gusar.

“Hahaha. Masa sih?”

“IYA!”

“Maaf deh…”

“Ngomongnya juga serius banget. Bikin gue takut aja elu, ah! Elu udah ada tanda-tanda bakal mati besok apa???”

“Haha, sial!”

“Kita itu udah temenan sejak lama! Udah tahu karakter masing-masing… Nggak perlu lah minta-minta maaf segala. Gue udah maafin apapun kesalahan elu, tanpa elu minta. Gue rasa elu juga gitu kan?”

“Hehe, iya…”

“Tuh!”

“Hehe…”

“Udah ah! Tidur yuk?”

“Gue belum ngantuk…”

“Ohhh…”

“Kalo elu mo tidur, duluan aja…”

Mario tak menjawab. Ia menatap langit-langit kamar.

Sekitar lima menitan hening…

“Bray, udah tidur?” tegur Arie.

“Belum…”

“Kok belum?”

“Belum ngantuk juga, hehe…”

“Ooohhh. Huffhhh…” Arie menghela nafas lewat mulutnya. “Gue boleh nanya soal hubungan elu sama Mister Jo?”

“Apa?”

“Elu kan macarin cowok straight. Elu yakin sama perasaannya?”

“Maksud elu? Rasa cintanya ke gue?”

“Ya.”

“Gue yakin aja.”

“Banyak yang bilang di forum kalo cowok straight itu gak bisa sepenuhnya kita genggam—”

“Ya, gue tahu,” potong Mario. “Jujur, rasa khawatir pasti ada. Kalo lagi berantem dan dia nggak mau memenuhi permintaan gue, gue sering mikir apa bener dia sayang sama gue? Makanya gue minta macam-macam sama dia buat ngebuktiin kalo dia bener-bener sayang sama gue.”

“Terus dia mau menyanggupi permintaan elu?”

“Sejauh ini iya. Meskipun nggak langsung mengiyakan, tapi apa yang gue inginkan selalu disanggupi Ayah.”

“Berarti dia benar-benar cinta sama elu.”

“Gue harap gitu. Karena selama ini gue selalu menuntut dia ini itu, dan dia menyanggupi. Terlepas dia tulus atau tidak, tapi gue ngerasa gue nggak perlu melakukan apa-apa lagi untuk pembuktian. Selama ini gue udah keterlaluan memaksakan kehendak…”

“Elu beruntung banget dapat bf yang kek gitu…”

“Hehehe…” bunga-bunga cinta bermekaran di dada Mario saat bibirnya mengumbar tawa.

“Berarti gue bisa ngelepasin elu sama Mister Jo…”

“Hah?” kening Mario berkerut.

“Elu kan adek gue. Sekarang elu udah punya kakak baru yang lebih baik dari gue…”

“Kakak gue? Pret!”

“Yaaa, gue yang anggap elu adek. Nggak tahu sih elu anggap gue apa…” nada suara Arie terdengar sendu.

“Ish! Elu sensitif amat, Bray?” Mario bisa merasakan kesenduan Arie.

“Dari dulu kok gue sensitif. Tapi orang lain aja yang nggak peka…”

“Aaarrggghhh! Elu tuh kenapa sih?! Jangan gitu ah!” Mario tak suka dengan sikap Arie yang dianggapnya aneh.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa!”

“Hmmm…”

“Elu itu gak bisa digantikan sama siapapun. Elu dan Ayah itu beda.”

“Eh?”

“Elu itu tetap teman terbaik yang gue punya dan udah gue anggap kakak sendiri. Elu itu punya tempat tersendiri di hati gue. Ayah itu pacar gue. Dia juga punya bagian tersendiri. Kalian itu sama-sama penting buat gue… Jadi gak usah banding-bandingin diri elu sama dia!”

“Iya… Gitu aja ngambek…”

“Elu sih…”

“Cup…cup… Netek dulu yuk?”

“Ada susunya nggak?”

“Coba aja dulu, siapa tahu anda beruntung…”

“Wkwkwkwk…!”

“Hehehe…”

“Nah, gitu dong! Gue tahunya Arie teman gue itu bocor. Jangan sok-sok mellow ah!”

“Bowcor… Bowcor…! Nah KAU!”

“Makanya pake yang “bersayap” biar gak bowcor…”

“Jiah! Elu kira gue nifas?!”

“Hah? Kok nifas?”

“Datang bulan.”

“Bego! Haids woy! Nifas itu kalo melahirkan!!!” teriak Mario di depan telinga Arie.

“Eh? Hehe… Salah sebut aja. Itu maksud gue…” Arie ngeles.

“Halah!”

“Kok elu tahu banget, Bray? Gue curiga elu ini pernah melahirkan, hihihi…”

“Melahirkan pejuh! Hahaha…!”

“Wih! Mau dong…”

“Mau apa? Mau pejuh?”

“Gue punya. Barter yuk?”

“Pejuh versus pejuh gitu?”

“Maunya sama apa?”

“Pejuh gue cuma untuk dia seorang… Hihihi.”

“WHA!!!” seru Arie.

“Kenapa?”

“Mister Jo doyan pejuh???!!!”

“Bego!”

“Hahahaha…!”

“Udah ah. Tidur yuk?” pungkas Mario.

“Ayolah…” Arie membungkus wajahnya dengan selimut…

***

Mario terbangun dari lelapnya. Tapi ia tak tahu pukul berapa, karena ia tidak melihat jam. Lagi pula ia terbangun hanya sebentar. Hanya saja ia bisa merasakan lengan Arie di seputaran pinggangnya. Arie memeluknya dengan erat.

