Arsip Bulanan: Agustus 2013

Bianglala Satu Warna Chapter XVj-lanjutan

Sudah tiga malam berturut-turut Mario gagal “mengajak” Johan. Dan malam ini Johan tak mendengar lagi omongan yang nyerempet ke sana dari Mario. Habis solat isya, mereka berdua masuk kamar. Johan langsung ke meja belajar, nyalain laptop dan ngetik. Sementara Mario tiduran di ranjang sambil online.

Johan selesai ngetik sekitar pukul setengah sembilan lewat. Setelah itu ia browser sebentar sebelum ke kamar mandi untuk bersih-bersih badan. Kemudian baru naik ke tempat tidur dan nyalain TV.

“Online aja dari tadi,” Johan merampas handphone di tangan Mario.

“Arrghhh…!” geram Mario sambil merebut handphone-nya kembali.

“Mendingan cari info tempat kuliah.”

“Ini juga lagi cari info. Emang mesti laporan dulu sama situ?” gerutu Mario.

“Mana??? Itu FB yang kamu buka.”

“Sambilan. Bawel!”

Johan mencibir lalu fokus ke layar TV.

“Ganti, Yah. Bosen nonton politikus debat mulu,” kata Mario saat telinganya menangkap suara Ruhut Sitompul yang lagi jadi narasumber talkshow di salah satu TV swasta.

“Acara apa? Sinteron ya? Nggak minat nonton sinetron. Kebanyakan sekarang sinetron laga, kolosal dan bertema kerajaan. Tapi jalan ceritanya melenceng jauh dari sejarah atau cerita sebenarnya.”

“Jangan sinet. Lawak kek.”

“Bosen. Lawakan garing, orangnya itu-itu aja. Temanya nggak ada yang segar.”

“Sok banget. Emang situ bisa ngelawak?”

“Mendingan diam daripada ngelawak tapi nggak lucu.”

“Cuih! Ayah aja yang sense of humor-nya yang rendah.”

“Bukannya rendah. Tapi justru Ayah cuma bisa terhibur sama humor yang berkualitas.”

“Yaiks! Yang kayak mana? Yang kayak para politikus itu? Mereka kan pada jago ngebanyol…”

“Bisa jadi. Coba deh sekali-kali kamu tonton talkshow interaktif, asyik loh mengamati setiap narasumber yang didatangkan. Bermacam-macam sifat mereka. Ada yang emosional, kalem, ketahuan kalo otaknya kosong, macem-macem pokoknya. So fun to watch them.”

“Fun apanya? Bikin capek iya!”

“Masih capek melototin ponsel berjam-jam kayak kamu tuh. Bikin mata cepat rusak!”

“Napa jadi mojokin Oh?”

“Udah ah. Debat sama kamu jatuhnya selalu debat kusir…”

“Kenapa dibilang debat kusir, Yah?”

“Ada tuh di google.”

“Ayah nggak tahu ya?”

“Tahu kok.”

“Apa?”

“Baca aja di internet.”

“Bilang aja kalo nggak tahu. Kenapa mesti nggak mo ngaku sih…”

“Hufhhh. Kamu nih nggak bisa diem ya? Tadi Ayah pikir malam ini bakal aman dari ocehan kamu. Tetap aja rupanya…”

“Oh nanya. Ayah tahu apa nggak. Tinggal jawab aja.”

“Kan udah dijawab tadi. TAUK.”

“Ceritanya gimana kalo tahuuuu??? Tahu, tahu aja…”

“Tentang debat dua orag kusir soal kuda yang buang gas.”

“Terus?” tanya Mario setelah lama ditunggu, penjelasan Johan cuma sampai di situ.

“Kamu kan lagi online? Buka dong google!”

“Ugh! Pelit banget sih! Info tuh dibagi-bagi!!!”

Johan tak menggubris omongan Mario.

Karena omongannya yang terakhir nggak ditanggapi lagi oleh Johan, Mario akhirnya buka google juga untuk mencari tahu sendiri kenapa debat yang tak ada ujungnya itu disebut debat kusir.

Dari sebuah artikel di internet, Mario dapat jawaban lengkap asal usul istilah debat kusir itu. Konon cerita bermula saat dua orang kusir mendengar suara mirip letusan dari belakang. Kusir pertama bilang bahwa itu adalah bunyi kuda yang habis buang gas. Kusir kedua berpendapat bahwa si kuda buang gas karena masuk angin. Tapi pendapatnya di bantah oleh si kusir pertama. Menurutnya si kuda bukan masuk angin, tapi keluar angin. Si kusir kedua bersikukuh kalau si kuda masuk angin, bukan keluar angin. Dan dari sanalah perdebatan tanpa ujung mereka dimulai antara si kuda masuk angin atau keluar angin. Makanya jenis debat tanpa ujung dan cenderung ngawur dibilang debat kusir, hehehe.

Setelah membaca artikel tersebut, Mario ngakak. “Gokil…!”

“Udah baca?”

“Udah. Menurut Ayah masuk angin atau keluar angin yang benar?”

“Menurut Ayah sih keluar angin. Namanya buang gas. Berarti ada sesuatu yang dibuang atau dikeluarkan kan?”

“Tapi orang bilang masuk angin.”

“Itulah lucunya bahasa. Ada banyak kata atau istilah yang sebenarnya salah, tapi udah lumrah di masyarakat.”

“Contohnya?”

“PP alias Pulang-Pergi. Seharusnya Pergi-Pulang dong?”

“Hehehe…”

“Terus ada BEBAS PARKIR. Kalo bebas parkir berarti bisa parkir di mana aja di area itu. Tapi maksud dari tulisan itu apa? Kebanyakan artinya kalo parkir di sana nggak dipungut bayaran. Kalo maksudnya begitu, seharusnya tulisannya PARKIR GRATIS. Tapi ada berapa banyak tempat umum yang menggunakan istilah ini?”

“Sama dong dengan istilah memasak nasi. Nasi itu kan hasil dari beras yang ditanak. Seharusnya namanya memasak beras, bukan memasak nasi. Benar kan, Yah?”

“Yup. Kalau kita cari tahu, masih banyak istilah yang salah kaprah tapi sudah lumrah dalam masyarakat.”

Mario mengangguk-angguk. “Senang deh punya pacar yang pinter kayak Ayah…” puji Mario.

Johan tersenyum tipis.

“Kawin yuk?”

Johan memicingkan sebelah matanya ke arah Mario.

“Kawin—merid maksudnya.”

Johan terkekeh. “Kenapa tiba-tiba ngomongin kawin…”

“Biar Ayah jadi milik Oh seutuhnya.”

“Berandal kok mikirin kawin.”

“Berandalan juga manusia, punya rasa punya hati. Eh, tapi Oh nggak berandalan, kok!”

“Biasanya kalo berandalan emang gitu. Nggak nyadar kalo dirinya berandal dan suka bikin masalah. Kalo mereka sadar, pasti jadi insyaf.”

“Oh nakal-nakal dikit itu dulu Yah. Sekarang udah nggak…”

“Hmm, ya…ya…”

“Sekarang sih pengen jadi pacar yang bisa menyenangkan pasangannya lahir batin…”

“Bagus tuh. Dimulai dari sekarang. Silahkan duduk atau tiduran, jangan ajak ngobrol pasangannya yang lagi nonton TV.”

“Iya deh. Oh mo tidur aja.”

Johan mengangguk sambil mengangkat jempolnya.

“Kelonin!” Mario merapat ke Johan.

Johan langsung menaruh kepala Mario di pangkal lengannya serta mengusap-usap bahu Mario dengan lembut.

***

Johan terbangun karena hawa dingin yang menusuk tulang. Dingin sekali.

Pikirannya langsung tertuju ke Mario. Pasti Mario yang sudah menarik bagian selimutnya dan menggunakannya sendiri.

Tapi pikirannya itu langsung tersita pada gerakan di sekitar pahanya. Seperti ada sesuatu yang menggerangi kulit pahanya yang dingin. Ia bermaksud menghalau apapun itu dengan tangannya. Tapi saat ia ingin mengangkat tangannya, terasa bahan kain menghalangi gerakannya. Dengan kata lain tangannya terikat. Sepasang lengannya disatukan, diulurkan di atas kepala dan diikat di kepala ranjang.

Apaan nih? Darahnya berdesir.

Kantuk yang tadi membebani kelopak matanya hilang seketika. Matanya bergerak dengan waspada. Ia baru menyadari kalau saat ini ia tanpa baju. Dan saat matanya bergerak ke bawah, ia juga tanpa celana. Ia bisa melihat dengan jelas bentangan kakinya di ranjang. Tidak sejajar dengan tubuh alias dibuka lebar-lebar. Tidak heran jika ia merasakan dingin lebih dari biasanya. Tepat di tengah-tengah kangkangan kakinya, ada Mario yang duduk bersimpuh dengan badan condong ke arah area pribadinya.

“MARIO!” teriak Johan antara kesal bercampur kaget.

“Ayah udah bangun?” tanya Mario santai sambil melingkarkan jemarinya di sekitar pangkal tentara kecil Johan.

“Kamu ngapain???” Johan menarik kakinya, tapi keburu di tahan Mario.

“Nggak ngapa-ngapain.”

“Berhenti!” seru Johan sambil menghentak kedua lengannya, berharap ikatannya terlepas.

Mario tak perduli. Ia justru membungkuk lebih rendah. Mencium badan tentara kecil Johan. Sementara satu tangannya menangkup dan menggoyang-goyangkan bola kembar Johan yang mengekerut karena kedinginan.

“Mariooo…” darah Johan berdesir. “Lepas! Jangan main-main!”

“Oh nggak main-main. Oh serius!” Mario menjulurkan lidahnya ke sepanjang tentara kecil Johan dengan perlahan.

Johan menggerakkan pinggulnya, sehingga juniornya menjauh dari lidah Mario.

Mario menangkap milik Johan yang terayun ke kanan dengan mulutnya. Ia menghisap kepala tentara kecil itu sedikit kuat.

Otot-otot Johan seketika mengejang. Juniornya yang tadi kedinginan terasa hangat saat berada di dalam mulut Mario.

Mario membawa milik Johan lebih dalam ke rongga mulutnya. Ia menekan kedua paha Johan dengan kuat saat pacarnya itu mencoba bergerak.

Kali ini gue yang pegang kendali, batinnya sambil menghisap milik Johan perlahan-lahan.

“Mario lepas! Kamu bakal tahu apa yang bakal terjadi kalo kamu nggak dengar omongan aku!” ancam Johan.

Mario tak mengindahkan ancamannya.

Johan menyentak lengannya sehingga ranjang mereka ikut bergerak. Tapi ikatan lengannya hanya mengendur sedikit.

“Oh minta baik-baik…” kata Mario setelah mencabut milik Johan dari mulutnya. “Tapi Ayah nolak mulu. Jadi jangan salahin gue dong…” ia beralih menjilat bola kembar Johan.

“Kita putus atau berhenti?!” ancam Johan.

Mario tak menjawab. Ia terus membasahi bola kembar Johan dengan lidahnya. Sementara tangan kanannya menggenggam tentara kecil Johan. Sesekali ia menggerakkan tangannya naik turun di sepanjang badan tentara kecil yang sudah mengeras itu.

“Oke, putus!” kata Johan.

Mario masih tak menjawab. Ia mencium lipatan paha dalam Johan. Tapi hatinya berkecamuk juga.

“Oh kan cuma minta–”

“Putus!” potong Johan.

Mario menelan ludah. Ia jadi nggak bersemangat melanjutkan permainan. Percuma aja nikmat sesaat kalo ujungnya jadi berantakan. Nggak menutup kemungkinan Johan bakal menghajar dia juga. Dia sudah melakukan tindakan pelecehan seksual.

Johan diam dan menunggu reaksi Mario. Ia benar-benar marah sama tindakan Mario ini. Ini sudah dibatas kewajaran. Sama saja anak itu ingin memperkosa dirinya.

Mario tetap menggerayangi sekitar area pribadi Johan dengan tangannya. Tapi gerakannya tidak seagresif tadi. Ia masih bimbang sama keputusan yang ingin diambilnya.

Kalo Ayah sayang sama gue, nggak mungkin dia mutusin gue gitu aja. Apalagi cuma karena ML. Lagipula yang jadi bot kan gue. Kenapa dia yang marah? Kalo dia benar-benar minta putus, berarti dia nggak sayang sama gue. Bukan perkara mudah menghilangkan rasa cinta dan sayang dari hati. Mulut boleh berkata apa aja. Tapi kalo hati nggak bisa dibohongi, hati kecilnya bicara.

Akh, lanjut aja deh! Yang pertama itu dia nggak marah. Apa bedanya sama yang sekarang? Pikirnya dalam hati.

Johan terus menantikan keputusan Mario. Anak itu sepertinya mendengarkan ancamannya barusan. Nampak dari air muka dan cara anak itu memainkan telunjuk di perutnya.

“Udah buruan lepasin!” tegur Johan.

“Ogah!” jawab Mario cepat yang mengejutkan Johan.

Mario menggila lagi. Ia kembali membawa milik Johan ke mulutnya. Menggerakkan mulutnya dengan cepat tanpa aba-aba.

Johan menekan giginya kuat-kuat. Ia kembali meronta. Rontaannya dibalas Mario dengan cara menghisap kepala tentara kecilnya dengan kuat. Membuat seluruh tubuhnya seakan ikut terhisap.

“Mario!”

Mario memainkan lidah di atas kepala tentara kecil Johan. Tak lupa juga ia menggelitiki titik U* yang terdapat di sana dengan lidahnya.

“MAR…IOOHH!” Johan mengejangkan ototnya sekuat tenaga.

Sumpah! Bakal kuhajar sampai babak belur dia nanti! Geram Johan dalam hati.

Mario terus mengabaikan Johan. Ia tetap fokus memanjakan milik Johan yang semakin keras dan menjulang.

