I am A Slave for U: I’ll Volunteer Part Three

Slave Part One|Slave Part two|Volunteer Part One|Volunteer Part Two

I’LL VOLUNTEER PART THREE.
Wahyu terbangun saat hari sudah gelap. Dan ia mendapati tubuhnya sudah terbungkus selimut yang hangat dan tebal.
Wahyu memegang kepalanya. Rasa pusingnya sudah hilang, meskipun kepalanya masih terasa berat. Ia langsung bangun dan menyibak selimut dan menyusuri lekuk tubuh telanjangnya. Kilasan kejadian yang sudah berlalu kembali mengambang di benaknya.
Cowok itu— Rizky kemana dia?
Wahyu melihat sekeliling ruangan, mencari pakaiannya. Tapi ia tidak menemukannya. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada pintu kecil yang menuju exe-room. Ia teringat dengan foto-foto yang memenuhi dinding ruangan.
Foto-foto siapa saja itu? Kenapa Rizky memajang foto-foto itu?
Wahyu bergerak menuju ruangan kecil itu. Ia menghidupkan lampunya dan cahaya temaram langsung menerpa meja lebar yang berada tepat di atas lampu dan di tenga ruangan. Pemandangan itu persis seperti ruangan penyelidikan yang kerap ditonton Wahyu dalam film-film hollywood.
Wahyu mulai meneliti foto-foto yang terpajang itu. Ada sekitar lima puluhan foto yang terpajang di sana. Siapa saja mereka? Kenapa semuanya laki-laki? Dan Wahyu akui, semuanya rupawan.
Otaknya langsung bisa memahamai dengan cepat. Kesemua foto ini pasti korban-korban Rizky.
Astaga! Sebanyak ini???!
Wahyu kembali meneliti foto itu satu persatu. Ia mencari foto dirinya. Jika memang ini daftar korban Rizky, pasti ada foto dirinya di sana.
Tapi apa yang ia temui justru diluar perkiraannya. Alih-alih menemukan foto dirinya, ia justru menemukan foto orang yang sudah sangat dikenalnya.
“Regi…?”
“Ada foto dia di sini? Kenapa?”
“Regi punya hubungan apa sama Rizky? Apa dia korban juga?”
Wahyu benar-benar bingung. Ia tiba-tiba meragukan asumsinya barusan.
“Nggak mungkin! Regi nggak mungkin korban Rizky.”
Lagi pula ia datang ke sini atas ancaman Rizky yang ingin menggantikan dirinya dengan Regi. Jadi pasti Regi bukan korban Rizky.
Tapi kenapa ada foto Regi di sini?
Sebuah pikiran melintas di benak Wahyu.
Astaga! Ia terlonjak kaget. Ini bukan daftar korban-korban Rizky. Tapi ini daftar mangsa Rizky selanjutnya.
Iya. Mereka dan Regi bermaksud dihancurkan juga sama Iblis berwujud manusia bernama Rizky ini.
“Gue nggak mungkin ngebiarin ini terjadi lagi!” Wahyu langsung bergegas keluar dari ruangan exe-room itu. Tapi langkahnya langsung terhenti sama sesosok tubuh yang berdiri santai di depan pintu.
Rizky.
Dada Wahyu langsung bergemuruh.
“Lagi ngapain?” tanya Rizky lalu menggigit apel merah di tangannya.
“Nggak apa-apa.”
“Akhirnya elu tahu juga…”
“Sepandai-pandai elu nyimpen bangkai, lama-lama baunya akan kecium juga.”
“Pribahasa itu sangat pas buat teman lu si Regi. Ya, ya…” Rizky mengangguk-angguk.
Wahyu menyipitkan matanya.