Ia tersenyum dan kembali memejamkan mata. Pelukan Arie terasa hangat. Sangat erat dan terasa dominan. Bahkan pelukan itu lebih erat dari pelukan Johan. Untuk menggerakkan tubuhnya saja Mario kesulitan. Arie memeluknya seakan tak akan melepaskannya lagi…

Mario kembali terbangun saat mendengar kokok ayam bersahutan. Kali ini ia mendapati sebelah kaki Arie sudah berada di atas pahanya. Tubuh Arie menempel erat di tubuhnya. Saking dekatnya, ia bisa merasakan “gundukan” Arie menekan tulang ekornya.

Mario tersenyum geli. Ia menolehkan wajahnya ke Arie yang masih terlelap. Jujur, ia tergoda untuk “bermain-main” dengan temannya itu. Tapi ia cepat-cepat menghilangkan pikiran kotoran tersebut.

“Jangan macam-macam. Gue cuma milik Ayah,” hatinya memperingatkan.

Mario memalingkan wajahnya lagi. Tidak hanya itu, ia menyingkirkan kaki Arie dari pahanya. Tapi saat ia bergerak, Arie ikutan bergerak. Temannya itu malah memeluknya makin erat. Ia bisa merasakan milik Arie semakin keras.

Shit, umpat Mario. Ia mencoba menjauhkan punggung bawahnya dari Arie.

“Engghhh…” gumam Arie tak jelas.

“Rie, bangun…!” Mario menyikut dada Arie.

“Uugghhh… Dingiiinnn…” gumam Arie.

“Udah pagi, woy!!!”

“Pukul berapa sekarang, Bray?” tanya Arie dengan suara berat.

“Nggak tahu. Bentar lagi terang nih…”

“Gue masih ngantuk. Bobo lagi yuk…” Arie meraup pinggang Mario dengan tangannya. Membuat miliknya kembali menekan tubuh Mario.

“Eh…!”

“Bbrrrr…”

Mario menelan ludah. Entah apa hanya perasaannya saja, barusan ia merasakan Arie menggesekkan gundukan itu ke pinggang belakangnya.

“Elu dingin nggak?” tanya Arie.

Mario mengangkat bahunya saat hembusan nafas Arie menerpa daun telinganya.

“Biasa aja…”

“Gue dingin…” Arie membenamkan wajahnya ke tengkuk Mario.

Mario tak menjawab.

“Dingin banget ih di sini? Di rumah gue nggak sedingin ini…”

“Sama aja ah…”

“Nggak ah.”

“Perasaan elu aja…”

“Mungkin… Eh, nggak apa-apa ya gue peluk elu.”

“I-iya…”

“Huuhhhh….” lagi-lagi Arie menghembuskan nafas. Kemudian tanpa sungkan ia mendekap Mario lebih erat lagi.

Ada degupan tak biasa di dada Mario. Entah kenapa tiba-tiba rasa yang pernah ia persembahkan untuk Arie dulu muncul lagi dan perlahan merangkak naik ke permukaan. Hanya getaran kecil saja, tapi tetap saja menggoda.

“Bray, gue horny…” bisik Arie tiba-tiba.

Bianglala Satu Warna Chapter XVl

Johan dan Mario kembali akur. Mereka kembali menghabiskan waktu bersama seperti sebelum adanya konflik di antara mereka. Malam harinya mereka berdua makan malam sambil ngobrol. Habis makan dilanjutkan nonton film Bangkok Love Story, salah satu film bertema gay dari negeri Gajah Putih yang sering direkomendasikan selain Love Of Siam. Film tersebut sukses membuat Mario makin manja sama Johan.

“Kapan ya, Indonesia bikin gay theme movie kek gini?”

“Bukannya udah ada?”

“Ya. Tapi gak greget.”

“Tahu sendirilah negara kita ini kayak apa. Mana beranilah. Ntar di demo habis-habisan dari banyak pihak…”

“Iya sih…” Mario merebahkan kepalanya di dada Johan.

“Filmnya udah habis. Buruan bobo…”

“Belum ngantuk. Baru aja pukul sembilan.”

Johan menegakkan kepala Mario dari dadanya. Kemudian ia bangkit dan mengambil remote lalu menyalakan TV.

Mario sendiri menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Setelah Johan balik ke posisi semula, ia pun kembali bersandar di dada pacarnya itu.

Johan menyambut kepala Mario dengan membelai lembut rambutnya. Mario tersenyum. Ia kemudian mengambil headset dan mendengarkan musik dari handphone-nya. Setengah jam kemudian ia sudah terlelap oleh buaian musik lembut dari headset ditambah usapan tangan Johan yang menenangkan. Melihat Mario sudah tertidur, Johan langsung mematikan musik dan melepaskan headset dari telinga pacarnya itu.

Sekitar pukul sebelas, Johan mematikan TV. Ia lantas menaruh kepala Mario ke bantal di sebelah mereka. Setelah itu ia mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Kemudian mencium kening Mario, lalu berbaring di sebelah pacarnya itu sambil menyelimuti tubuh mereka berdua. Terakhir ia memeluk tubuh Mario dan memejamkan mata…

***

*31 Mei 2013*

***Mario***

Gue bahagia. Bahagia yang seakan tanpa beban. Belum pernah rasanya gue seringan ini. Dua hari belakangan ini hidup gue sangat indah. Santai di rumah dan bisa sayang-sayangan sama Ayah. Mau tidur dikelonin, pas tidur didekap sampai pagi, dimasakin menu kesukaan, nonton bareng sambil pelukan, olahraga bareng sambil becanda… Pokoknya full kontak fisik deh.

Tak ubahnya dengan hari ini, kebetulan hari Jumat. Ayah nggak kuliah. Jadi kita berdua bisa santai. Habis solat Subuh Ayah ikut naik ke tempat tidur dan peluk gue erat.