Johan mencoba tenang sambil menatap langit-langit kamar. Mario sepertinya tidak akan mengindahkan apapun perkataannya. Ia cuma bisa menunggu sampai anak itu puas lalu melepaskan dirinya. Setelah itu ia baru bisa membalas semua perbuatan Mario.

Lihat aja, nggak bakal aku kasih ampun! Tekad Johan.

Melihat Johan berhenti mengoceh dan berontak, Mario berhenti sejenak demi melihat keadaan ‘tawanan cinta’-nya itu. Johan menatapnya dengan tajam dan buas saat tatapan mereka bertemu.

Nyali Mario ciut juga melihatnya. Tapi ia berusaha masa bodoh. Ia kembali menenggelamkan milik Johan ke dalam mulutnya. Setelah itu bergerak naik menjamah bagian tubuh Johan yang lain dengan kecupan dan belaian. Ia sepertinya tak pernah puas mencicipi setiap lekuk tubuh pacarnya itu. Tapi ia tak berani mendaratkan ciuman di bibir Johan. Takut Johan akan menggigitnya atau membenturkan kepala mereka satu sama lain.

Setelah menyapu habis ketiak dan rusuk yang membuat Johan tak sanggup menahan geli dan kembali berteriak meminta Mario berhenti, kini Mario kembali ke bawah pusar. Sekali lagi memainkan Johan Junior.

Kali ini gerakan Mario hampir membawa Johan ke tepian orgasme. Ia kembali merasakan sesuatu ingin mendesak keluar dari badan tentara kecilnya. Respon tubuhnya pun sama persis seperti waktu itu. Tapi kali ini perasaannya lebih tersiksa, sebab ia tak bisa berbuat apa-apa karena kedua tangannya diikat. Padahal ia ingin sekali meremas sesuatu untuk melawan gelombang gairah yang menggulung dirinya. Tapi kali ini ia hanya bisa mengejang dan mengejang lagi sekuat tenaga agar tidak meledak.

Melihat Johan terus mengejang, Mario tahu bahwa sang ‘Ayah’ hampir mencapai puncaknya. Ini saat-saat di mana gairah mengalahkan logika dan akan sehat. Yang diingin seseorang jika tengah dilanda gelombang orgasme adalah pelampiasan. Dan Mario merasa ini adalah saat yang tepat untuk menyerahkan dirinya.

“Ayah mo datang ya?” tanya Mario.

Johan tak menjawab. Ia terus mengejang sambil memejamkan mata lebih erat.

Mario melepas milik Johan yang nampak berdenyut-denyut. Ia melompat ke dekat kepala Johan untuk membuka ikatan tangan cowok itu.

Setelah ikatan dilepas, Johan langsung membawa satu tangannya ke tentara kecilnya. Gairah mendorongnya untuk menggenggam miliknya. Padahal ia tahu saat ini saatnya untuk melepaskan diri dari Mario, tapi akal sehatnya sudah dikuasai nafsu syahwatnya.

Mario tersenyum melihat Johan dalam pengaruh orgasme.

Johan melenguh pelan. Ia menggenggam miliknya supaya sesuatu dalam tentara kecilnya itu berheti bergerak. Tapi ternyata genggaman dari telapak tangannya yang hangat justru membuatnya makin kewalahan. Orgasme mengisi semua relung-relung kosong di dalam tubuhnya. Orgasme juga membuat pikirannya memudar dan anggota badannya lumpuh. Sesuatu di dalam tentara kecilnya tak terkendali ingin melepaskan diri. Desakan itu membuahkan lenguhan panjang dari mulutnya.

Ini saatnya, desisnya Mario dalam hati.

“Ayah pengen keluar?” ia berbaring di atas tubuh Johan. Tangannya membelai nipple Johan.

“Eeghh…” Johan menggumam tak jelas dengan mata masih terpejam. Orgasme membuatnya kesulitan bicara.

“Masukin ke Oh ya…” bisik Mario sambil menyingkirkan tangan Johan yang sedari tadi terus membelai tentara kecilnya.

Johan membuka matanya sambil terengah.

“Lebih enak kalo dikeluarin di dalam. Lebih sempit dan lebih hangat dibanding mulut…” bujuk Mario.

Johan memalingkan wajahnya. Berusaha mengabaikan omongan Mario.

“Nggak! Eennghhh…hhh…” Johan masih mencoba menolak meskipun dirinya hampir keluar.

Mario bangkit dari baringnya dan menarik paksa lengan Johan sampai tubuh pacarnya bangun. Setelah Johan dalam posisi duduk, Mario terus menarik lengan Johan sehingga kali ini Johan menimpa tubuhnya.

Dalam posisi seperti itu, Mario langsung membuka pahanya lebar-lebar dan mengaitkan kedua kakinya di paha Johan sehingga otomatis pantatnya terangkat sedikit.

“Mario!” protes Johan. Ia bermaksud bangkit. Tapi tubuhnya langsung dipeluk Mario erat.

“Ayo, gesekin kontol Ayah ke Oh.” Mario menekan pantat Johan ke dirinya. Membuat milik Johan menekan liangnya sehingga ia mendesah.

Setelah menekan pantat Johan ke arahnya, Mario juga menggoyang-goyangkan pantatnya naik turun, sehingga milik Johan bergesekan dengan dirinya. Dan ia kembali mendesah. Sementara Johan merasakan miliknya semakin keras.

Mula-mulanya pelan, lalu Mario menggerakkan pantatnya lebih cepat, sehingga gesekan yang terjadi semakin intens. Liangnya berkedut, kembang kempis.Mario mendesah sambil menggigit bibirnya. Ia benar-benar tak sabar ingin dimasuki Johan. Karena itu, ia meraih milik Johan dan diarahkannya tepat ke liangnya.

Kepala tentara kecil Johan menyentuh liang Mario. Ia bisa merasakan sekitar Mario berkedut. Mario mendorong milik Johan itu menuju dirinya. Tapi dirinya langsung menutup saat menerima dorongan dari tentara kecil Johan.

Ternyata tak semudah yang dibayangkan Mario sebelumnya. Tidak selancar aksi bintang porno dalam film gay yang sering ditontonnya. Di film nampaknya sangat mudah, sekali terobos langsung “jleb”. Tapi pada kenyataannya, saat ia sendiri yang mempraktekkannya, dirinya langsung menutup dan udah takut duluan sebelum milik Johan menembus pertahanan dirinya.

Tapi Mario maklum. Sebab ini pertama kali. Dirinya masih menolak benda apapun yang memasukinya. Tapi berdasarkan orang-orang yang sudah sering melakukannya, lama-lama dirinya akan bisa beradaptasi dan nyaman saat dimasuki. Jadi Mario tetap mencoba. Rasa takutnya sama besar dengan rasa penasarannya.

Sementara itu, gairah Johan hampir mencapai puncaknya. Semakin lama semakin besar gelombang orgasme menggulung dirinya, membuatnya tak mampu berpikir jernih lagi selain ingin segera melampiaskan hasratnya sebelum dirinya benar-benar meledak. Jadi ia membiarkan apapun yang dilakukan Mario terhadap dirinya.

Melihat kepasrahan Johan, Mario semakin gigih mendorong milik Johan supaya bisa menembus miliknya. Tapi lagi-lagi dirinya menutup. Ia menghela nafas biar rileks, kemudian mencoba lagi. Kali ini mencoba lebih berani. Ia memaksa dirinya tetap membuka saat milik Johan didorong ke dalam.

“Ahh!” Johan mendesah saat ujung kepala tentara kecilnya mulai masuk ke Mario. Sayangnya Mario buru-buru mencabutnya kembali karena merasa sakit.

Mario menghela nafas. Jantungnya serasa mau copot.

Gila! Ternyata begini rasanya, gumam hati kecilnya.

Mario kembali mengulanginya dari awal lagi. Pelan-pelan mendorong milik Johan masuk. Tetap saja sakit dan dirinya menolak.

Hufhh! Ia menghela nafas. Ia mengusap keringat yang tiba-tiba bermunculan di keningnya. Ia pun berhenti sebentar.

Tapi tidak dengan Johan. Ia sudah tak sanggup membendung cairan itu keluar. Sekarang naluri hewannya mengambil alih. Jadi Ia menggesek-gesekkan juniornya ke liang Mario lagi secepat yang dia bisa agar cairan itu segera keluar.

Tidak lama, Johan sudah merasakan cairan itu mulai keluar. Jadi ia mempercepat gesekannya lagi supaya cairan itu keluar serentak.

Mariopun merasakan liangnya basah selain karena keringat, juga karena cairan dari Johan. Jadi ia langsung memegang milik Johan dan didorongnya ke liangnya. “Keluarin di dalam, Yah!” pintanya.

Johan yang gemetaran karena orgasme, tak perduli apa-apa lagi. Saat miliknya didorong masuk, ia ikutan mendorong miliknya, hanya saja ada sesuatu yang menghalangi.

“Dorong lagi, Yah!” kata Mario.

Johan terus mendorong.

“Pelan-pelan!” Mario meringis sebab Johan meneruskan dorongannya tadi tanpa mengambil awalan yang baru..

Johan tak menggubris ringisan Mario. Ia tetap mendorong. Karena semakin kuat ia mendorong, semakin nikmat yang ia rasakan.

“Aaw…awww!” Mario mendorong pinggang Johan menjauh. “Jangan dipaksain, Yah…”

Johan masih saja mendorong meskipun liang yang ia masuki sangat sulit ditembus sebab sangat ketat.

“Ayah! Jangan dipaksaahhh…!” Mario menggigit bibirnya menahan sakit.

“Eergghhh… Akh!” Johan mendesah karena semakin dalam ia menerobos masuk, jepitan liang Mario membuat miliknya serasa dipijat. Dan itu membuat cairannya mengalir makin cepat.

“Ayah! Jangan dipaksa!” Mario mencoba menahan laju dorongan Johan dengan cara menjepit milik Johan sekuat tenaga.

Johan merasakan cairannya keluar sedikit saat Mario mencengkeram miliknya kuat. Rasanya nikmat. Jadi ia mencoba mendorong lebih kuat lagi.

“ARRGHHH…!” jerit Mario sambil memukul bahu Johan. “Jangan didorong lagi!!!”

Mario mendorong pinggang Johan agar menjauh agar milik Johan tidak masuk semakin dalam. Tapi ternyata tindakannya itu, membuat orgasme Johan semakin memuncak. Sebab gesekan dinding liangnya dengan tentara kecil Johan mengirimkan gelombang kenikmatan buat pacarnya itu.

“Keluarin dulu, Yah. Sakittt…” pinta Mario sambil terus mendorong tubuh Johan.

Johan tak perduli. Ia menghalau lengan Mario dan menghentak lagi.

“Aaaarrgghhh…!!!” Mario mendorong kuat perut Johan dengan kedua tangannya.

Dorongan Mario barusan membuat milik Johan terdorong keluar sedikit. Tapi justru hal itu menimbulkan rasa sakit lagi sebab milik Johan menggesek dinding liangnya. Perih. Apalagi karena keburu nafsu, ia lupa menyiapkan lubrikasi. Sehingga perihnya sangat terasa. Apa yang ia rasakan tidak ubahnya saat dirinya susah BAB. Rasanya benar-benar tak nyaman.

Tapi bagi Johan, gesekan karena mendorong masuk dan menarik keluar miliknya barusan mengirimkan nikmat dan geli yang luar biasa. Dan insting hewaninya ingin merasakan itu lagi, sehingga ia mendorong miliknya masuk kembali.

“Yah, jangan dipaksa!!!” Mario spontan mengencangkan jepitan liangnya sambil mendorong perut Johan mundur.

“Akh!” Johan merasa jepitan liang Mario membuat miliknya serasa diremas. Ia mendorong lagi lebih kuat.

“Aw–” rintih Mario.

Jepitan itu makin nikmat. Johan mengejangkan otot-ototnya dan menusuk Mario lebih dalam.

Mario kembali menjerit dan berontak. Tapi kedua lengan Johan bertumpu pada pahanya sehingga ia kesulitan bergerak.

“Jangan dipaksaaaahhh…!”

“Akh! Akh! Akh!” Johan mendesah hebat. Setelah terus mengejang dan mendorong miliknya masuk, membuat setengah tentara kecilnya tenggelam di dalam liang Mario yang sempit dan hangat serta serasa dipijat oleh cengkeraman otot-otot sphincter Mario yang kuat, Akhirnya orgasmenya datang juga.

Johan spontan menekan dan menghentak miliknya di dalam Mario saat cairan pertamanya keluar.

Mario menjerit. Jerit kesakitan. Liangnya serasa mau robek.

“Aaawww–Erghhh…! Uugghhh… Aduhh–Aaawww…!” jerit Mario setiap menerima hentakan dari Johan.

Johan tak perduli. Ia menekan pantat Mario makin kuat disertai hentakan-hentakan bertenaga sehingga miliknya terus masuk lebih dalam. Hentakan itu disertai dengan keluarnya cairan hangat dari tentara kecilnya berkali-kali seakan tak terbendung. Ia pun melenguh seiring pelepasan itu. Sementara Mario menggigit bibir menahan kesakitan sambil menerima cairan Johan di dalam liangnya.

Pada pelepasan terakhirnya, dorongan serta hentakan Johan makin melemah seiring meredanya orgasme yang melingkupinya. Cairan tentara kecilnya sudah dikeluarkan. Namun miliknya itu masih berdenyut sambil sesekali masih melepaskan beberapa tetes cairan yang tersisa dari dalam kepala tentara kecilnya.

Johan menghela nafas pendek-pendek. Sisa-sisa orgasme masih mengelilinginya. Perlahan-lahan ia menarik keluar miliknya yang lemas dan basah di dalam Mario. Saat itu pula Mario merasakan cairan Johan mengisi ruang yang tadi di tempati milik pacarnya itu.