“Gimana keadaan elu? Gue takut banget elu out ketika liat wajah elu pucat banget.”
“Gue nggak bakal mati duluan, sebelum bisa membalas kelakukan elu. Setidaknya menghentikan niatan bejat elu itu!”
“Oh ya?”
“Jangan ganggu mereka. Mereka nggak punya salah sama elu. Jangan hancurkan hidup mereka.”
“Mereka? Siapa mereka?”
“Siapapun mereka, elu nggak berhak menghancurkan hidup seseorang. Gue udah bersedia datang dan menuruti kemauan elu. Kalo sampai Regi elu apa-apain, gue nggak perduli apapun. Gue bakal laporin elu ke polisi.”
“Jadi gue dan Regi bakal masuk penjara?”
“Regi?”
Rizky berjalan menghampiri Wahyu. Ia melabuhkan kedua lengannya ke pundak Wahyu.
“Sayang, kamu pernah nggak mikir kenapa kamu bisa ada di sini?”
Wahyu tak menjawab. Ia enggan untuk menjawab.
“Regi. Tanya sama teman elu itu.”
Wahyu menatap wajah Rizky.
Rizky mengangguk, lalu menggigit Apelnya lagi. “Mau?”
“Iya. Gue tahu semua gara-gara Regi. Karena dia punya teman satu sekolah seorang iblis berwajah manusia macam elu. Hanya sebatas itu. Tidak lebih!”
“Belum paham juga…” Rizky mendesah.
“Elu suka tempat ini?” Rizky mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Pasti elu lagi bernostalgia sama pengalaman seks pertama kita ya? Meja ini jadi alas saat elu ngasih keperjakaan elu ke Master-mu ini…” Rizky menyentuh permukaan meja.
Wahyu mencoba menghilangkan bayangan buruk itu.
“Kalo gue yang bilang Regi lah yang menggiring elu ke sini gimana?”
“Iya. Secara nggak sengaja. Karena dia nggak tahu—“
“Elu itu terlalu naïf, Yu. Regi nggak sebaik yang elu kira.”
Lantas Rizky pun membeberkan rencana yang sudah ia susun bersama Ken dan Regi.
“Elu mau memecah belah persahabatan kami?”
“Gue ngomong apa adanya. Sebenarnya gue kasihan sama elu yang dikibuli sama Regi. Dia itu salah satu slave gue.”
“Slave? Budak?”
“Sex-slave.”
“Budak Seks?”
“Yup. Dia sama kayak elu dan cowok-cowok yang barusan elu lihat fotonya di dinding. Semuanya itu mantan slaves gue.”
Tak bisa dipungkiri, Wahyu sangat terkejut.
“Dia adalah slave gue terlama.”
Wahyu geleng-geleng kepala. Ia tidak bisa menelan bulat-bulat omongan Rizky begitu saja.
“Tapi dia udah nggak perjaka sebelum jadi slave gue. Dia udah sering main sama cowok. Dan jujur, dia mainnya jago banget. Kapan-kapan elu harus coba main sama dia biar tahu gimana hebatnya dia. Hehe.”
Wahyu mual membayangkan omongan Rizky barusan.
“Dia juga mau diapain aja. Ngeseks kayak yang kita praktekkin barusan mah belum apa-apanya buat kita. Kita pernah main di atas atap pas tengah malam…, di langit-langit toilet sekolah, pake lilin…”
“Cukup. Gue nggak mau dengar elu pamer. Itu nggak ngaruh buat gue!” potong Wahyu sambil berjalan meninggalkan ruangan.
“Bahkan hampir setiap sudut rumah ini udah kita coba!”
“MANA PAKAIAN GUE?!”
“Lagi dicuci. Pake yang gue aja,” jawab Rizky seraya muncul dari ruangan exe-room. Ia lantas menuju lemari pakaiannya dan mengeluarkan sepotong kaos dan celana jeans lalu melemparkannya ke Wahyu.