“Eh! Tumben…?” tegur gue.

“Apa?”

“Kok Ayah tidur lagi?”

“Sesekali…”

Gue terkekeh sambil menggenggam pergelangan tangan Ayah yang melingkar di dada gue. Kita berduapun tidur lagi.

Kita terbangun pukul tujuh lewat. Itu pun gue yang pertama kali bangun. Gue langsung bangunin Ayah yang nampak pulas.

“Yah, udah pukul tujuh nih…” kata gue.

Ayah mengucek-kucek matanya.

“Udah pukul tujuh lewat lhooo…”

“Emang napa?” tanya Ayah dengan mata sendu.

“Lho?! Ayah nggak mo exercise? Masak menu sarapan juga belum…” terang gue.

“Kamu laper?”

“Nggak.”

“Ya udah, ntar aja masaknya,” jawab Ayah enteng sambil mengubah posisi tidurnya jadi telungkup.

Tumben…! Desis gue dalam hati. Bikin gue geregetan aja deh!

“Kamu nggak mau tidur lagi?” Ayah mengangkat kepalanya dan noleh ke gue.

“Emang napa?” gue balik nanya.

“Ya udah, kamu aja yang masak gih…!” ia menjatuhkan kepalanya lagi ke bantal.

Gue senyum.

“No!” seru gue sambil melompat ke atas tubuhnya.

“Dari pada di sini gak jelas?”

“Gak jelas gimana? Oh mo bobo juga.”

“Hmmm…”

Gue terkekeh.

“Tidur di sini gih…” Ayah menepuk space di samping tubuhnya.

“Ogah!”

Ayah nggak berkata-kata lagi. Kita berduapun akhirnya terlelap lagi…

Sekitar pukul setengah sepuluh gue bangun. Saat gue buka mata, di samping gue Ayah udah gak ada. Gue lihat tirai jendela udah disibak. Gue menguap lebar sambil menggeliat. Gue mengambil guling yang tergeletak di tempat Ayah tidur tadi. Gue dekap erat dan gue cium. Aroma tubuh Ayah melekat di sana. Gue pejamin mata, bermaksud tidur lagi. Tapi kantuk gue udah hilang sepenuhnya. Akhirnya gue bangun, beresin tempat tidur dan berjalan ke luar kamar.

Gue menuju dapur. Gak ada bunyi apa-apa di sana. Gak ada bunyi sendok beradu dengan wajan, atau bunyi pisau beradu dengan talenan, atau bunyi kucuran air di wastafel. Hening. Hmmm, Ayah lagi ngapain??

“Morniiiingggg…!” seru gue dari ambang pintu dengan suara berat.

“Morning!”

Gue menoleh ke arah sumber suara. Nampak Ayah yang tengah duduk di dekat kulkas sambil mainin HP-nya.

“Ayah lagi ngapain?” tanya gue sambil menarik salah satu kursi dan duduk di depannya.

“Masak menu sarapan,” jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar HP.

“Masak apa?” gue bangkit dan menuju kompor. Ada sebuah panci yang tengah dijerang di sana.

“Wah, sup!” seru gue setelah mengangkat tutup panci.

“Sama telor. Maunya di rebus atau digoreng?” tanya Ayah.

“Mata sapi.”

“Oke. Ambil telor dua butir.”

Gue menuju kulkas setelah menutup panci lagi. Gue ambil dua butir telur dan gue taruh di atas meja.

“Bisa kan buat sendiri?”

Gue nyengir. Lalu mengambil telur yang gue taruh di atas meja tadi dan membawanya ke dekat kompor.

“Awas kalo gagal!” kata Ayah.

“Kita lihat aja ntar!” balas gue seraya mengambil teflon.

Setelah sup-nya matang, gue dan Ayah langsung sarapan. Ngomong-ngomong telor ceplok buatan gue tadi berhasil lho, meskipun kuning telurnya nggak berada di tengah. Eh, itu bisa dibilang berhasil nggak sih? Ah, masa bodoh! Yang penting Ayah nggak protes, haha.

Kelar makan kita berdua santai di rumah. Ayah nulis-entah-apa di laptop-nya, sedangkan gue online di forum sambil dengar lagu. Iseng-iseng buka beberapa thread baru di boyzforum, gue lihat nama Ariesboyz.

Ha! Arie.

Apa kabar si Mo, ya? Udah lama (hmmm, udah berapa hari ya kita gak komunikasi??) nggak tahu kabar tentang dia gara-gara sibuk ngurusin masalah sendiri. Gue pun langsung sapa dia via WhatsApp.

Mario: Krik…krik… (10.05)

Arie: Oey! (10.07)

Mario: Apa kabar elu, Mo? (10.07)

Arie: Baiikk… (10.08)

Mario: Elu lg nge-forum? (10.09)

Arie: Yup. Kok tw? Elu lg main BF jg? (10.11)

Mario: Heeh. (10.12)
Mario: Apo lokak elu, nyet?* (10.12)

Arie: Santai aja sih… Elu? (10.13)

Mario: Sama. Nggak bantu jaga toko elu? (10.14)

Arie: Kadang2 sih… Eh, main dong kermh. Jgn ngelon mulu di rumah. (10.15)

Mario: Hahaha. Habis enak sih… 😀 (10.15)

Arie: Hmmm… Tw deh yg punya pacar… (10.16)

Mario: Hahaha…! (10.17)
Mario: Ntar gue ke rumah elu. Ada di rmh kan? (10.17)

Arie: Ada. (10.18)
Arie: Bawa makanan yaaa (10.18)

Mario: Amaaaannnn…! Ntar gue bawa nasi basi. (10.19)

Arie: Jiah. Mendingan elu gak usah ke sini kalo gitu. (10.20)

Mario: Elu sebenarnya mo gue apa makanannya sih? (10.20)

Arie: 22-nya , :p (10.21)

Mario: Loba elu! (10.22)

Arie: Enak tuh loba. (10.23)

Mario: Lobak! (10.24)

Arie: Hehehe… (10.25)

Mario: Ya udah, ntar gue ke sana ya… (10.26)
Arie: Sip! (10.28)

Habis WA si Arie, gue lihat jam baru aja pukul setengah sebelas. Masih lama untuk Jumatan. Ah, sekarang aja deh ke rumah Arie…, desis gue dalam hati.