“Aakhhh…” desah Johan sambil menghempaskan tubuhnya begitu saja. Dadanya masih naik turun. Matanya menerawang ke atas. Ia merasa pandangannya berputar dan samar-samar.

Sedangkan Mario masih merintih. Liangnya terasa perih. Saat pantatnya tak sengaja menekan ranjang karena ingin meluruskan kaki saja, ia langsung mengangkat pantatnya kembali sebab terasa sakit. Pantatnya saat ini sepertinya tak bisa disentuh apapun. Jika tersentuh maka sakitnya makin terasa.

“Aduhhh…” Mario merintih sambil menoleh ke Johan, berharap dapat tanggapan.

Hanya saja usahanya sepertinya sia-sia. Sebab mata Johan sudah terpejam. Wajahnya nampak tenang. Dadanya turun naik dengan teratur. Kedua lengannya terkulai bebas di samping tubuhnya.

“Aduhhh—sialll…” gerutu Mario sebal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia yang merencanakan semua ini. Ia yang memaksa Johan memasukinya. Pikirannya luput akan kemungkinan semacam ini. Dan penetrasi barusan bukanlah pengalaman bercinta yang romantis dan menyenangkan…

Mario merintih lagi.

===

notes:

Titik U = Uretra/lubang kencing

….

Gue yakin makin banyak yang benci sama Johan. 😀

Bianglala Satu Warna Chapter XVj

Thanks yang udah baca. Terlebih-lebih yang udah baca plus komen lagi! 😀

gue baca semua komen kalian. Tapi kayaknya ribet kalo mesti balas satu-satu ya.

Mass Fadel, thanks dah komen di mari. Baru tau situ baca cerita gue juga, hehe. Kirain ndak suka baca.

Kalo yang laen pan udah tahu. Mereka suka komen di trit bsw yang di forum.

Gue tetap tunggu komen kalian guys!

=

***Johan***

Setelah hentakan terakhir, otot-ototku mengendur. Aku membentangkan kedua lenganku begitu saja di sisi tubuhku. Deru nafasku mulai menurun dan aku merasakan keringat lembab di sepanjang punggungku.

Lelah.

Kupejamkan mataku. Angin lembut sesekali membelai kulit telanjangku. Dingin tapi sangat menyenangkan.

Mataku terasa berat. Perlahan kesadaranku mengabur, tapi indera pendengaran dan perabaku masih berfungsi dengan jelas. Aku masih bisa merasakan belaian angin dan suara kumandang adzan. Oh, God, solat Jumat sudah dimulai, gumamku dalam hati. Aku harus mandi. Cukur janggut dan kumis juga. Tapi rasanya malas banget buat buka mata. Terlebih-lebih hembusan angin lembut meninabobokanku. Dan semuanya memudar…

***

***Mario***

Seak!!!

Cairan panas terus membanjir di dalam mulut gue. Gue berusaha sekuat tenaga menahannya tetap di mulut. Tapi karena Ayah terus menghentak dan melesakkan miliknya ke mulut gue, mau nggak mau cairan kental dari juniornya itu tertelan.

Rasanya…

Wueks! Gue nggak suka! Apalagi sebenarnya gue agak jijik sama cairan ini. Bentuknya yang putih kental, agak mirip ingus sih. Kok ada yang pada suka ya nelan muntahan lahar panas ini?

Gue pengen muntah karena banyak alasan. Selain membayangkan bentuknya yang udah gue bilang kayak ingus tadi, juga karena hentakan keras Ayah yang mengenai belakang pangkal tenggorokan gue. Coba aja elu sentuh bagian itu pake telunjuk, pasti ada sensasi ingin muntah kan? Nah, sekarang coba elu bayangin gimana kalo yang nonjok tenggorokan elu gedenya melebihi jempol kaki elu, eh?

Setelah Ayah berhenti menyentak dan menekan kepala gue agar tetap di tempat, perlahan tubuhnya melemas. Saat itulah gue mencabut miliknya dari mulut gue. Dan saat gue membuka mulut, cairan itu ikut keluar menimpa milik Ayah.

Sebenarnya nggak gue sengaja. Gue pengen menahannya tetap di mulut dan pengen gue muntahkan ke luar jendela. Tapi gue udah keburu muntah. Namun tetap juga gue melompat dari ranjang menuju kamar mandi.

Di kamar mandi, gue meludah sampai tenggorokan gue terasa kering. Setelah itu gue kumur-kumur untuk membersihkan mulut gue dan kembali ke kamar.

Pas gue balik ke kamar, gue temui Ayah masih terlentang dengan mata terpejam. Ia bernafas dengan pelan. Cairannya udah berubah bening di sekitar juniornya. Gue pelorotin celana dalam dan celananya yang masih ia kenakan sampai setengah pahanya. Celana itu gue gunakan buat mengelap bekas cairannya. Setelah itu gue ambil selimut. Sambil rebahan di atas tubuhnya, gue bentangkan selimut ke atas tubuh kami sampai ke dada. Gue pengen tidur sambil meluk dia dalam keadaan bugil kayak di film-film. Gue pun mulai memejamkan mata.

Oh, iya, ngomong-ngomong gue dengar khotib udah membacakan khotbah tuh di masjid. Gue sama Ayah absen hari ini, Ya Allah. Ini kesempatan nggak datang dua kali. Ampuni gue Tuhan, desis gue dalam hati lalu ikutan tidur bareng Ayah…

***

***Johan***

JUMATAN!

Aku tersentak bangun. Tapi sedetik kemudian aku tersadar kalau waktu solat Jumat sudah selesai.

Aku menghela nafas dengan susah payah. Ada yang membebani tubuhku.

Aku mendorong beban itu–Mario–hingga jatuh dari tubuhku. Ia hanya bergerak sebentar kemudian lelap kembali.

Aku duduk dan mengacak rambutku… Sekarang kejadian sebelum tidur tadi terurai di benakku saat melihat tubuh bugil Mario. Dan aku juga, bugil.

Aku menguap dan tak sengaja pandanganku tertuju ke jam dinding yang jarum pendeknya sudah melewati angka dua. Huffhh… Aku mengusap wajah dan merasakan rambut kasar di daguku. Belum cukur jenggot, desisku dalam hati.

Aku kembali menoleh ke Mario, menatap tubuhnya sampai ke wajahnya. Lalu pandanganku bergerak ke arah celanaku yang tergeletak di ujung ranjang. Kejadian sebelum tidur tadi kembali menyeruak di benakku.

Mandi Akh, desisku dalam hati. Aku bergerak menuruni ranjang dan mengambil celanaku sambil lalu. Kebetulan di lantai dekat ranjang handukku tergeletak. Segera kuambil, kukibaskan sebentar dan kulilitkan ke pinggang. Setelah itu langsung menuju kamar mandi.

Selesai mandi, badanku terasa sangat segar. Sementara Mario masih saja tidur. Kututupi tubuhnya dengan selimut lalu beranjak ke ruang makan. Tentu saja aku belum makan siang. Biasanya habis salat Jumat baru aku dan Mario santap siang. Tapi karena “yang-tadi-itu”, semuanya berantakan. Jumatan nggak, makan siang lewat, dapat dosa iya.

Kusendokkan nasi dan lauk ke piring dan kutuangkan segelas air putih lalu semuanya kubawa ke ruang tengah. Aku lagi pengen makan sambil menonton TV. Akhirnya acara makan siang menjelang sore itu kuhabiskan dengan bolak-balik dari ruang makan ke ruang tengah lebih kurang tiga kali.

Selesai makan, acara nonton TV tetap berlanjut. Berganti-ganti dari satu channel ke channel lain. Cukup lama sampai akhirnya Mario datang dan dengan santainya duduk di sampingku masih dalam keadaan tanpa sehelai benangpun. Tapi kali ini reaksiku biasa saja, tak seperti sebelumnya. Aku sudah mulai terbiasa setelah hampir 4 jam melihatnya begitu.

“Kok Ayah nggak bangunin Oh sih?”

“Emang nggak bisa bangun sendiri?” balasku.

“Oh masih pengen tidur meluk Ayah. Enak ya tidur bugil berdua…”

Aku tak menggubris omongannya.

“Berasa lagi honeymoon…” ia terkekeh.

Aku melempar tatapan sinis. Ia membalasnya dengan kekehan lagi.

“Rencana Oh tadi, pas kita bangun, lanjut main lagi. Game-nya kan belum selesai…”

Aku tetap diam.

“Ayah belum masukin Oh…”

Aku mengganti channel TV, karena acara yang tadi kutonton sudah habis.

“Entar malam kita sambung…”

Aku langsung menoleh.

“Iya kan?” demikian sambutan Mario. “Entar malam… Waktunya panjang…”

“Oh! Iya! Entar malam gimana kalo kita ke rumah mama kamu? Buat ngerayain kelulusan kamu!” ide itu muncul begitu saja di kepalaku.

“Oke!” sambutnya cepat.

Aku tersenyum. Berarti nanti malam bisa berakhir dengan semestinya.

“Kamu mandi gih.”

Mario menggeliat dan merentangkan tangannya lebar-lebar. “Hayah huaahh haauuaammm…”

“Nguap dulu baru ngomong.”

“Ayah sudah makan?”

“Sudah.”

“Makan dulu ah, baru mandi,” ia bangkit dari duduknya.

“Eh, kasih tahu Mama kamu kalo kita nginap di sana malam ini!” pesanku.

“Kita nginap?” suaranya sedikit kaget.

“Heeh,” aku menikmati kekagetannya itu.

“Pulang aja.”

“Kalo sempat,” balasku. Tentu saja kita nggak akan pulang, desisku dalam hati.

Mario tak berkata-kata lagi. Ia berlalu menuju belakang.

***

Bianglala Satu Warna Chapter XVi-lanjutan

Thanks yang udah kasih pendapat. Kalian mewakili pembaca yang lain. Dari pendapat kalian gue jadi sedikit pede buat menggunakan sedikit kata-kata cabul yang akan bertebaran di postingan kali ini.

Gue sedikit surprise sama yang komen kali ini nick-nya beda dari yang biasanya ninggalin jejak di blog ini. Beberapa udah gue kenal nick-nya di forum. Beberapa lagi belum tahu dan masih menerka-nerka.

Gue senang dan semakin semangat buat nulis. Apalagi pas gue liat yg berkunjung selalu di atas 200/hari. Gue jadi berpikir siapa aja yang datang? Padahal ceritanya cuma itu-itu doang. Hehe.

Gue selalu tunggu komen kalian baik kritik dan saran. Kadang-kadang ada yang nggak sinkron sama cerita atau ada typo-typo tolong ditinggalkan lewat komentar.

Harapan gue semoga postingan kali ini nggak mengecewakan. Semoga.
===

***Johan***

“OKE!”

Ups! Satu kata barusan meluncur secara spontan.

Mario menghentikan langkahnya. Oh, God, ternyata dia mendengar ucapanku barusan. Huffhh…

Eh, Mario melangkah lagi. Syukurlah. Tapi berandal kecilku kayaknya ngamuk berat. Sesekali mungkin aku bisa menyenangkan dia.
“Ayah sanggupi,” kataku cepat sebelum Mario benar-benar pergi.

Langkahnya kembali berhenti dan diikuti pertanyaan, “Ayah serius?”

“Serius.” Aku mematikan TV.

Oke, ini keputusan besar yang ku ambil. Keputusan terburuk dan sangat tak masuk akal. Keputusan yang segera kusesali sedetik kemudian. Tapi aku nggak mungkin meralatnya kembali. Kuharap ada jalan keluarnya.

Mario berjalan mendekat dengan wajah kusut.
Making Love? Dengan anak ini? Oh, God, ML bukan sesuatu yang main-main kan? Kok bisa-bisanya nih anak minta yang se-ekstrem ini. Yup! Ini permintaan gila dari ABG  berusia 17 tahun. Aku saat seusia dia mikirin apa yah??? Yang jelas bukan seks.

“Ayah serius?” Mario bertanya lagi.

Nggak. Sama sekali nggak.

“Yaaahhh…” jawabanku berupa desahan.

“Kenapa?”

“Karena kamu maksa.”

“Biasanya Ayah marah kalo gue minta.”

“Kamu juga selalu marah kalo Ayah tolak,” balasku.

“Oke sekarang Ayah udah setuju. Oh gak perduli Ayah terpaksa atau nggak, Ayah gak boleh ralat ucapan Ayah!”

“Seandainya Ayah ralat?” pancingku.

“Gak bisa! Oh bakal paksa Ayah!!!”

“Widih?! Emang bisa???”

“Bisa dong…!” mata Mario berkilat licik. Aku seperti melihat tokoh antagonis di sinetron. Tapi ini nyata. Dan ternyata tokoh seperti itu memang ada in real life.

Oke, kayaknya nggak ada jalan mundur. Aku harus memikirkan Plan B. Bukan karena aku nggak bisa melawan seandainya ia memaksaku, cuma kali ini aku ingin cari jalan keluar yang nggak mengecewakan kedua belah pihak.

Sebelum Plan B terpikirkan, seperti biasa, Mario sudah bertengger di atas tubuhku. Memandangku dengan tatapan yang menyala-nyala. Nampak bersemangat sekali.

“Oh cium, ya?” ia minta izin.

Aku tak menjawab. Melainkan melingkarkan lenganku ke seputaran pinggang telanjangnya. Kini seluruh berat badannya bertumpu di tubuhku.

Mario menempelkan hidungnya ke hidungku. Setelah itu memajukan bibirnya untuk mengecup bibirku. Seperti biasa, tekstur bibirnya sangat lembut.

Ia menekan bibirnya cukup lama pada bibirku sebelum akhirnya bergerak meraih tangkup bibir atasku.

Oke, setelah bibir apa lagi? Tanyaku dalam hati. Aku harus tahu pergerakannya, berapa lama lagi sampai ia memintaku menyetubuhinya, sehingga aku bisa secepat mungkin mencari jalan keluar dari kungkungan brandal kecil ini.