“Elu mau pulang?”
Wahyu tak menjawab.
“Oke. Gue tunggu di garasi.”
“Gue bisa pulang sendiri!”
“Oke.” Rizky berdiri memandangi Wahyu yang mengenakan kaos.
“Oh, iya. Underwear elu juga dicuci. Elu mau pilih nggak pake atau pake punya gue?” Rizky memelorotkan celana dalam putih yang ia kenakan sampai ke pangkal paha.
“Gue nggak terbiasa nggak pake celana dalam.”
“Berarti elu pilih opsi kedua,” Rizky melorotkan celana dalamnya dan melemparkannya ke Wahyu.
“Di rumah ini Cuma ada satu celana dalam doang???”
“Itu baru gue pakai. Dan nanti kalo elu di rumah, kalo elu kangen sama gue, elu bisa cium aroma kejantanan gue dari celana dalam itu…”
“Najis…”
“Wangi kok. Elu pasti suka. Bahkan elu bisa-bisa horny pas cium aromanya. Apalagi kalo sambil bayangin bentuk isinya…” Rizky menggoyang-goyang junior dengan tangannya.
Apa boleh buat. Dari pada junior gue sakit kegesek sama jeans, mendingan gue pakai celana dalam ini, gumam Wahyu dalam hati.
“Oh iya, itu handphone dan dompet elu!” Rizky menunjuk ke arah meja belajarnya.
Wahyu bergegas mengambil kedua barang miliknya itu.
“Elu mau langsung pulang?”
“Bukan urusan elu!”
“Oke.”
Wahyu melangkah cepat keluar kamar tanpa sepatah katapun.
“Elu keren banget pake pakaian gue. Lebih keren lagi kalo pake sepatu. Lu bisa pake sepatu itu,” Rizky menunjuk sepatu yang berada di rak sepatu dekat pintu.
Wahyu menoleh kearah rak sepatu yang ditunjuk Rizky. Ada banyak sepatu keren di sana. Salah satu sepatu berwarna merah nampak cukup familiar. Lupakan, desis Wahyu seraya bergegas keluar kamar.
Rizky tersenyum. Ia melempar sisa gigitan Apelnya ke dalam keranjang sampah sebelum mengambil handphone dan menghubungi seseorang. “Awasi dia!”
***
Tujuan Wahyu sangat jelas.
Ke rumah Regi.
Wahyu mengetuk pintu rumah itu dengan gusar. Kebetulan sekali, yang membukanya Regi sendiri.
“Hei! Tumben elu datang malem-malem? Ada apa?”
“Elu lagi apa?”
“Nggak ada. Santai aja. Eh, pakaian elu—”
“Kenapa?” Wahyu menyipitkan matanya. Regi menatap pakaiannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Nggak apa-apa. Keren.”
‘Thanks. Mau temani gue jalan-jalan nggak?”
“Kemana?”
‘Taman yuk? Gue bosen di rumah…”
“Okeee… tunggu ya.”
Regi mengangguk.
Sepeninggalan Regi, hati kecil Wahyu kembali bertanya akan kebenaran omongan Rezky. Apa mungkin Regi benar seperti itu?
“Ayo!” ajak Regi.
“Pake motor elu ya?”
‘Oke. Eh, tapi tadi elu kesini naik apa?”
“Uhm, Ojek.”
“Ohhh…”
Mereka berdua pun pergi menuju taman dengan mengendarai motor Regi.
Sesampainya di taman, mereka berdua duduk di salah satu sudut taman yang lumayan sepi.
“Malam ini cuacanya bagus ya…” kata Regi.
“Iya. Tapi sesuatu yang nampak bagus, belum tentu bagus adanya.”
“Hmm.”
“Apa sih arti persahabatan buat elu?” tanya Wahyu.
“Sahabat? Kayak kita ini. Saling berbagi, saling mendukung…”
“Berbagi apa aja? Apakah yang buruk-buruk juga mesti dibagi?”