Gue pun langsung bangkit dari duduk. “Yah, gue ke rumah Arie ya?”

“Ya. Mo ngapain?”

“Main aja…”

“Bentar lagi Jumatan.”

“Masih lama kok…”

“Ya.”

Gue berjalan ke kamara buat nyisir rambut. Setelah itu ambil sembarang sweater di dalam lemari dan memakainya seraya keluar kamar.

“Cabut ya, Yah…!”

“Eh? Gak mandi dulu??” Ayah mengangkat wajahnya dari depan laptop.

“Ntar aja deh, sebelum Jumatan.”

“Bauuuu…!”

“Hahaha. Pake parfum ini…”

Ayah manyunin bibirnya.

Gue terkekeh. “Gue pamit ya? Assalamualaikuumm…!”

“Walaikumsalam! Take care!”

“Oke, Dad!”

Sesampainya di rumah Arie…

“Cepat amat elu datang?” tanya Arie setelah buka pintu.

“Nih!” gue angkat kantong kresek di depan wajahnya.

“Apa nih? Panas…” Arie meraba-raba kresek yang gue bawa.

“Pangsit.”

“21?”

“Yup.”

“Wah, udah lama banget gue nggak makan pangsit, Mo.”

“Iya. Elu kan makan pangsit tergantung sama traktiran orang,” ledek gue.

Tawa Arie meledak.

“Iya kan? Tergantung siapa yang ultah. Dasar pelit!”

“Gue gak suka pangsit sih… Makanya jarang beli.”

“Peres! Gue bawa pulang lagi nih?”

“Ih, gak boleh ngambil lagi pemberian yang udah dikasih. Pamali. Ntar siku lu jamuran.”

“Hahahaha…!” gue ngakak.

“Serius tahu!” Arie merebut kresek di tangan gue. “Masuk!” serunya sambil berlalu ke dalam.

Gue mengikuti langkahnya menuju dapur.

“Seminggu kebelakang elu ngapain aja, Bray?” tanya gue.

“Makan, tidur, main game, mandi, main game, makan, tidur—”

“Pantesan badan elu udah montok banget…”

“Hah? Masa sih…?” Arie langsung menepuk-nepuk perutnya.

“Yup. Udah naik berapa kilo?”

“Gak tahu. Tapi gue nggak berasa begah atau sesak kok…”

“Tunggu aja ntar lagi…” goda gue.

Arie langsung melompat-lompat di depan gue.

“Nggak sesak, nggak ngos-ngosan juga…”

“Hahahaha…! Serius banget sih? Lagian kenapa emang kalo montok?”

“Nggak mau aja,” jawabnya sambil membuka bungkus mie pangsit.

“Justru gue suka kok…”

“Kenapa?”

“Enak aja ntar nabokin elu kalo berdaging, hihihihi…”

“Jiah! Dasar…!”

Gue terkekeh.

“Dua bungkus? Buat gue semua nih…?”

“Enak aja! Gue satu! Elu mau berat badan elu naik sepuluh kilo?!”

“Hahaha…! Nggak mungkin gegara makan dua porsi mie pangsit berat gue melonjak drastis…!”

Gue terkekeh.

“Elu belum sarapan ya?”

“Udah tadi. Elu?” gue balik nanya.

“Udah juga…” jawab Arie seraya mengaduk mie-nya.

“Elu kok nggak ikutan jaga toko sih? Jadi anak gak berbakti banget elu…” ledek gue.

“Emang elu berbakti? Jangankan bantu ortu, malah kabur tinggal sama pacar, weeee…!” Arie balas ngeledek.

“Preeettt!”

“Apa elu?! Mo balas apa?!”

Gue nyengir. Sialan dia!

“Gue kapan yah bisa kek elu?”

“Tinggal cari pasangan aja…” jawab gue. “Eh, tapi elu kan udah punya Juwi, Mo!”

“Gak mungkin gue tinggal sama dia, Monyong!”

“Hahaha. Nggak, maksud gue, gimana hubungan elu sama dia?”

“Baik-baik aja…”

“Gak jalan nih?”

“Dia lagi liburan ke Lampung.”

“Oh, pantesan. Kesian ya yang ditinggal…” ledek gue.

Arie monyongin bibirnya.

“Eh, gue mo cerita ke elu, Bray!” seru gue tiba-tiba saat suatu pikiran melintas di benak gue.

“Apa?” tanya Arie sebelum menyantap pangsitnya.

“Ah, ntar aja deh. Habis makan…” tahan gue sambil senyum.

“Ya udah…” dia melanjutkan melahap mie-nya.

Gue mengangguk.

Selesai makan pangsit, kita berdua duduk di balkon. Arie juga nyalain radio. Lagu Grenade langsung menyapa kuping gue. Hmmm, semenjak salah satu finalis pencarian bakat X-factor Indonesia membawakan lagu milik Bruno Mars itu, di radio-radio sering gue dengar lagu itu diputerin.

“Tadi elu mo cerita apa?” tanya Arie.

“Cerita nggak yah?” gue mulai ragu.

“Kok…?”

“Nggak usah deh.”

“Lha?! Gimana sih?!” Arie sewot.