Dari bibir ia bergerak ke daguku. Oh, iya, tiba-tiba aku ingat kalau aku belum mencukur kumis dan janggutku yang mulai tumbuh. Sebelum berangkat sholat Jumat nanti aku harus mencukurnya, aku mencatat dalam hati.

Mario bermain-main dengan janggutku. Menggesek-gesekkan pipinya di sana dan nampak kegelian.

“Ayah janggutnya nggak usah dicukur…”

“Kenapa?”

“Enak, gelii…” Mario kembali menempelkan pipinya ke ujung daguku.

Aku tersenyum kecil.

Setelah itu ia bergerak ke bawah, menciumi leherku. Berhenti sejenak untuk membuka bajuku. Setelah itu kembali mendaratkan bibirnya di sekitar leher, bahu dan dadaku.

Lho, kok dia nggak bergerak ke telinga? Seharusnya ke telinga dulu seperti dua hari yang lalu. Baru setelah itu ke dada. Kalo begini caranya, adegan pemanasan makin singkat. Tinggal dada, perut…selangkangan!!! Cuma dua step lagi. Gawat! Sampai sekarang otakku masih buntu!

Aku melirik jam dinding. Ya Allah, kok lama amat sih jam dua belasnya? Kalo udah jam segitu, aku kan bisa minta berhenti buat mandi. Kan mau Jumatan.

“Liatin apa, Yah?” tanya Mario disela-sela ciumannya di dadaku.

“Nggak ada, Sayang…” aku membelai rambutnya.

Ini anak gak boleh lihat jam. Kalo dia tahu sekarang udah mendekati pukul setengah dua belas, bisa-bisa gerakannya makin cepat. Bisa-bisa langsung minta dieksekusi.

Mario mulai menghisap nipple-ku, kayak bayi lagi netek sama ibunya. Sementara tangannya mulai bergerak. Meraba-raba pinggangku. Lalu bergerak naik ke rusuk, ketiak, turun lagi ke rusuk dan terakhir bergeser ke nipple-ku yang lain. Rasanya sedikit geli. Aku harus mengeraskan otot-ototku untuk melawan rasa gelinya.

Mario tiba-tiba melirikku lewat sudut matanya, tersenyum nakal tanpa melepaskan bibirnya dari nipple-ku. Aku suka ekspresinya itu. Ia sangat menggemaskan.

Puas membasahi nipple kananku, ia lantas beralih ke nipple kiriku. Ia memperlakukannya sama seperti pada nipple kananku tadi. Sementara lengan kanannya bergerak ke bawah, menyusuri perutku. Jantungku berdebar lebih cepat saat merasakan jemarinya makin bergerak ke bawah.

Sebentar lagi ia pasti akan menjamah area paling pribadiku. Memikirkan kemungkinan itu, ada sensasi tak menyenangkan menyapa perutku. Sensasi yang sama saat kita lagi nerveous atau ketakutan. Dan saat ini aku tak bisa memastikan yang aku rasakan sekarang nerveous atau takut.

Perutku semakin panas saat jemari Mario meluncur melewati pusarku. Ini sama sekali tidak berlebihan. Seumur hidupku, yang namanya area paling pribadi, ya benar-benar pribadi. Tak ada seorangpun yang pernah melihat apalagi menyentuhnya, terhitung setelah aku selesai berkhitan. Benar-benar ekslusive dan menimbulkan rasa malu jika orang melihatnya. Jangankan melihat, saat orang menyebut nama atau membicarakannya saja aku merasa tak nyaman. Berbeda dengan beberapa temanku, yang tak pernah sungkan menjadikan alat kelamin sebagai sebuah lelucon. Bahkan saat duduk di bangku kuliahpun masih banyakkan yang tiba-tiba meremas kemaluan sahabatnya sendiri saat bercanda. Dan mereka santai saja. Baik yang menyentuh ataupun yang disentuh. Itu bukan masalah, tapi akan menjadi sedikit masalah jika mereka melakukan itu ke aku. Entah, mungkin aku yang terlalu kaku. Hanya saja sesuai namanya, KEMALUAN, yang berarti sesuatu yang membuat malu. Jadi bukan hal yang nyaman untuk dijadikan pusat perhatian.
Kembali lagi ke gerakan jemari Mario…, berandal kecil-ku ini membawa jemarinya semakin ke bawah. Dan sekarang setengah jemarinya sudah melewati pinggang celanaku.

Aku menghela nafas lalu menggeliat tak nyaman.

Bagaimana cara menghentikannya???

Tiba-tiba Mario berhenti menghisap nipple-ku. Ia sepertinya hendak beringsut ke bawah, dan kurasa akan fokus pada selangkanganku.

Gak boleh!

Aku langsung menahan tubuhnya di tempat dengan cara memeluk punggungnya erat. Mario memalingkan wajahnya ke arahku dan tersenyum. Setelah itu ia mengecup kedua nipple-ku sedetik dan kembali bergeser ke bawah.

Akh, sepertinya fokus perhatiannya sudah di area bawah. Bahkan sekarang lengannya yang tadi sudah berada di bawah pinggang celanaku mulai bergerak lagi. Dan aku bisa merasakan ujung jarinya menyentuh rambut kemaluanku.

Aku langsung bangkit dan sedikit bergeser menjauh, sehingga Mario terjatuh ke sampingku. Aku menghela nafas dan berusaha bersikap sewajarnya. Mario tak mengindahkanku. Mungkin ia merasa semuanya baik-baik saja dan sekarang ia merunduk bersiap ingin membuka celanaku.

Aku langsung menggengam tangannya. Tahan dulu aksinya, urusan apa alasannya bisa kupikirkan belakangan.

“Kenapa, Yah?” tanya Mario lalu ia membungkuk dan mencium tepat di bawah pusarku.

Sial. Nggak pake tangan, pake mulut dianya.

“Eng…”

Mario menjulurkan lidahnya, menjilat celanaku, tepat di atas tentara kecilku.

Gila! Ada-ada saja kelakukannya.

Aku kembali mengumpat dalam hati. Menyesali keputusanku memenuhi permintaan gilanya tadi.

Tangan Mario kembali bergerak dan sekarang mulai menarik celanaku ke bawah. Tapi karena aku duduk, jadi ia sulit memelorotkannya.

“Yah, angkat pinggul Ayah…” pintanya.

Bukannya menuruti omongannya, aku justru mendudukkan pantatku lebih kuat ke sofa.

“Yah…” ia memukul pahaku.

“Eng, entar dulu…” ujarku spontan.

“Kenapa?”

“Ayahhh, kita, eng, inii…” God, please, beri petunjuk, pintaku dalam hati.

Mario tiba-tiba menggelitiki rusuk kananku, spontan aku bergerak menghindar ke kiri, membuat pinggulku terangkat. Mario buru-buru menarik celanaku ke bawah.

Melihat caranya tadi berhasil, ia menggelitik rusukku lagi, lebih kuat. Aku buru-buru menangkap tangannya dan mendorongnya menjauh.

Mario tersenyum, balik mendorongku sampai aku tersandar ke lengan kursi dan mengelitiki badanku dengan kesepuluh jarinya. Ggrrrr…! Doronganku tadi malah menerbitkan masalah baru. Ia bukannya menangkap bentuk penolakanku, justru menganggap itu tadi sebagai salah satu ‘permainan’ untuk membangkitkan gairah.

“Ooh, Oh… Berhentiii, berhentiii…”

Mario tak memperdulikan omonganku.

“Oh! Oh! Udaah…hhh, heiii…”

Ia menghentikan gelitikannya. Tersenyum kemudian mengecup dadaku.

Aku menghela nafas pendek-pendek.

“Ternyata Ayah gak tahan juga digelitikin…” desisnya.

“Iya, iyalah…”

Ia tersenyum tipis dan kembali meninggalkan ciuman di sekitar dadaku.

Keadaan lebih tenang sekarang. Jujur aku menyukai kecupannya barusan. Lembut dan tak terburu-buru. Aku akan menerima dengan senang hati ciumannya lebih banyak lagi di dadaku. Tapi hanya ciuman, tak lebih. Tidak sampai berlanjut ke adegan intim.

“Ayah suka?” tanya Mario.

Aku mengangguk.

“Gimana dengan yang ini?” Mario menyapukan lidahnya menyusuri garis dadaku.

No. Ini terlalu berlebihan. Cuma ciuman yang aku suka.

“You like it, Dad?”

Gimana nih? Jawab apa? Kalo dijawab suka pasti ia akan meneruskan aksinya itu. Kalo dijawab nggak suka, pasti ia akan melakukan aksi pengganti yang mungkin ‘lebih’ lagi untuk menyenangkanku.

“Ennggg…” God, aku capek sama permainan ini.

Mario menatapku menunggu jawaban sambil terus menyapukan lidahnya (dan sekarang) di sekitar nipple-ku.

Aku memejamkan mata. Apakah bercinta memang semenyebalkan ini? Hatiku bertanya-tanya.

Aku membuka mata dengan kesal dan masih mendapati Mario yang tetap asyik dengan nipple-ku yang sudah mati rasa oleh hisapan, gigitan dan pelintiran lidahnya.

“Udah!” tiba-tiba kekesalanku tak terkontrol dan terwujud juga lewat bentakan.

Mario langsung mengangkat wajahnya. Terkejut dan menatapku tanpa kata.

Aku langsung menyesal. Bentakan tadi itu benar-benar tak kusengaja.

“Enggg…” aku langsung membawanya dalam pelukanku.

Mario manut saja. Tapi ia tetap diam. Pun ketika aku mengusap-usap pundaknya lembut.

“Ayah… Engg…” aku kebingungan untuk mengembalikan suasana semula.

Mario sampai saat ini tetap diam. Menempel di tubuhku, hembusan nafasnya terasa sangat pelan.

Aku jadi kasihan. Aku lebih suka ia menunjukkan kemarahan seperti yang sudah-sudah dari pada ia diam begini. Dengan sikapnya yang seperti sekarang ini, aku jadi merasa bersalah.

Aku menyiumi pundaknya, ia tetap diam. Kucium pipinya, ia masih diam. Kucium keningnya, ia memalingkan wajahnya ke dadaku. Aku beralih mencium rambutnya, ia bergeming.

Hufhhh…

Kuusap punggungnya… Masih diam. Kuusap lagi… Tetap diam. Kugerakkan jemariku mengikuti tulang belakangnya, ia menggeliat kecil. Hmmm…

Kulakukan lagi gerakan serupa, sekarang lebih lembut dan sangat pelan. Mario merespon dengan sedikit melengkungkan tubuhnya.

Dia menyukainya?

Lagi, kubawa jari telunjuk dan tengahku menyusuri tulang punggung sampai ke tulang ekornya, sangat pelan, bahkan hampir melayang di atas kulitnya itu. Mario makin responsif.

Lagi dan lagi kulakukan gerakan serupa. Membawa jemariku mendaki punggung hingga ke tengkuknya. Kali ini Mario mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata setengah terpejam. Kusambut tatapannya dengan sebuah kecupan di keningnya.

Kurasa gairahnya sudah kembali. Buktinya tangannya sudah bergerak lagi di atas pahaku.
Tiba-tiba terlintas satu ide di benakku. Kurasa aku bisa mengulur laju permainan ini hingga pukul dua belas nanti.

Yeah! Aku bersorak dalam hati.

“Sini,” kataku.

“Apa?”

Tak kuindahkan pertanyaan Mario. Kurangkul tubuhnya, kuangkat dan kubaringkan di tempatku duduk tadi, lalu kutindih dia. Sementara itu, Mario terus menatap wajahku, memperhatikan setiap gerakanku sekecil apapun.

“It’s my time, my boy…” kataku di atas wajahnya.

“Oh ya…? Do it!” ia mendesis.

Aku tersenyum dengan percaya diri. Tapi sedetik kemudian kebingungan, aku harus melakukan apa???

Aku kembali menatap wajah Mario yang seperti sudah sangat siap menerima apapun seranganku.

“Enng, Oh pengen apa?” tanyaku dengan bodohnya.

“Pengen Ayah.”

“Eng, maksudnya, apa…” aku mendaratkan ciuman di pipinya.

“Fuck me, Daddy…” bisik Mario mantap di telingaku.

Ada hentakan di dasar perutku saat ia mengatakan itu.

“Kacuk* Oh, Yah…”

Aku tak menjawab.

“Ayo, Oh udah nggak sabar pengen dikacuk Ayah…. Oh pengen kontol Ayah…” ceracau Mario.

“…” aku mengecup dadanya.

“Sekarang!” Mario mengejangkan tubuhnya.

“…”

“Yaaahhh, ayooo…” Mario mendaratkan kedua lengannya di pantatku dan meremasnya kuat.

Aku menekan gigiku kuat-kuat. Aku tak menyukai tindakannya itu.

“Oohhh…ohhh…hhhh…hhhh…” Mario mendesah dan menggerakkan kepalanya kesana kemari bagai cacing kepanasan.

Sial. Ideku mengambil alih kendali justru membuat Mario semakin menggila!

“Aahhh, ayo Yaaahhh…” ia merengek.

“Iyaa, yaa…” lagi-lagi aku hanya mampu menciumi wajahnya.

“Buruaaannn, dari tadi Ayah diam aja. Fuck me, Mister…!” Mario membebani tengkukku dengan kalungan lengannya.

Kuhela nafas berat. Kepalaku rasanya mau meledak setiap kali ia mengatakan kata ‘fuck me’.

“Ayooo, sodok Oh, Yah. Sodok pake kontol Ayah…”

Demi Tuhan! Anak ini vulgar banget!

“Ayahhh…” desis Mario lagi. “Fuck…” ia mencoba melepas celananya.

“Nih, kontol Oh udah keras banget…”

Ya. Aku bisa merasakannya. Miliknya itu menekan selangkanganku.