“Berbagi di sini maksud gue, antar sahabat itu nggak boleh saling mencurangi, nggak boleh ada yang ditutupi, susah senang, baik buruk satu sama lain harus tahu…”
“Apakah ada rahasia yang elu simpan dari gue?”
Regi menatap Wahyu.
“Adalah. Hal yang menurut gue nggak perlu dikasih tahu, cukup gue sendiri yang tahu, maka nggak akan gue kasih tahu. Elu juga gitu kan?”
Wahyu mengangguk-angguk.
“Apa elu pernah melakukan hal yang merugikan sahabat elu?”
Regi tak langsung menjawab.
“Pernah nggak?”
“Ih, elu kok kayak lagi mengintrogasi gue sih? Kayak gue tahanan aja…”
“Tiba-tiba aja pengen membahas arti persahabatan. Jadi gimana?”
“Semoga aja nggak.”
“Uhmm.”
“Elu sendiri?”
“Gue? Gue rasa nggak. Bahkan gue rela mengorban diri gue demi kebaikan sahabat gue.”
“Wow! Pengorbanan macam apa?”
“Dari kejahatan yang bisa mengancam masa depannya.”
“Kayak super hero aja elu… hehehe…”
“Sayangnya, kalo informasi yang gue dengar itu benar, pengorbanan gue itu sia-sia.”
“Lha, kenapa?”
“Justru teman gue itu yang menjerumuskan gue.”
“Gue nggak ngerti. Kok bisa gitu?”
Wahyu meneliti raut muka Regi, mencari setitik kebenaran di sana.
“Apa alasan elu ngajakin gue ke ultah teman elu waktu itu?”
“Kan udah gue bilang alasannya karena gue nggak punya teman.”
“Nggak punya teman? Dari sekian banyak orang di sana masa sih—“
“Kenapa sih elu nanya hal itu?”
“Gimana dengan insiden elu nggak nyariin gue saat gue dibawa sama Ken?”
“Bukannya udah jelas kalo elu ganti baju—“
“Berapa lama buat gue ganti baju? Sejam? Dua jam? Atau sampai pesta berakhir?”
“Ada apa sih?”
“Bahkan elu gak nanya gue lagi dimana? Padahal elu yang ngajakin gue ke sana. Elu pulang tanpa nunggu gue?”
“Kenapa sih elu ngungkit masalah pesta itu? Waktu itu elu diam aja…”
“Karena gue baru tahu apa yang sesungguhnya terjadi!”
“Apa?”
“Elu sengaja kan??? Elu udah ngerencanain semuanya!”
“Apa sih maksud elu?”
“Nggak usah pura-pura bego lagi. Rizky udah ngasih tahu semuanya. Tega elu ya ngehancurin teman sendiri!”
“Elu bisa ngomong baik-baikkan, Yu?”
“Shit!” kesabaran Wahyu habis dengan sikap Regi yang pura-pura nggak tahu apa-apa. Ia langsung menyarangkan tinju ke rahang kanan cowok itu.
Regi mengerang sambil memegangi rahangnya. “Lu apa-apan sih?!” Regi ikutan tersulut amarah.
“Jangan berlagak pilon! Elu udah ngehancurin hidup gue!” Wahyu menarik kerah baju Regi dengan kasar. “Gue nggak sehina elu yang mau jadi budak seks. Jangan elu pikir karena kita temanan, maka jalan pikiran kita sama, hah?!” Wahyu menampar wajah Regi dengan punggung tangannya.
Regi tak berucap apa-apa.
“Ngertikan elu? Masih mau pura-pura nggak tahu? Ini yang elu anggap sahabat, hah?!” Wahyu mendorong tubuh Regi hingga tersungkur ke tanah.
“Gue nggak nyangka elu setega ini sama gue. Padahal gue korbanin diri gue buat si Iblis itu supaya dia nggak nyentuh elu!”
“Elu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Yu…”