Gue nundukin kepala. Menimbang-nimbang jadi cerita atau nggak.

“Tentang apa sih?” desak Arie.

“Gue sama Kak Jo.”

“Apa?”

“Kita udah main, Bray!” nafas gue langsung lega setelah ngomong.

“Main? ML?!”

“Yup…”

“Ha! Siapa yg jadi bot? Elu yah?!”

“Mau tahu aja…” elak gue. Wajah gue langsung panas.

“Elu kan??? Gak mungkin si Mister Jo. Dia mah top sejati!”

“Sok tauk.”

“Halah! Dia kan jantan banget. Gak mungkin jadi bottom.”

“Emang gue kurang jantan??? Terus bottom itu gak jantan ya?”

“Kan butuh pengorbanan lebih buat jadi bot…”

“Nah, itu justru jantan. Para bot rela berkorban. Orang yang rela berkorban kan salah satu sikap ksatria. Hahaha. Berkorban buat dimasuki…”

“Hahaha…! Berapi-api banget ngomongnya? Mewakili suara para bot yah?” goda Arie.

Anjrit!

“Itu hanya sekedar peran. Bot atau top tetap aja namanya belok!” kata gue sambil ngakak.

“Jadi elu bot atau top?”

Grrr…!

“Menurut elu?” gue balik nanya.

“Jelas bot lah! Muka elu kan binan banget.”

“Seak! Gak ngaca elu? Hahaha…!”

“Udah kok. Tetap ganteng.”

“Hoeks!”

“Eh, gimana rasanya begituan? Enak?”

“Uhmmm…” gue gak bisa langsung jawab.

“Katanya sekali ngelakuin bikin ketagihan. Bener gak?”

“Nggak tuh!” jawab gue.

“Berarti nggak enak ya?” Arie balik ke pertanyaan sebelumnya.

“Coba sendiri deh!” gue bingung mo jawabnya gimana.

“Hahaha. Gak ada lawaaan. Elu mau?!”

“Shit.”

“Hahahaha…! Udah berapa kali elu ML sama dia?”

“Baru sekali.”

“Oohhh…” desis Arie. “Ada dokumentasinya gak?”

“Wkakakakak. Elu kita gue Ariel?”

“Siapa tahu aja kan. Buat kenang-kenangan gitu.”

“Gue gak segila itu,” jawab gue. “Tapi boleh juga ide elu…” sambung gue sambil nyengir.

Arie ngakak.

“Kan bisa dijual…”

“Ide bagus tuh. Jual ke anak-anak forum, pasti laku keras…”

“Hahaha…! Astaga! Jangan sampai deh…” gue bergidik.

“Kenapa? Lumayan kan buat uang jajan…”

“Gila elu! Elu aja gih…”

Arie terkekeh.

Dari obrolan tentang pengalaman ML gue, omongan kita beralih terus tak henti-henti. Kadang-kadang bahas lagu yang sedang diputerin di radio, kadang bahas mobil dan otomotif setelah ada mobil kinclong yang melintas depan rumah, kadang bahas berita yang ditonton Arie semalam… Macam-macam deh. Yang jelas sebelum jarum jam menyentuh angka dua belas, gue pamit pulang. Gue mau mandi dan pergi Jumatan bareng Ayah. Begitu juga dengan Arie. Dia juga mau mandi untuk Jumatan.

***

Notes: * lokak : kesibukan/kerjaan

Bianglala Satu Warna Chapter XVk-lanjutan

Cerita sebelumnya:
Mario meminta have sex sebagai hadiah kelulusannya. Tapi Johan menolak. Karena Mario terus merengek, akhirnya Johan mengalah. Meskipun setengah hati ia mau melakukannya bersama Mario. Namun mereka hanya melakukan sebatas oral. Dan itu membuat Mario tidak puas. Ia ingin Johan memasukinya.

Suatu malam, setelah beberapa malam Mario gagal membujuk Johan memasukinya, ia akhirnya melakukan tindakan sedikit ektrem. Ia memanfaatkan kesempatan saat Johan sedang tidur. Sehingga terjadilah apa yang ia inginkan.

Sayangnya, pengalaman seks pertama itu tidak sesuai harapannya. Dan terlebih lagi menimbulkan masalah. Johan merasa sedih dan curhat ke Ajeng. Hubungan mereka berdua di ujung tanduk. Nah, apakah hubungan mereka bisa dipertahankan?? Apakah Johan mau memaafkan Mario??

***

Tak butuh waktu lama, panggilan Johan langsung diangkat Ajeng.

“Assalamualaikuuummm…!” sapa Ajeng.

“Wallaikumsalam.”

“Ya, Jo?”

“Hati aku masih ngeganjel…”

“Kenapa?”

“Ada yang belum aku kasih tahu ke kamu.”

“Tentang apa?” tanya Ajeng dengan nada santai.

“Aku dan Mario, we’ve had sex…” terang Johan disertai hembusan nafas berat.

“Ow…!” seruan itu meluncur cepat dari mulut Ajeng.

Sejenak kemudian tak terdengar suara dari kedua ujung sambungan panggilan.

Mereka berdua sama-sama jadi kikuk.

“Jeng?” panggil Johan akhirnya.

“Ya, ya…! Uhmmm, sorry, gue kaget tadi dengernya. Kok bisa?”

“Mario yang maksa.”

“Maksa?” nada Ajeng terdengar tak percaya dengan keterangan Johan barusan.

“Konyol ya?”

“Seorang Johan bisa dipaksa?” Ajeng menekan intonasi suaranya.

“Itu dia, Jeng. Aku sendiri bingung sama diri aku sendiri. Kok bisa ngalah gitu sama dia…”

“Lu ngalah sama dia alasannya apa?”