“Kontol Ayah juga udah keraskan? Tinggal disodokin lagi ke Oh…”

Ya, tak kusangkal milikku juga bangun. Gesekan demi gesekan di sekitar area pribadiku setiap Mario bergerak rupanya membangunkan tentara kecilku itu.

“Sini Oh kulum Yah…”

“Apa?”

“Kontol Ayah lah. Biar makin keras,” Mario menyusupkan tangannya ke dalam bagian belakang celanaku, menyentuh tulang ekorku.

Aku mematung di atas tubuhnya. Waspada dengan gerakan tangannya.

Tak disangka, Mario menghentikan gerakannya. Hampir setengah menit, jemarinya masih diam juga di tempat semula. Aku langsung menatap wajahnya. Ia sedang menatapku dengan kening sedikit berkerut.
“Kok Ayah diam?”

“Kamu juga…”

“Oh diam karena Ayah diam. Ayah dari tadi diam aja…”

“Nggak… Ayah…”

“Ayah cuma nindih Oh doang sambil nyiumin pipi.”

“…”

“Kapan masukin kontolnya?”

Aku berjengit mendengar omongannya barusan.

“Atau Ayah pengen dikacuk sama Oh?”

Mataku langsung melebar karena ucapannya itu.

“Oh bisa kok!” ia berucap santai.

“Gimana? Ayah mo jadi bot atau top?” tanya Mario lagi melihat aku tak menanggapi ucapannya tadi.

“Bot?”

“Bottom. Sebutan buat yang difuck. Kalo top sebutan buat yang ngefuck.”

Bot…, Top…. Ternyata ada istilahnya juga.

“Kalo Oh sih yang mana aja. Tergantung Ayah. Yang penting ML!”

“…”

“Hayoo, gimana? Ngacuk nggak, tapi nindih. Berat tauk…” gerutunya.

“Belum diapa-apain aja udah complain…” aku mencoba meledeknya. Harapanku sih dia ngambek, terus mau berhenti.

“Iya, iyalah. Ayah tuh berat. Udah berat nggak gerak-gerak lagi… Kalo gerakkan beratnya nggak bakal kerasa…”

“Ya udah…” aku bangkit dari tubuhnya.

“Terus???” ia menautkan alisnya.

Aku balas menautkan alisku.

“Akh! Gimana sih???!”

Aku memejamkan mata dan menghela nafas pelan.

“Ayo!”

Aku membuka mata sedikit dan melihat ke Mario.

What the—tiba-tiba dia udah bugil, tidur ngangkang di atas sofa.

“Mario!” Aku kaget dengan apa yang kulihat.

“He?” gumamnya santai.

“Kamu apa-apaan?!”

“Apa?” ia balik nanya.

“KAMU!”

“Ya, kenapa??? Ayah sini, biar Oh lepas celananya…” ia mengedipkan matanya.

“Siapa nyuruh kamu naked?”

“Lha, kalo nggak naked, gimana nyodoknya???”

OH MY GOD, aku langsung memegang keningku.

“Kalo Ayah nggak mo lepas celana sih gak apa-apa. Cukup keluarin kontolnya…” ia mengguruiku.

“Kita…, huhhhfff…!” aku jadi panik sendiri. “Kita nggak, eng, jangan dulu… Bertahap,” aku kacau.

“???”

“Kita, kamu nggak usah–pakai celana kamu lagi. Ya. Pakai.”

“Dipakai? Terus?”

“Nggak sampai sejauh itu…” aku memiringkan kepalaku.

“Nggak sampai apanya?”

“I won’t do that. No! Nggak sampai bercampur.”

“Bercampur?”

“Senggama.”

“Ngentot maksudnya?”

“Kamu nggak tahu arti kata itu apa???!” aku kesal ia nggak pernah menyaring omongannya.

“Iya. Ngentotkan artinya?” ia mengucapkannya lagi tanpa rasa bersalah.

“Please! Berhenti ngomong kotor!”

“Oke, iya, iya. Itu aja dipermasalahin…” gerutunya.

“Pemilihan kata-kata itu menunjukkan dari kelas mana seseorang itu berasal…”

Mario memutar bola matanya. “Jadi kita bakal nyari kata yang dulu nih? Nggak bisa kita pikirkan sambil lalu aja gitu? Atau bisa nggak kita lupakan sebentar soal etika berbahasa…” nada suaranya terdengar kesal.

“Or we can forget about what we are doing now…” balasku.

“Selalu kayak gini…”

Aku melirik wajah Mario yang nampak sangat bete.

“Kali ini harus Yah! Ayah udah janji tadi…” ia kembali mengungkit keputusan bodohku itu.

“Ya, ya! Ayah ingat, ah!”

“Cuma diingat aja, gak dilakuin…”

“Yang tadi itu…”

“Yang mana? Ayah diam aja tadi.”

“Diam apanya…” bantahku.

“Yang namanya ML itu aktif. Lihat tuh adegan hot di film-film. Kissing, oral, macem-macem.”

Ini anak dimasukin ke jurusan seksologi aja nanti kali ya. Kalo soal seks jago banget omongannya. Cocok jadi konsultan seks.

“Dari tadi kita nggak ngapa-ngapain. Kissing kecil-kecilan doang…”

Persetan dah! Ngomel aja sana. Mendingan aku ke kamar, mandi dan berangkat ke Masjid.

“Yah! MO KEMANA?!” teriak Mario saat aku pergi meninggalkannya.

Aku tak menggubris pertanyaannya. Silahkan ngomel sana. Stop ngeladenin dia. Udah tahu aku nggak mau, masih aja maksa. Baru aja dua hari yang lalu aku menolak keinginannya dengan sedikit kasar, masih aja nggak jera. Ya sudahlah!

“AYAH!!!”

Aku menyambar handuk.

“Yah!” Mario berdiri di ambang pintu.

Aku tak memperdulikannya. Melilitkan handuk ke pinggang dan bersiap menanggalkan celana.

“Ayah!” Mario menarik lenganku.

Huffhhh… “Mariooo…”

Mario menarikku ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Aku menahan tubuhku agar tidak jatuh menimpanya dengan cara menumpukan lututku di sisi springbed.

“Ayaaahhh…” Mario menarik-narik lenganku ke arahnya.

“Ayah mo mandi.”

“Ntar mandinya. Make love dulu!”

“Udahlah.”

“Nggak! Make love dulu. Habis itu baru mandi.”

“Bentar lagi solat jumat,” aku mengangkat telunjuk yang ditujukan untuk lantunan ayat suci yang sejak dari tadi berkumandang dari masjid.

Mario melirik ke dinding, maksudku jam dinding.

“Sepuluh menit lagi.”

“Sebentar lagi.”

“Makanya buruan, Yah.”

“Tapi—”

“Lama!” Mario tiba-tiba bangkit, menarik handukku dan memposisikan kepalanya di depan selangkanganku.

Huhhfff, untung celanaku belum dilepas.

Tapi tentu saja aksi Mario tak hanya sampai di situ. Sebentar saja tangannya sudah berada di pangkal pahaku, menarik turun restleting dan memasukkan lengan kanannya ke dalam celanaku!

Oops! Aku dengan gesit menangkap tangannya.

Ia langsung mendongak sehingga tatapan kami bertemu. Kami berkomunikasi tanpa suara.

“Apalagi, Yah?” suara Mario pelan dan terdengar jengkel.

“Um, kita… Well, jangan dulu. Kamu… Maksudnya, jangan langsung kesitu.”

Rahang Mario mengeras.

“Maksudnya, Ayah pengen pemanasan dulu. Ya, gitu!” kataku cepat.

“Oke, silahkan!” Mario duduk bersila di depanku.

Aku mendesah. Desahan bosan.

“Ayo? Kok diam lagi?”

“Gimana?”

“Terserah Ayah. Ayah maunya apa?”

Udahan, jawabku dalam hati.

Aku mengelus rambutnya, membungkuk sedikit dan mencium keningnya. Well, satu-satunya yang suka kulakukan ke dia, iya, cuma itu!

“Jangan bilang cuma ciuman kayak tadi doang,” Mario mulai mengoceh.

“Iya!” aku mendorongnya agak keras ke ranjang lantas menindihnya.

Mario terlentang dengan sikap pasrah di bawah tatapanku.

“Please, Daddy. It’s your time. Lakukan sesuka Ayah. Buat Oh menggila,” ia menggigit bibir diakhir ucapannya.

What must I do?

“Huaaammm…! Ngatuuuukkk…” Mario pura-pura nguap.

Oke, follow your inner voice, saran hati kecilku.

Kuhela nafas keras, dan……… Mulai kuraup bibirnya.

Ikuti aja seperti yang dilakukan Mario tadi, kata hati kecilku lagi.

Kissing. Itu bukan masalah. Aku sering mencium dia. Selanjutnya? Seperti yang dilakukan Mario, kualihkan bibirku ke dagunya, turun menyusuri lehernya, turun lagi ke dadanya, bergerak ke bahunya, naik ke pundaknya, melompat ke rahangnya, sudut bibirnya, dagunya, turun lagi ke lehernya, dadanya, bahunya, pundaknya, naik ke rahangnya—

“Nipple, Yah…”

“Hah?” aku urung mengecup bibirnya.

“Nipple…” ia memelintir nipple kirinya.

Aku membawa wajahku dengan ragu ke atas nipple-nya.

“Hisap, Yah…”

Aku mendaratkan bibir di titik merah muda agak kecokelatan itu dengan enggan.

Mario langsung mendesah. “Sedot…”

Aku membulatkan bibirku sambil terus protes dalam hati kenapa aku harus menuruti semua permintaan dia.

“Aaahhh…”

Sebegitu nikmatkah baginya sampai ia harus mendesah?

“Lebih kuat, Yah. Lakukan kayak Oh tadi…”

Kayak dia tadi? Gimana ya? Aku nggak pernah memperhatikannya…

Kuhisap sedikit lebih kuat. Sangat tak efisien menghabiskan waktu dengan menghisap bagian tubuh sebesar kutil ini.

“Aaahhhh…” Mario kembali mendesah sementara lengan kanannya memelintir nipple satunya lagi.

Oke, aku sedikit berbaik hati. Kulepas tangannya itu dan kugantikan dengan lenganku sendiri yang sedari tadi diam tak tahu mesti ngapain. Kutekan-tekan titik kecil itu.

Desahan Mario makin keras. C’mon, dia sangat berlebihan.

“Terus, Yah…”

Aku menghisap lagi.

“Gigit Yah…”

Kuikuti keinginannya.

“Ah! Pelan-pelan, Yah. Jangan gigit beneran…”

Kukurangi tekanan gigiku pada nipple-nya.

Mario kembali mendesah sambil menggeliat.

“Sekarang Yah, main…” ia meremas pantatku.

Aku mengejang.

“Lepasin celananya, Yah,” Mario menjulurkan tangannya ke pinggangku.

“Biar Ayah aja ntar,” tahanku.

“Sekarang aja. Oh pengen kocok kontol Ayah.”

Aku menggertakkan gigi. “Please, jangan ngomong kotor!”

“Namanya emang itukan? Nyebutnya apaan coba?”

“Nggak usah disebut.”

“Ayolah, Yah. Ayah tuh kaku banget sih? Kalo lagi kayak gini itu wajar dong ngomong jorok. Biar makin hot!”

Aku ngerti. Tapi aku nggak nyaman. Sejak kecil aku selalu dijauhkan dengan kata-kata kotor. Sehingga sampai dewasa, mengucapkan kata-kata kotor itu terasa berat bagi lidahku.

“Ya udah deh. Lepas celana Ayah. Oh pengen kocok junior Ayah. Junior, See?”

Itu lebih baik.

“Nggak usah.”

“Nggak mau dikocok? Tapi Oh pengen pegang, Yah,” ia memaksakan tangannya melewati himpitan tubuhku dan tubuhnya.

Aku langsung menjepit lengannya dengan perutku.

“Ughhh…!” ia menarik keluar lengannya sambil menatapku tajam.

Aku melirik jam. Lima menit lagi.

Tiba-tiba Mario menggelitiki rusukku. Mau nggak mau aku bergerak. Dan saat itulah ia menarik turun restleting celanaku dan memasukkan satu tangan lalu menggenggam tentara kecilku.

“Yeah!” desisnya sambil meremas kuat.

“Mario!”

“Dia pengap di dalem, Yah. Keluarin aja…” Mario melepaskan milikku dari celana dalam. Sekarang ia memegangnya tanpa penghalang.

“Lepas, Mario!”

Mario tak perduli. Tetap menangkup seluruh milikku dengan telapak tangannya yang hangat. Aku langsung menarik lengannya menjauh.

“Ayah! Kenapa sih?!” ia mendaratkan tangannya ke sana lagi. “Sekarang milik Oh!”

“Jangan sampai Ayah marah!” ancamku.

“Marah aja…” ucapnya santai sambil menggenggam badan tentara kecilku, menegakkannya dan mulai menggerakkan tangannya naik turun.

“Mariooo…!”

“Diam, Ayah. Nikmati aja kocokan Oh…” ia menggerakkan tangannya lebih cepat.

Aku menggeliat.

“Ud—”

“Enakkan?” Mario memotong ucapanku.

“Udah!” aku menghalau tangannya dan langsung bangkit.

Mario juga bangun dan menangkap pinggangku dengan kedua lengannya.

“Ingat sama janji!” ia menggenggam juniorku lagi dari belakang.

Aku menghela nafas. Sebentar lagi amarahku akan meledak.

Tiba-tiba Mario sudah ada di depanku. Berlutut dan sebelum aku bertindak apa-apa, ia sudah membawa milikku ke dalam mulutnya.

Kepalaku berasap. Aku langsung mencengkram kedua pundaknya dengan kuat. Mario melepaskan milikku perlahan dan mendongak.

Tadinya aku ingin mendorongnya ke lantai. Tapi setelah menatap wajahnya, jadi nggak tega. Ada sesuatu yang menahanku untuk tak melukainya lagi kali ini. Aku berbalik membelai rambutnya.