“APA?!”
“Rizky ngancam gue…”
“Ancaman apa yang bikin elu takut sama dia?!”
“Sama kayak dia udah nyancem elu!”
“Dia ngancem gue dengan mau gantiin gue dengan elu! Makanya gue rela turutin maunya dia. Tapi elu? Ancaman apa yang dia kasih ke elu sampai elu tega ngorbanin gue???!”
“Rizky itu pacar gue. Gue sayang banget sama dia. Dia mau ninggalin gue kalo nggak nyerahin elu…”
“Anjing elu ya!” Wahyu menyarangkan sepakan ke dada Regi. “Jadi Cuma karena ancaman itu? Elu tahu Rizky itu siapa? Tapi elu mau-maunya jadi pacar dia? Gila elu!”
Regi meringkuk menahan sakit akibat terjangan Wahyu.
“Kalian benar-benar sakit jiwa! Orang kayak kalian nggak seharusnya berkeliaran bebas. Pantasnya kalian di penjara!!!”
“Kita sama-sama korban, Yu.”
“Gue nggak perduli lagi sekarang. Gue nggak percaya sama yang elu katakan. Nyatanya elu ikut sekongkol buat menjerat gue. Bahkan elu sendiri udah lama tahu kalo Rizky itu iblis tapi elu diam aja!”
“Jangan gegabah, Yu. Kalo elu melapor, elu bakal rugi!” Regi berusaha bangun.
“Gue nggak peduli! Gue udah hancur. Cukup gue aja korban terakhir kalian!”
“Jangan muna. Yu. Lu juga suka sama Rizky kan?”
“Jangan sembarangan nuduh elu!”
“Itu pakaian yang elu kenakan? Itu pakaian Rizky kan? Kenapa elu pakai punya dia? Elu dari rumah diakan? Kalian habis ngapain? Elu ngentot sama diakan? Iya kan?”
BUG! Wahyu menendang punggung Regi cukup keras sehingga cowok itu meringkuk menahan sakit.
“Gue lakuin itu demi elu! Kalo bukan terpaksa gue nggak mau! Elu tahukan siapa gue. Gue belum pernah sama sekali berhubungan badan. Elu bisa bayangin gimana menderitanya gue diperlakukan nggak manusiawi sama Iblis itu? Dia memperkosa gue tanpa ampun tanpa peduli perasaan dan kesakitan gue. Gue juga terpaksa pake pakaian dia buat pulang karena dia berlagak baik dengan nyuciin baju gue…” dada Wahyu bergemuruh.
“Maafin gue, Yu. Gue nyesal. Gue udah mencoba menghentikan Rizky…”
“Taek elu! Gue nggak percaya omongan elu biar polisi yang menghukum kalian!!!” Wahyu menendang punggung Regi lalu pergi begitu aja meninggalkan Regi yang mengerang kesakitan.
***

5 komentar di “I am A Slave for U: I’ll Volunteer Part Three

  1. Tsu no YanYan 11/19/2014 pukul 6:17 pm Reply

    Nangis gue nangis!!! TT-TT

    Wah beneran dilaporin polisi gak ya…. Duh jangan donk! Kan sayang~~ 😛

    Kyaaaaaaaa lagih lagih lagih ><

  2. A 02/08/2015 pukul 1:19 pm Reply

    ini kapan dilanjut ka? penasran banget sama kelanjutan ceritanya

  3. chris 03/20/2015 pukul 3:10 pm Reply

    ini kapan sih lanjutannya penasaran bgt nih….

  4. Reader 08/11/2015 pukul 5:27 pm Reply

    ???Kapan lanjut???

  5. Unknow 08/08/2017 pukul 11:04 am Reply

    Tolong ini penerbitnya. Harap di lanjutkan. Gua suka parah Ceritanya. Mau nanya juga dong. Ini cerita Asli atau cuma Fiksi? Kalo cerita Asli, boleh kali Rezkynya di kenalin ke gua HahHhah

Tinggalkan komentar