“Nggak tau. Aku sayang sama dia dan gak mau dia kecewa…”

“Elu tau itu artinya apa?”

“Eh?”

“Artinya elu udah pakai perasaan sekarang, Jo. Lu sudah menggunakan perasaan untuk Mario, bukan logika lagi. Bagi elu sekarang, Mario bukan hanya sekedar “Mario” kan?”

“Mario sudah jadi bagian hidupku. Dia sudah ada tempat tersendiri di hati aku… Akh!” desis Johan kesal.

“Apa itu artinya elu udah kalah?”

“Kalah?”

“Kalah sama perasaan. Menyerah dan mengakui kalau Mario mencuri hati elu?”

“Perlahan begitu, Jeng.”

“Dan elu akan membendungnya kan? Tak akan membiarkan perasaan itu mengalir di hati elu…”

“Aku tak pernah membendungnya. Justru selama ini aku membuatkan aliran untuk Mario. Aku nyaman. Kamu jangan pikir aku terus bergumul dengan perasaanku sendiri untuk menolak perasaan itu, Jeng. Nggak. Aku menerima jika pada akhirnya akan mencintai Mario.”

“Terus apa masalahnya sekarang?”

“Permintaan dia itu. Itu yang tak bisa aku terima. Jika ia bisa melupakan tentang seks, aku akan merangkul dan mencintai dia.”

“Kenapa tidak dibicarakan?”

“Mario tak bisa mengerti, Jeng. Selama nafsunya belum terlampiaskan ia seperti buta. Sampai akhirnya terjadilah hal itu…” Johan menghela nafas.

“Elu pengen gue bicara sama dia?”

“Silahkan…”

“Ya udah. Kalo gitu, coba gue bicara ke dia ya? Moga aja dia mau pacaran seperti yang elu minta.”

“Ya, Jeng. Aku sayang sama dia.”

“Ya.”

“Oke. Thanks. Assalamualaikum…”

“Walaikumsalam.”

***

Mario berdiri saat melihat kepulangan Johan.

“Ayah…!” sapanya ceria.

Johan tersenyum kecil.

“Dari mana?”

“Rumah teman,” jawab Johan sambil lalu.

Mario mangut-mangut sambil memperhatikan punggung Johan yang menghilang di balik pintu kamar.

Ia menghela nafas dan kembali duduk di sofa. Respon Johan barusan sangat dingin. Terasa sekali sikap ogah-ogahannya saat menjawab pertanyaan yang ia berikan.

Mario memejamkan matanya. Ia yakin pasti gara-gara ML semalam.

“Ah, kenapa juga gue maksa dia. Gue benar-benar gak bisa bersyukur…” sesalnya. “Seharusnya dapat kasih sayang dari dia udah cukup, kenapa gue harus minta dia ML juga…”

Mario menyandarkan kepalanya ke sofa. Ia memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan mereka ke depan. Jujur ia khawatir kehilangan Johan. Melihat sikap Johan yang dingin tadi, ia takut Johan minta putus.

Ia menyesal. Benar-benar terasa penyesalannya baru sekarang. Ia benci karena udah ngelakuin itu. Nikmatnya nggak dapat, sementara masalah baru pun muncul.

“Apa gue harus minta maaf sama Ayah? Bilang kalo gue nyesal dan gak akan minta macem-macem lagi. Janji nggak akan nuntut macem-macem asal ia mau maafin gue dan gak mutusin gue…” hatinya mulai mempertimbangankan ide itu.

Mario menoleh ke arah pintu kamar. Ia ingin menemui Johan, tapi ragu.

Sementara itu di kamar, Johan duduk di meja belajar dan menghidupkan laptop-nya. Tak ada tugas yang harus dikerjakan. Tapi ia hanya ingin browsing saja sebagai pembunuh waktu.

Biasanya kalau nggak ada kerjaan, dan Mario juga nggak ada kerjaan, mereka berdua duduk di teras atau nonton di ruang tengah. Tapi hari ini ia memilih untuk lepas dari kebiasaan itu. Ia sengaja ingin menghindari Mario. Bukan karena ia benci, toh sejak lama ia tak bisa membenci anak itu. Tapi kali ini ia ingin mengeraskan hatinya dan memperjelas sikapnya ke Mario supaya anak itu mengerti bahwa ia tidak suka diperlakukan seenaknya seperti semalam. Ia ingin Mario tahu hubungan seperti apa yang ia inginkan. Ia ingin Mario belajar untuk mengendalikan keinginannya dan menghargai pilihan orang lain. Ia lakukan itu semata-mata karena sayang sama anak itu. Ia ingin membangun hubungan yang sehat dan tanpa paksaan. Harapannya semoga Mario bisa mengerti.

***

Ajeng datang habis makan siang ke rumah Johan. Saat itu Johan lagi nonton, sementara Mario lagi online di teras.

“Eh, Mbak Ajeng…! Kemana aja elu, Mbak? Baru nongol sekarang…” sapa Mario.

“Biasaaa… Pemotretan di Bali,” Ajeng nyengir.

“Oh, ya? Pasti untuk cover majalah Trubus tuh…”

“Tau aja elu!”

“Hahaha…”

“Dari rumah, Jeng?” tanya Johan dari ambang pintu.

“Dari rumah teman tadi.”

“Motor kamu mana?”

“Tadi teman gue yang jemput ke rumah…”

“Terus kesini tadi naik ojek?” kali ini Mario yang nanya.

“Nggak. Di anter sampe mulut gang aja. Dianya ada urusan…”

“Oohhh…”

“Nah, tujuan gue ke sini mo minta kalian antar gue ke rumah.”