Senyum Mario mengembang. Ia kembali menjamah milikku dengan mulutnya. Sementara itu, pikiranku kacau. Antara diam atau menolak.

Mario memanfaatkan kebimbanganku dengan mendorong tubuhku lembut hingga rebah ke ranjang. Lalu ia kembali memenjarakan milikku ke dalam mulutnya. Aku bisa merasakan hisapan lembutnya. Dengan perlahan seakan takut gerakan mulutnya akan membangkitkan amarahku lagi.

Aku menghela nafas. Masih kacau. Berbeda dengan Mario yang nampak fokus dengan milikku.

Aku memejamkan mata. Mengutuk dalam hati tentang apa yang sedang terjadi.

Lama-lama pikiranku tersita dengan gerakan mulut Mario yang makin cepat. Aku tersadar bahwa milikku pun semakin keras seiring perubahan irama kecepatannya. Sesekali Mario melepas milikku, tapi tak sedetikpun mendiamkannya. Jika tidak dengan mulutnya, Mario melakukan dengan tangannya.

Otot-ototku perlahan mengejang. Darahku mulai membuncah. Suhu tubuhku naik. Pikiranku mengabur. Aku tak mampu berpikir jernih sekarang. Ada sensasi yang melingkupi tubuhku sekarang, yang mendorong mulutku untuk mendesah.

Ini gila. Dalam waktu yang singkat, aku tak bisa berucap. Lidahku kelu. Aku ingin teriak menyuruh Mario berhenti, tapi suaraku berubah desahan setiap mulutku terbuka. Dan hisapan Mario pun makin menggila.

Berkali-kali aku ingin mendorong tubuhnya menjauh, tapi tanganku gemetaran. Gerakanku tak terkontrol. Aku justru menekan bahu Mario kuat dan itu disalahartikan olehnya. Ia justru mempercepat gerakan mulutnya. Mungkin ia berpikir bahwa aku memintanya tetap di sana dan jangan berhenti.

Dan cengkermanku semakin kuat agar tak goyah. Rasanya tubuhku ingin meledak. Entah perasaan apa ini. Tubuhku tak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Jadi aku semakin kuat bertahan, takut gelombang aneh ini benar-benar akan meledakkan tubuhku menjadi kepingan-kepingan.

Aku mengeraskan otot-ototku, sekeras yang aku bisa. Sebab ada sesuatu yang rasanya mengalir di badan tentara kecilku. Dan aku tahu itu apa. Aku takkan membiarkan cairan itu keluar. Jadi aku mengejang lagi, menahan lajunya. Tapi aku tak bisa bertahan lebih lama, apalagi dengan Mario yang terus menstimulus milikku. Ia terus menggila, memasukkan seluruh tentara kecilku ke dalam mulutnya, menahannya di sana beberapa detik lalu melepasnya keluar.

Terdengar geraman dari belakang tenggorokanku. Geraman rendah seperti suara raja hutan.

Mario mendorong milikku masuk lagi, dan kali ini kepala tentara kecilku yang jadi sangat sensitif menyentuh pangkal tenggorokannya. Aku tersentak dan membuka mulutku. Dan saat itulah pertahanku goyah. Cairan panas yang sedari tadi kutahan melesak keluar. Aku mengejang dan menyentak selama melepaskan cairan itu.

Kudengar Mario tersedak dan menarik mulutnya menjauh. Tapi hentakan pinggul dan tekanan kedua tanganku—yang tak kusadari kapan berpindah ke kepalanya, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain terus membiarkan milikku tetap berada di mulutnya.

To be continue…
===

notes:

Kacuk: setubuhi

Bianglala Satu Warna: S.O.S

Guys, gue bingung nih. Untuk pertama kalinya gue terbentur sama yang namanya penggunaan kata-kata. Tiap gue nulis, rasanya kata-kata yang gue gunakan itu nggak tepat.

Untuk satu scene aja, kali ini gue udah menghabiskan beberapa hari sejak postingan terakhir. Dan sampai saat ini tulisannya belum kelar juga.

Gue ragu sama tulisan gue. Udah ditulis, gue baca dan gue malu sendiri bacanya. Gue nggak nyaman bacanya karena beberapa kata yang digunakan. Bukannya apa-apa, dilanjutan cerita berikutnya, kalian pasti sedikit banyaknya udah tahu gambaran alur selanjutnya kayak gimana dari postingan sebelumnya.

Dalam adegan yang “you-know-what-I-mean”, terselip kata-kata cabul. Dan yang namanya orang lagi “ehem-ehem” gue rasa itu wajar kan? Gak mungkinkan dalam keadaan begitu kita masih menggunakan bahasa kiasan atau bahasa EYD. Gila aja!!! 😀

Masalahnya, sejak awal cerita ini bukanlah sebuah cerita yang banyak mengumbar kata-kata vulgar dan eksplisit. Jadi pas gue baca, kok rada aneh gitu. Nggak sesuai dengan pemilihan kata-kata di postingan-postingan sebelumnya.

Nah menurut kalian gimana?

1. Tetap menggunakan bahasa cabul (ex: kont*l)
– Dengan resiko ceritanya kek cerita esek2 jadinya, membuat cerita yang sangat biasa ini makin turun kualitasnya.
+ Tapi sesuai keadaan orang ML kek gimana. Berasa real. Hanya digunakan dikalimat langsung (yang mana semua kata2 cabul itu keluar dari ocehannya Mario)

contoh kalimat: “Ayo Yah, sodok Oh. Oh pengen kontol Ayaaahhh…” desah Mario.

2. Tetap menggunakan bahasa kiasan
– Dialog-nya kurang real. Mana ada orang ML pake bahasa indonesia yang baik dan benar?
+ Pemilihan kata sesuai dengan pemilihan kata-kata seperti postingan sebelumnya. Jadi kualitas kata tetap.

Contoh kalimat: “Ayo Yah, masuki Oh. Oh pengen punya Ayaaahhh…” desah Mario.

Nah, kalian nyamannya penggunaan bahasa yang mana?

Mohon partisipasinya. Makin cepat kalian menyampaikan pendapat kalian, makin cepat juga updaten selanjutnya meluncur.

Help Me!!!

Bianglala Satu Warna Chpater XVi

***Mario***

Gue terbangun tanpa alasan setelah tidur yang nyenyak banget. Gue terbangun, langsung buka mata dan (sial) langsung ingat sama kejadian malam ini.

Gue menoleh ke samping. Ada Arie yang meringkuk kayak ebi. Ia tidur membelakangi gue tanpa selimut. Ngomong-ngomong ia juga sudah mengenakan celananya ditambah jaket.

Gue menghela nafas dan menatap langit-langit. Kejadian sebelum tidur tadi kembali menggenang di benak gue. Gue sudah melakukan tindakan besar malam ini. Gue sudah berhubungan seks sama sahabat karib gue sendiri. Sahabat yang pernah gue suka. Gue sudah melihat bagian paling pribadi dari dirinya. Bukan hanya melihat, tapi juga menyentuh dan mencicipi rasanya. Suatu impian liar yang selalu gue harapkan akan terjadi karena gue benar-benar mengharapkannya. Tapi itu impian yang sudah gue buang dari hati gue terhitung dua bulan yang lalu!!! Bagaimana dengan sekarang? Sekarang gue ngerasa malu sudah ngelakuin itu sama Arie. Seharusnya gue nggak menodai persahabatan kami dengan seks. Gue malu banget rasanya. Bahkan untuk menatap wajah Arie yang masih terlelap pun gue nggak sanggup.

Akh, bodohnya gue! Gue mengutuk tindakan itu.

Gue melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 03.06 pagi.

Gue pengen cepat-cepat pergi dari sini. Gue nggak sanggup liat elu, Bray, setelah kejadian konyol semalam…

Tiba-tiba Arie bergerak dan mengubah posisi tidurnya menghadap gue. Jantung gue langsung berdebar keras kayak ketakutan. Gue langsung memejamkan mata dan pura-pura tidur. Terasa ada tarikan di selimut gue. Sepertinya Arie menyelimuti dirinya sendiri. Setelah itu nggak ada gerakan lagi. Gue pun perlahan membuka mata dan melirik ke arahnya lewat ekor mata. Arie sudah terlelap lagi. Gue menarik nafas lega lalu merubah posisi tidur jadi membelakanginya.

Ayah sekarang pasti udah tidur deh… Desis hati gue tiba-tiba.

Ada air dingin rasanya menyiram hati gue setelah desisan tak diinginkan itu.

Kenapa sih gue nggak bisa ngelupain dia? Dia yang bikin gue kayak gini. Dia aja nggak mikir perasaan gue…

Huhh! Gue menghela nafas berat.

Akh, sepertinya gue bakal menunggu pagi dengan pikiran galau. Shit!

***

Mario tertidur dengan membawa kecamuk di hati. Ia terbangun saat adzan subuh berkumandang. Ia langsung bangkit dan menoleh ke Arie yang masih pulas.

Gue harus pulang sekarang sebelum dia bangun, desisnya dalam hati.

Ia pun turun dari ranjang dengan pelan. Mencari pakaiannya di lantai, tapi tidak ada. Ternyata kaos dan celananya itu tersampir di kepala ranjang. Mungkin saat semalam ia sudah tidur, Arie yang menaruhnya di sana.

Setelah mengenakan pakaian lengkap, Mario melangkah ke arah luar dan membuka pintu dengan hati-hati. Ada deritan kecil saat pintu dibuka. Untungnya tidak sampai membangunkan Arie. Begitu pun saat ia menutup pintu itu kembali. Terdengar bunyi ‘ceklek’ meskipun ia sudah menutupnya sepelan mungkin.

Lega. Begitulan yang Mario rasakan setelah keluar dari kamar Arie. Ia buru-buru menuruni tangga sambil menyisir rambut dengan jemarinya. Di ruang tengah ia bertemu dengan Amaknya Arie. Mungkin beliau hendak memulai aktivitas sebagai seorang istri dan seorang ibu.

“Laa, sudah bangun, Yo?”

“Ya, Te.”

“Cepat nian?”

“Hehehe. Mo pulang, Te—”

“Kenapa?”

“Eng, ada urusan.”

“Ooo… Ya udah. Hati-hati pulangnya.”

Mario mengangguk.

“Si Arie tadi udah bangun?”

“Belum, Te.”

“Ya, ya…”

“Rio pulang ya, Te…?”

“Hati-hati, hati-hati. Salam sama Mama ya…”

“Ya…!”

Hawa dingin langsung menyambutnya saat di luar. Mario mengendarai motornya dengan sedikit gemetar menahan dingin. Sesampai di rumah, kedua pori-pori lengannya membesar dan tubuhnya merinding karena dingin. Ia menekan bel dengan tergesa-gesa.

Saat tahu yang datang itu Mario, sang mama langsung heran. Tumben anaknya pulang subuh-subuh begini.

“Tadi itu Oh ngaterin Kak Jo ke rumah teman. Dia ada acara di sana. Kebetulan lewat rumah, yaa, mampir deh…” Mario ngarang alasan.

Untungnya alasannya itu terdengar masuk akal di telinga Mamanya. Ia pun bisa masuk ke kamarnya tanpa harus direpotkan dengan pertanyaan lainnya.

Sesampai di kamar, Mario langsung melompat ke atas ranjang. Tapi saat tubuhnya menyentuh permukaan ranjang, ia mengumpat kesal. Ranjangnya terasa dingin karena sudah lama tak ditiduri. Ia pun menarik selimut hingga membungkus tubuh melampui telinganya. Kemudian ia memejamkan mata, mencoba kembali tidur…

Ia terbangun saat mendengar ketukan keras di pintu kamar. Saat ia membuka mata, ternyata hari sudah terang. Ia menggeliat sementara ketukan di pintu masih terdengar.

Mario turun dari tempat tidur dan membuka pintu. Dan ia tersentak ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

Arie.

Mario langsung menelan ludah. Gugup.

“Eh, kok tadi pagi elu pulang nggak ngasih tahu gue sih?”

“Ngg… Yaaa…” Mario mundur untuk memberi jalan Arie masuk ke kamar.

“Elu tidur?”

Mario mengangguk sambil membuntuti Arie.

“Yaelah, kalo pulang cuma mo tidur, kenapa nggak lanjutin tidur di rumah gue sih?” Arie duduk di ranjang.

Mario tersenyum tipis.

“Tadi gue ke rumah Mister Jo. Pintu pagarnya terkunci…”

Mario mangut-mangut mendengar keterangan Arie.

“Jadi gue ke sini. Karena gue yakin elu pasti pulang ke rumah elu…”

“Ya.”

“Ada apa sih?”

Mario menghela nafas. Lagi-lagi ia harus mendengar pertanyaan serupa dari Arie.

“Elu berantem sama dia?”

Mario tak menjawab.

“Makanya elu kabur ke rumah gue semalem? Ungg… Masalahnya apa sih? Kok elu sampai—”

“Ugh! Bisa nggak sih elu diam, Rie?!” potong gue kesal. Ia nggak mau mengingat kejadian semalam!

“Sorry. Gue cuma pengen tahu keadaan elu aja…”

“Gue baik-baik aja.”

“Oh…”

“Ya udah. Gue mo mandi dulu.”

“Silahkan. Gue juga mo ke toko…”

Mario menoleh ke Arie lalu mengangguk-anggukkan kepala. “Oke.”

Arie balas mengangguk lalu bangkit dari duduknya. “Ntar ke acara doa bersamanya bareng aja ya!” ajak Arie kemudian.

“Eng, Insya Allah kalo gue datang.”

“Kenapa? Datang ajalah. Doa bersama itu penting lho…”

“Iya deh. Oke, bareng.”

“Ya. Ntar gue yang jemput atau elu yang jemput gue?”

“Elu aja.”

“Oke sip!” Arie mengangkat jempolnya dan berlalu keluar kamar.

Mario menghela nafas setelah tubuh Arie menghilang di balik pintu.

***

*24 Mei 2013*

Hari ini sepertinya merupakan puncak ketegangan bagi sebagian besar siswa kelas XII. Pasalnya hari ini adalah pengumuman kelulusan yang akan menentukan langkah mereka selanjutnya.

Mario sejak kemarin sore mulai tegang. Meskipun kemarin ia bersama seluruh teman-temannya di jurusan IPS sudah melakukan doa bersama. Tapi itu tak mampu menenangkannya. Perasaan ini diperburuk lagi dengan kenyataan kalo ia masih mikirin hubungannya sama Johan.

Dan ia tak henti-hentinya merutuki kebodohannya karena pikiran itu. Tapi sialnya, semakin ia merutuki hatinya yang tak mau diajak kompromi, semakin besar pula penyesalannya karena sudah meninggalkan rumah Johan.

Coba kalo gue tahan sedikit emosi gue, saat ini gue masih sama Ayah. Ayah bisa nenangin gue, sesalnya.

Tapi sedetik kemudian, ia kembali menemukan kekuatannya. Membenarkan semua tindakan yang sudah ia ambil.

Ngapain juga gue mikirin dia?! Dia aja sampai sekarang nggak berusaha nyari gue! Seharusnya gue buktiin ke dia kalo gue bisa tanpa dia! Gerutunya dalam hati.

Begitulah yang terjadi sejak kemarin. Hatinya berubah-ubah. Sebentar-sebentar menyesal, sebentar-sebentar membenarkan keputusannya. Jujur ia capek dengan pikirannya ini, tapi tak tahu bagaimana menghentikannya.

Tok…tok…!

Mario melirik pintu kamar.

“Yo…!” terdengar suara mamanya.

“Ya…?”

“Sarapan yuk…???”

“Ya, Ma. Rio ganti baj—” ia menepuk jidatnya. Seragamnya kan di rumah Johan???

“Mama tunggu di meja makan ya…”

“Ya Maaa…” balas Mario tanpa semangat.

Nah, terus gimana nih? Gue ke sekolah pake apaan?

Apa boleh buat! Mau nggak mau gue mesti kesana ambil pakaian, pungkasnya dalam hati.

Mario pun mengenakan pakaian biasa dan jaket lalu turun menemui Mamanya di ruang makan.

“Lho, kok belum ganti pakaian?” tanya sang mama.

“Ma, Mama makan duluan aja ya? Rio mo ngambil seragam di rumah Kak Jo dulu…”

“Lha, seragam kamu masih disana?”

“Iya.”

“Ya udah buruan. Mama sarapan duluan yaaa…”

Mario mengangguk dan melesat ke luar. Memanaskan mesin motornya sebentar dan mengendarainya menuju rumah Johan.

***

***Johan***

Hari ini siswa kelas 3 Menengah Atas menghadapi kelulusan. Aku diingatkan oleh berita di TV barusan. Dan seketika ingatanku tertuju ke Oh. Berarti ini hari kelulusannya juga. Hmm, semoga dia lulus dengan nilai baik.

Eh, by the way, orang kalo kelulusan itu pake seragamkan??? Kok dia nggak kesini ngambil seragamnya?

Aku melirik jam di dinding. Udah hampir pukul setengah delapan. Atau dia punya seragam yang lain? Hmm, bisa jadi.

Akupun berhenti memikirkan dia dan fokus dengan hitungan push up-ku.

Tapi, engg, hari ini… Kamis. Akh, bukan! Hari ini Jumat. Kalo Jumat mereka biasanya pakai seragam batik. Ah, iya! Mario nggak mungkin punya batik dua. Atau saat pergi dia udah bawa seragamnya???

Dugaan-dugaan itu membuatku nggak tenang. Aku pun berhenti push up dan menuju kamar Mario. Kuperiksa lemarinya. Aha! Seragamnya masih ada di sana. Berarti pagi ini tuh anak pasti bakal kesini.

Benar saja. Baru beberapa detik aku memikirkannya, terdengar bel dari luar. Aku yakin itu pasti Oh.

“Mo ngambil seragam ya?” sambutku.

Oh menatapku tak seceria biasanya. Ia mengangguk.

“Gimana kira-kira nilainya nanti? Bagus nggak?”

“Nggak tau…”

“Harus optimis dong…”

Ia tak menjawab dan langsung menuju kamarnya. Tidak lebih dari semenit, ia sudah keluar kamar dengan seragam di tangan.

“Kenapa belum dipake?” tanyaku.

“Di rumah aja.”

“Di sini aja. Repotkan kalo mo balik ke rumah lagi? Lagian sepatu kamu juga di sini…”

Mario diam.

“Udah sarapan belum?” tanyaku.

“Oh iya, tadi Mama nunggu gue buat sarapan. Gue harus pulang!” jawabnya cepat.

“Ntar biar Ayah yang kasih tahu Mama kalo kamu sarapan di sini…” tahanku.

Ia nampak ragu.

Aku melangkah menghampirinya. “Buruan ganti, terus sarapan. Sekarang udah pukul setengah delapan lewat,” beritahu sambil menunjuk jam dinding.

“Oke…” desisnya pelan.

“Atau mo Ayah yang pakein, eh?” godaku.

Ia tiba-tiba cemberut.

Aku mengelus rambutnya. Dua malam ia nggak tidur sama aku, aroma tubuhnya udah sedikit berbeda.

Selesai mengawasi Mario berganti pakaian, aku mengajaknya ke meja makan. Menyiapkan sarapan buat kita berdua dan menemaninya makan meskipun aku belum mandi pagi.

Seusai makan, ia langsung pamit. Aku mengangguk dan menyemangatinya. Tak perduli dengan sikap dinginnya yang tak berubah sejak datang tadi.

***

***Mario***

Gue barusan ketemu Ayah. Dan dengan berat hati gue harus mengakui kalo gue senang. Gue senang sekaligus gugup ketemu dia. Apalagi sambutannya ramah banget. Padahal gue udah mikir dia bakal dingin pas lihat gue. Ternyata gue salah. Dan, akh, seperti biasa, gue selalu nggak bisa berkutik kalo udah berhadapan sama dia. Gue nggak tahu, sihir apa yang udah ia tiupkan sehingga gue selalu kayak kebo dicocok hidung jika berhadapan sama dia!

Seharusnya gue bersikap angkuh sama dia tadi. Gue cukup menerobos masuk rumahnya, ambil pakaian dan cabut! Nggak usah dengerin semua omongan dia. Apalagi sampai sarapan bareng. Tapi, yaaahhh, lagi-lagi itu cuma sebatas wacana di otak gue. Faktanya rencana dan tindakan gue itu nggak pernah sinkron. Selalu aja Ayah yang di atas angin! Hufh!!!

Tapi nggak bisa dipungkiri juga, setelah tahu reaksi Ayah ke gue yang semanis tadi, hati gue jadi sedikit tenang. Nggak tahu kenapa. Gue nggak bisa menjelaskan penyebabnya. Lagi-lagi karena pengaruh mantra sihirnya mungkin.

***

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 08.47. Para siswa bergerombol di depan kelas masing-masing. Mereka sedang menunggu wali kelas datang untuk membagikan amplop berisi tulisan lulus atau tidak lulus.

Beberapa siswi terlihat berpelukan. Ada juga yang komat-kamit baca doa. Bahkan ada yang nangis. Semuanya itu sebagai ekspresi dari ketegangan mereka menunggu detik-detik pengumuman. Padahal menurut desas desus yang entah dari mana (ada yang bilang dari guru TU, ada juga yang bilang dari penjaga sekolah, atau dari siswa yang orang tuanya mengajar di smansa, pokoknya macam-macam), semua siswa SMANSA Cuko lulus seratus persen. Tapi tetap saja rasa khawatir kalau kabar itu tidak benar tetap menghinggapi hati mereka.

Dan akhirnya saat paling menegangkan pun datang juga. Tepatnya ketika para wali kelas satu persatu datang memasuki kelas yang mereka bina. Kelas yang tadi riuh seketika hening. Hawa ketegangan sangat terasa.

Ketegangan pun semakin menjadi saat wali kelas pun memberikan wejangan ke seisi kelas dengan kata-kata yang terdengar ambigu. Seperti; ‘Bagi yang belum berhasil melewati UN, jangan berkecil hati. Kegagalan ini bukan akhir dari kehidupan kalian… Bla…bla…bla…’. Siapa yang nggak tegang coba dengar kalimat seperti itu?

Untungnya ucapan sepatah dua patah kata dari wali kelas selesai juga. Dan kini saatnya para siswa dipanggil untuk menerima amplop yang berisi hasil pertarungan mereka selama tiga hari pada tanggal 15-17 April yang lalu.

Semua siswa yang dipanggil namanya dikasih amplop dan langsung disuruh keluar kelas. Mereka diminta membuka amplopnya di luar. Tapi beberapa siswa saking groginya sampai nggak berani membuka amplopnya. Mereka meminta teman mereka yang membukakan atau bahkan ada yang lebih memilih membukanya di rumah.

“Bray!” terdengar teriakan khas dari arah luar.

Mario menoleh. Ada Arie yang wajahnya nampak sumringah di dekat kusen pintu kelas.

Arie yang namanya sudah dipanggil di awal-awal tadi mengarahkan telunjuk ke kertas yang dipegangnya. Sementara bibirnya bergerak membentuk kata: Gue Lulus.

Mario tersenyum seadanya. Ia mengacungkan jempol ke Arie lalu kembali fokus memperhatikan teman-temannya yang namanya dipanggil oleh wali kelas.

Kalo Arie aja bisa lulus, apalagi gue! Mario mencoba membesarkan hatinya.

“Mario Lingga Evans!”

Mario menghembuskan nafas keras dan bangkit dari duduknya, sedikit tergesa menghampiri meja guru.

Kini amplop penentuan sudah di tangan. Mario bergegas ke luar dan langsung disambut Arie.

“Gimana?” tanya Arie.

Mario tak menjawab. Ia langsung membuka amplop setelah mengucapkan “Bismilahirahmanirrahim” dengan lantang.

Begini isi utama surat pengumuman itu:
Nama : Mario Lingga Evans
No. Ujian : …
No. induk: …
Kelas : XII.IPS.1
Jurusan : IPS

Dinyatakan : “Lulus” dengan jumlah nilai UN = “50,08”
Demikian untuk dapat diperhatikan.
[

“Gila! Gedean nilai elu, Bray!” Arie mendorong kepala Mario gemas.

“Alhamdullilah gue lulus! Yeah!!! Elu berapa?”

“Gue 48,01,” beritahu Arie sambil memperlihatkan surat pengumuman.

Mario terkekeh.

“Gila elu ya!”

“Gue belajar kaleee…!”

“Gaya elu!”

Mereka berdua berpelukan erat.

“Yang lain gimana?”

“Kita 100% lulus kok!”

“Ohh, jadi berita itu benar? Baguslah!”

“Tapi gue belum tahu siapa peraih NEM tertinggi nih…”

“Ah, penting amat! Yang penting gue udah lulussss…!” kata Mario seraya melipat surat pengumuman dan dimasukkannya ke dalam saku baju.

“Eh, hari ini kita konvoy yuk?!”

“Oke! Bareng anak-anak kan?”

“Ya. Gue juga udah bawa seragam putih abu-abu gue buat dicoret-coret…”

“Anjrit! Gue nggak nih…”

“Gimana sih elu? Seragam gue ada tuh di jok motor…”

“Gue balik ah kalo gitu. Gue mo ambil seragam dulu.”

“Ya udah. Buruan gih…”

“Sip!” Mario berlari menuju parkiran dengan penuh semangat.

Sesampainya di rumah…

“Gimana, Oh?” kedatangannya langsung disambut Johan.

“Nih!” Mario mengeluarkan kertas terlipat dari saku bajunya.

Johan langsung menerima dan membuka kertas itu. Senyumnya langsung tersungging di bibirnya saat membaca apa yang tertulis di sana.

“God job, maboy!” seru Johan sambil mengacak rambut Mario bangga.

Mario terkekeh.

“50,08. Jadi rata-ratanya berapa nih?”

“Eh, iya, ya? Berapa ya?” Mario balik nanya.

“Jumlah bidang study yang di-UN-kan ada berapa?”

“Enam.”

“Enam? 50:6 …, 6×7 = 42, oke, 8 ya? 6×8 = 48. Rata-rata 8,3. Sip! Good!” seru Johan puas.

“Delapan?? Yeah!” Mario sangat puas. Ia mengedipkan matanya lalu melangkah menuju kamar.

“Nilai tertinggi berapa?” tanya Johan seraya membuntuti Mario.

“Gak tahu.”

“Peraihnya siapa?”

“Nggak tahu juga…” jawab Mario sembari membuka lemari pakaian.

“Berapa orang yang nggak lulus?”

“Lulus seratus persen, Yah!” jawab Mario sambil menarik baju putih abu-abunya dari lipatan.

“Bagus dong…”

“Yup. Oh pergi dulu ya!” pamit Mario sambil bergegas melewati Johan.

“Eh, mo kemana…???”

“Konvoy, Yah!”

Johan melirik seragam yang ada di tangan Mario. Dan ia tahu bakal diapakan seragam itu nantinya.

“Oh, sini dulu!” panggil Johan.

Mario berhenti. “Apa?”

“Sini,” Johan berjalan menghampiri Mario.

“Apa lagi? Oh buru-buru nih…”

“Mo corat-coret seragam ya?”

“Sekalian sih…”

“Gak usah pergi. Ngapain konvoy segala? Bahaya!”

“Ah!” bantah Mario. Ia kembali melangkah menuju keluar.

Johan dengan gesit meraih lengan Mario. Mario langsung menatap Johan.

“Pliiisss, Yah…” pinta Mario setelah melihat Johan menampilkan ekspresi cool-nya.

Johan tak menjawab. Ia malahan berjalan melewati Mario menuju pintu ruang tamu. Mario mengawasi gerakan Johan dari tempatnya berdiri. Ternyata Johan menutup pintu.