“Jiah! Napa gak sekalian aja lu minta antar dia ampe ke rumah, Mbak? Ribet amat…?”

“Rumah gue sama jalan yang ia tuju itu berlawanan…”

“Ribet. Gegara nggak mau ngeluarin modal…” celetuk Johan.

Ajeng terkekeh.

“Masuk, Jeng!” ajak Johan.

“Gue mo langsung pulang aja. Yo! Anterin Mbak ya?”

“Oke,” jawab Mario disertai anggukan.

“Yuk, sekarang yuk!”

“Oke, gue ambil kunci motor dulu,” jawab Mario sambil melesat ke dalam.

“Kamu mau ngomong sama dia ya?” tanya Johan sepeninggalan Mario.

“Iya.”

“Jangan bawa-bawa aku ya,” pesan Johan.

“Tenang. Gue bakal bawa-bawa Kak Reno!”

“Jiah! Nggak ada hubungannya…”

“Emang!”

Johan misuh-misuh.

“Yuk, Mbak!” seru Mario dari dalam.

“Yuk!!!” balas Ajeng. “Oke, gue balik. Lu berdoa aja ya,” katanya ke Johan.

“Apa deh…” gerutu Johan.

***

Dalam perjalanan menuju rumah Ajeng…

“Yo! Gimana hubungan elu sama Jo?”

“Baik, Mbak.”

“Baik ya? Gimana dia? Masih kaku atau gimana?”

“Nggak banyak berubah sih…”

“Tapi elu nyamankan sama dia?”

“Yaaa, begitu… Nyaman-nyaman aja.”

“Sering berantem nggak?”

“Nggak. Palingan berantem karena gue yang bandel.”

“Emang elu bandel kek gimana?”

“Suka ngelakuin hal-hal yang dia gak suka.”

“Contohnya?”

“Uhmmm… Apa ya?”

“Berantem?”

“Nggak. Nggak pernah berantem lagi. Mau berantem sama siapa? Di rumah mulu…”

“Terus? Kamu suka malas?”

“Eee… Masalahnya lebih ke apa ya? Susah sih jelasinnya, Mbak…”

“Kok?”

“Ya gitu deh, hehehe…”

“Nah, kalo udah berantem, biasanya gimana tuh nyelesainnya?”

“Ngalir aja. Tiba-tiba udah ngobrol biasa lagi…”

“Oooohhhh, gitu. Eh, menurut elu, si Jo itu beneran sayang nggak sih sama elu?”

“Emang kenapa, Mbak?”

“Pengen tahu aja. Kan kalian udah hampir tiga bulanan nih. Pasti elu bisa ngerasain lah gimana…”

“Sayang, Mbak. Tapi kadang-kadang sempat ragu juga.”

“Kok gitu?”

“Di saat-saat tertentu doang sih. Kalo lagi kesal sama dia suka mikir dia keknya gak ngerti gue banget.”

“Wajarlah itu. Nah, kalo elu sendiri pernah nggak ngerasa bikin dia kesal?”

Mario tak langsung menjawab.

“Apa selalu berusaha bikin dia bahagia?” pancing Ajeng.

“Enggg, pengennya buat Ayah bahagia. Tapi kan penerimaan orang kan beda.”

“Menurut elu, apakah elu udah berbuat yang terbaik buat dia?”

“Pastinya belum. Masih jauuuhhh…”

“Kalo dia udah berbuat yang terbaik nggak buat elu? Mungkin berkorban apa gitu…”

“Ah, bahas yang lain aja deh, Mbak.”

“Lho? Ya udah… Gue kepo banget yah? Hehehe…”

“Iya, kepo! Yeee…”

“Hahaha…!”

Tak terasa mereka sudah sampai di depan gerbang pagar rumah Ajeng.

“Gue anter ampe di sini aja ya, Mbak.”

“Nggak mo masuk dulu?”

“Nggak usah, Mbak.”

“Oke. Makasih ya udah dianterin?”

Mario mengangguk..

***

***Mario***

[i]”Menurut elu, apakah elu udah berbuat yang terbaik buat dia?”

“Kalo dia udah berbuat yang terbaik nggak buat elu? Mungkin berkorban apa gitu…”[/i]

Pertanyaan Mbak Ajeng tadi terus berputar di kepala gue. Menyentak kesadaran gue.

Iya, apa yang sudah gue lakukan untuk hubungan gue sama Ayah?

Jawabannya: Nggak ada.

Gue baru sadar, selama ini gue nggak ngelakuin apa-apa untuk hubungan kita. Setelah terus berharap bisa mendapatkan Ayah dan harapan gue itu terkabul, gue nggak ngelakuin apa-apa sebagai rasa syukur gue.

Keterlaluan banget gue. Bukannya menjaga anugerah yang sudah Tuhan berikan, justru gue menyia-siakannya. Gue selalu berusaha mengambil keuntungan dari Ayah.

Sementara Ayah? Dia yang selama ini lebih banyak berkorban. Ikhlas menerima gue, belajar mencintai gue, berusaha memenuhi apa yang gue paksakan ke dia…

Ya Allah, jahat banget gue!

Akh, kenapa gue baru sadar sekarang sih? Kemana aja gue selama ini?

Tiba-tiba gue kangen banget sama Ayah. Gue pengen peluk dia dan bilang minta maaf. Gue sayang sama dia. Gue nggak mau kehilangan dia.

Gue memacu motor lebih cepat. Gue pengen buru-buru nyampe rumah dan ketemu Ayah.

Sesampai di rumah, gue memarkirkan motor dengan tergesa-gesa lalu berlari cepat masuk ke rumah.

Di ruang tengah gue mendapati Ayah tengah duduk di sofa. Ia keheranan melihat gue lari-larian di dalam rumah.

Ayah…! Desis gue dalam hati.

Tanpa pikir panjang gue langsung memeluk lehernya dari belakang. Gue peluk erat-erat sambil memejamkan mata. Ya Allah… Gue nggak mau kehilangan dia.

“Eh..eeh…” Ayah berusaha melepaskan pelukan gue.

“Plis, Yah, jangan dilepas…” desis gue. Gue belum tuntas melepaskan kerinduan yang melanda gue tiba-tiba ini.

Ayah membiarkan gue memeluknya.

“Gue kangen…” desis gue.

Ia tak menjawab.

“Gue kangen sama Ayah…” gue gak mau melepaskan lehernya.

“Jangan tinggalin gue, Yah…” kata gue lagi ketakutan.

“Lepasin,” kata Ayah dingin.

“Ayah, maafin Oh…” gue makin ketakutan.

Ia tak menjawab.

“Oh nggak mau kehilangan Ayah,” gue pengen nangis rasanya.

Ayah tetap diam.

Gue memeluk lehernya makin erat. Tanpa bisa ditahan air mata gue keluar dan jatuh di atas leher Ayah.

Ayah menoleh dan mengusap air mata gue yang menetes di lehernya.

“Oh takuttt…” gue mulai nggak bisa mengontrol perasaan.

“Kamu kenapa?” Ayah akhirnya bertanya juga.

“Oh takut kehilangan Ayah…”

Ayah tak berkomentar.

“Jangan tinggalin Oh. Oh mohon…”

***

***Johan***

Taktik apa lagi yang sedang dilancarkan Mario? Gumamku dalam hati.

“Oh tahu selama ini cuma jadi masalah buat Ayah…”

Tapi suaranya terdengar sangat tulus sih…

“Oh nggak pernah berusaha membahagiakan Ayah…, justru Ayah yang selalu mencoba membahagiakan Oh… Padahal Oh yang cinta sama Ayah…” ujarnya.

Aku masih saja diam. Hanya mendengar omongannya saja.

“Oh belum terlambat kan, Yah?” tanya Mario penuh harap.

Entah, jawabku dalam hati. Aku ingin mengakhiri semua ini, tapi masih belum sanggup.

“Oh berharap kata “masih” dari Ayah. Tapi Oh nggak mau memaksakan kehendak lagi seperti yang sudah-sudah…” nada suaranya terdengar pasrah.

Aku melepas lingkaran lengannya di leherku. Ia tak melawan.

Aku meregangkan otot leherku dan menyandarkan kepala ke sofa. Sementara Mario berjalan ke arahku. Lantas ia duduk di sebelahku. Sisa isakan tangisnya sesekali terdengar.

Lagi, aku jadi lemah di hadapannya. Aku tak sanggup melihat ia seperti ini. Aku ingin memeluk dan menenangkannya. Kekerasan hatiku seolah raib jika sudah berhadapan sama Mario. Aku tak pernah bisa lagi bertindak keras padanya.

“Sini…” desisku.

“Hah?” respon Mario seraya menoleh ke arahku.

“Ayah peluk…” Aku tiba-tiba juga ingin memeluknya.

Mario langsung beringsut mendekat. Ia membenamkan wajahnya ke dadaku saat aku melingkarkan lengan di sekitar bahunya. Kuusap-usap bahu, tengkuk dan rambutnya untuk menenangkannya.

Cukup lama kami berdua dalam posisi seperti itu tanpa kata.

Kemudian Mario mengangkat wajahnya. Kami bertatapan.

“Oh takut kehilangan Ayah…” desisnya.

“Kalo takut, jangan biarkan dia pergi,” sahutku.

“Oh pengennya gitu. Tapi dengan kelakuan Oh selama ini… Oh takut bisa membuatnya pergi…” bibir Mario bergetar.

“Keinginan untuk pergi selalu ada,” jawabku jujur.

“Jangan…!” desis Mario pelan.

“Keinginan itu karena kamu yang buat.”

“Maaf…” ucap Mario. “Oh mau berubah…”

“Berubah?” entah kedengarannya terdengar mustahil bagiku.

“Iya. Kalo Ayah masih ngasih kesempatan buat Oh memperbaiki semuanya…”

Aku kembali diam.

“Ayah maunya kita pacaran tanpa seks kan? Oh mau ngejalaninnya…”

Aku menyipitkan mata.

“Mungkin Ayah gak percaya. Jujur, Oh juga gak yakin. Tapi Oh mau coba, Yah. Oh pengen mencintai Ayah secara tulus, tanpa mementingkan nafsu…”

“Oh ya? Apa mungkin bisa?”

“Nggak tahu. Tapi Oh pengen coba. Jika Oh gagal, Ayah silahkan tinggalkan Oh…” Mario menghela nafas dalam-dalam. “Tapi asal Ayah tahu, membayangkan Ayah pergi aja, bikin nafas Oh sesak. Apalagi kalo itu jadi kenyataan. Jadi, Oh nggak akan biarkan hal itu jadi nyata. Dalam artian, Oh tak akan nyerah gitu aja. Oh tak akan biarkan Ayah pergi gitu aja…”

Dan lagi, aku terjebak sama ucapannya. Ah, memang aku tak bisa mengabaikan anak ini.

“Seharusnya dari dulu kamu mikirnya gitu…” aku merangkulnya lebih erat.

“Oh baru dapat wangsit, Yah…”

Aku terkekeh.

“Hmmm, tapi kalo minta dicium boleh ya?”

“Mau dicium?”

Ia menengadahkan wajahnya ke arahku. Kusambut bibirnya dan kukecup lembut.

“Thanks, Yah…”

Aku tersenyum.

“Kalo grepe-grepe dikit boleh gak?”

“Mario!”

Ia nyengir.

***