Mario langsung menghela nafas kesal sambil memutar bola matanya.

“Pokoknya Oh mo pergi!” seru Mario sambil berjalan ke arah pintu dan Johan.

“Udahlaahhh…” tahan Johan pelan saat Mario melintasinya. Ia menepuk pundak anak itu. Tapi karena Mario tak memperdulikannya dan tetap membuka pintu, ia langsung memeluk dan mencium tengkuk Mario dari belakang. “Udahlah, Sayang…” desisnya pelan.

Mario terdiam dan urung membuka pintu. Tapi tak sampai hitungan menit, ia kembali memutar gagang pintu.

Johan menahan tangan Mario.

“PLIS, YAH!” Mario kesal.

“Nggak usah pergi. Kenapa sih suka banget ninggalin Ayah?”

Mario mangut-mangut mendengar pertanyaan Johan barusan.

“Bentar lagi kamu jadi mahasiswa. Sama dong kayak Ayah…”

“Udah ah!” Mario melepas pelukan Johan. Hatinya tetap keukeuh pengen pergi.

“Uhmmm… Kamu nggak pake sabun yang biasanya? Wangi tubuh kamu beda…” Johan mengendus bahu dan leher Mario.

Leher Mario bergerak mengikuti endusan Johan.

“Tuh kan beda…” gumam Johan lagi.

“Emang yang biasanya kek gimana?”

“Ya gitu. Ayah udah familiar sama aroma tubuh kamu…”

“Sabun di rumah beda sama sabun di sini.”

“Ya, makanya Ayah bilang wangi kamu beda.”

“Gak penting banget…”

“Ayah nggak suka wangi yang ini. Ayah pengen aroma yang biasanya. Aroma Oh.”

“Ayah cari aja ampe ketemu. Mungkin di bagian area yang lain…” saran Mario. Ngomong-ngomong ia mulai terangsang sama endusan Johan pada lehernya.

Gila! Cepat banget sih gue horny?! Gerutu Mario kesal.

“Apa bedanya…” Johan menjentik daun telinga Mario.

“Ouch!” teriak Mario. Tapi teriakannya lebih terdengar seperti desahan sehingga Johan menyipitkan matanya.

“Nakal!” kata Johan.

“Oh bisa lebih nakal lagi…”

“Ayah nggak suka kalo kamu nakal.”

“Nakalnya beda…” Mario merapatkan tubuhnya ke Johan. Menempelkan juniornya yang sudah mengeras ke pangkal paha kanan Johan.

“Hey!” Johan melotot terhadap aksi tak sopan Mario barusan.

“Siapa yang mulai, eh?!”

“Kamu aja yang terlalu cepat—”

“Yeah, that’s right Daddy! Oh bakalan selalu horny sama Daddy. Nggak tahu kenapa!” potong Mario.

“Sama orang lain?”

“Enggak!”

“Emang pernah coba?”

Tiba-tiba wajah Arie melintas di benak Mario. “Enak aja!”

“Sekarang aja bilang gitu. Coba kalo udah ketemu sama yang lain…”

“Ayah pengen Oh coba sama orang lain?”

Johan menyipitkan matanya. Ia tak senang membayangkan Mario dengan orang lain.

“Coba aja!” suara Johan terdengar dingin.

Mario ngakak. Ia senang mendengar nada cemburu disertai ancaman dari Johan barusan. Nada itu membawa nafsunya setingkat lebih tinggi.

“Kalo nggak suka, makanya jangan sampai keduluan sama yang lain…” kata Mario memprovokasi.

“Gitu ya? Masih usaha juga kamu yaaa…” Johan menjewer telinga Mario.

Dasar homo labil! Katanya nggak bakal ngerayu Johan buat ngeseks lagi, woy?! Protes hati kecil Mario tiba-tiba.

Gleg!

Sial, gerutu Mario dalam hati.

Omongan elu itu nggak ada yang bisa dipegang. Cuma sesaat. Pas emosi doang. Giliran diangin-anginin dikit langsung melempem… Ledek hati kecilnya lagi.

Gairah Mario terjun bebas seketika. Bener juga! Gue terlalu gampang dimainin sama Ayah. Suka-suka dia aja kapan mau nyenengin gue, kapan mo diemin gue…

Mario menghela nafas. Gairah yang tadi menggebu-gebu seketika berubah seratus delapan puluh derajat jadi dingin tanpa sebab. Johan terkejut melihat sikap Mario. Dan ia hanya mengawasi aja gerakan Mario yang mengambil jarak dari dirinya.

Gue harus ambil sikap. Gue nggak mau terus-terusan diperlakukan kayak gini! Desis Mario dalam hati.

“Gue mo pergi! Arie pasti udah nungguin dari tadi!” Mario kembali ke rencana semula.

“Bentar lagi Jumatan, Oh…” kata Johan.

Jumatan? Oh iya, hari ini Jumat. Mario menghela nafas. Terus gue mesti gimana nih??? Ia bertanya dalam hati.

“Kamu udah kasih tahu Mama belum kalo kamu lulus?” tanya Johan.

“Oh, iya!” Mario merogoh saku celananya. Tapi kemudian ia terdiam dan mimik wajahnya seperti memikirkan sesuatu.

“Hape gue—”

“Kenapa?”

Mario tak menghiraukan pertanyaan Johan. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia memegang handphone-nya. Tadi pagi? Nggak. Semalam? Nggak juga. Kemaren? Nggak. Di rumah Arie? Juga nggak. Masa sih? Ia baru sadar bahwa sudah dua hari ia nggak menggunakan handphone.

“Ponsel kamu ilang?” tanya Johan.

Jadi terakhir kapan? Kalo di rumah Arie nggak, berarti hape-nya di sini? Mario masih bertanya-tanya dalam hati. Nggg… Atau jangan-jangan jatuh pas dia minggat?

Mario melesat ke kamar Johan. Seingatnya terakhir kali ia menggunakan handphone-nya yakni saat baca cerita stensilan sebelum berantem sama Johan.

“Nomernya nggak aktif…” beritahu Johan.

Mario menoleh.

“Ayah barusan coba miscall…”

Mario manyun dan berkacak pinggang di depan ranjang. Kembali mengingat-ingat kira-kira di mana letak handphone-nya. Namun kemudian mulai mengacak tempat tidur. Mengangkat semua bantal yang tersusun rapi dan…

“Aha! Ini ada!!!” seru Mario sambil mengambil handphone yang tergeletak di bawah bantal. Posisinya di dekat kepala ranjang dan menempel di dinding.

“Tapi mati. Lowbatt…” ia menekan tombol on/off. Handphone-nya nyala sebentar kemudian mati lagi.

“Charger aja dulu. Pake ponsel Ayah aja…”

Mario menerima handphone yang disodorkan Johan. Ia mengirim sms buat mamanya. Setelah itu mencharger handphone-nya yang lowbatt.

Setelah itu Mario berjalan ke kamarnya buat ganti baju. Ia nggak mungkin pergi buat konvoy. Anak-anak pasti udah berangkat dari tadi. Ia ogah nyusul mereka sendirian. Lagi pula sebentar lagi sholat Jumat. Ayat suci sudah dilantunkan dari masjid terdekat.

“Ini ada sms balasan dari Mama kamu, Oh!” terdengar teriakan dari luar saat ia sedang melepas baju batiknya.

“Apa katanya?” tanya Mario sambil melempar baju ke ranjang. Setelah itu berjalan menuju tempat Johan.

“Ini!” Johan menyodorkan handphone-nya saat Mario muncul. Saat ini ia sedang duduk di sofa sambil menonton berita.

Mario langsung membaca isi pesan tersebut. Bibirnya membentuk senyuman setelah membaca isinya.

“Nah gitu dong! Bikin beliau bangga…” kata Johan saat Mario duduk di sampingnya.

“Oh bales ya pesannya?”

Johan mengangguk dan kembali fokus ke TV. Saat itu berita menayangkan tentang siswa peraih nilai tertinggi se-Indonesia.

“Siswi dari Bali ternyata yang dapat nilai paling tinggi…” kata Johan.

Mario ikut-ikutan melihat ke TV.

“Apa ya hadiahnya? Biasanya sih dapat beasiswa dari pemerintah sampai tamat kuliah S1…” kata Johan.

“Emang tahun kemarin gitu ya?”

Johan mengangguk.

“Kalo hadiah buat Oh apa, Yah?” tanya Mario tiba-tiba.

Johan langsung noleh ke Mario.

“Oh kan lulus. Nilainya juga lumayan…”

“Ntar, Ayah pikir dulu,” Mario kembali menatap ke layar TV.

“Atau biar Oh yang pilih sendiri?”

“Apa?” tanya Johan tanpa mengalihkan pandangannya.

“Oh cum—”

Jangan bilang kalo elu mo ML lagi! Elu kan udah bilang gak bakal mint—STOP.

Sial, belum selesai ngomong, hatinya udah interupsi duluan.

Benerkan kalo elu mo ngomong itu? Ejek hatinya. Hahaha…! Dasar homo gatel! Pikiran elu tuh gak jauh-jauh dari isi celana!!!

“Hadiah apa? Kalo bisa Ayah penuhi, nanti Ayah penuhi…” omongan Johan menyudahi debat di hati Mario.

“Terserah Ayah aja deh…” ucap Mario pelan. “Tapi gue maunya sih ML…” dan untuk yang ini hanya diucapkan dalam hati.

“Lho katanya mo pilih sendiri?”

Mario tak menjawab.

Johan menatap Mario lekat. “Kok diam? Mumpung Ayah lagi sayang-sayangnya sama kamu nih…” Johan mengacaukan rambut Mario dengan gemas.

“Sayang-sayangnya?”

“Ya. Udah dua malam Ayah nggak ngelonin kamu. Sekarang kamu pulang bawa kabar bagus. Kamu…lulus…ujian. Ayah senang. Itu baru Oh-nya Ayah namanya!”

“Kalo gitu turutin permintaan Oh,” sambut Mario. Persetan sama protes di dalam kepalanya. Inikan kesempatan!

“Yaaa, apaaa?”

“ML!” suara Mario meluncur cepat dan datar.

“Udah diduga…” gumam Johan santai.

“Ayah sendiri yang bilang silahkan pilih maunya apa,” Mario membuat pembelaan.

“Kenapa harus ML?”

“Enggg…” hatinya juga bingung kenapa. “Karena suka!”

“Ayah gemes banget sama kamu. Kenapa pikirannya itu mulu?!” Johan menghela nafas putus asa.

“Oh juga gemes sama Ayah. Kenapa Ayah nggak mau? Wajarkan kalo pacaran…”

“Emang kalo pacaran harus ML gitu? Gawat dong!”

“Kita kan sama-sama cowok. Gak ada yang perlu dikhawatirin…”

“Pasti karena gak bakal hamil… Iya?”

“Ya. Terus kan gak ada selaput dara gitu. Nggak kenal perawan atau nggak perawan…”

“Jadi kalo misalnya kamu pacaran sama cewek, kamu gak bakal ngeseks?”

“Nggak!”

“Kamu bisa tahan ya? Karena faktor virginitas tadi itu kan ya? Terus kenapa nggak kamu terapkan pemikiran itu ke hubungan kita? Anggap aja kita pacaran cowok-cewek…”

“Nggak bisa. Kita kan nggak ada yang cewek…”

“Anggap aja gitu. Ayah yang ceweknya deh nggak apa-apa…!”

“Nggak bisa!”

“Kenapa sih nggak bisa? Emang semua gay itu kalo pacaran pasti ada embel-embel ML-nya ya?”

“Nggak. Ada juga yang nggak. Hubungan tanpa seks.”

“Naaah, kenapa kita nggak pilih yang itu? Pacaran, saling sayang, tanpa harus berbuat macam-macam. Kayak anak ABG gitu. Mereka pacaran, tapi pacaran yang sehat…”

Mario tak menjawab. Ia menatap layar TV sambil memberengut .

Johan menghela nafas. Ia tahu Mario belum bisa menerima penjelasannya.

“Kalo selain ML pengennya apa?” tanya Johan setelah mereka membisu beberapa lama.

“NGGAK ADA!” jawab Mario sambil bangkit dari tempat duduknya.

GOD! Satu-satunya yang masih nggak bisa aku terima dari dia, keinginannya ini. ML lagi, ML lagi! Gerutu Johan dalam hati..

“OKE!”

Mario berhenti melangkah. Maksudnya apa? Ia bertanya dalam hati. Oke buat apa? Ia kembali berjalan.

“Ayah sanggupi.”

Mata Mario membulat dan mulutnya menganga tak percaya.

“Ayah serius?” tanya Mario. Ia lagi nggak mau dibercandain saat ini.

“Serius.” Johan mematikan TV.

Bianglala Satu Warna Chapter XVh-lanjutan

Hawa malam ini dingin seperti biasanya. Tapi tetap tak bisa meredakan gejolak api di dalam dada gue. Amarah gue masih bergumpal di sana. Menyebar sampai ke sela-sela jari gue.

Di tengah jalan terbesit nama Arie dalam benak gue.

Arie.

Kenapa gue nggak ke rumah dia aja?

Ya, ya. Mendingan gue ke sana aja. Percuma aja kan kalo gue balik ke rumah. Bikin pusing aja dengan pertanyaan-pertanyaan Mama nantinya.

Niat gue bulat sekarang untuk menemui Arie. Gue pun menambah laju kecepatan motor gue membelah jalanan yang lengang.

Seperti biasa, Arie sedang di kamarnya saat gue datang. Gita yang membukakan pintu meminta gue langsung menemui kakaknya itu di kamar. Gue mengangguk dan tersenyum seadanya ke siswi menengah pertama tersebut.

“Rie…!” gue nyelonong masuk melewati pintu kamar Arie yang terbuka sedikit.

Arie yang sedang tiduran di ranjang langsung melompat bangun. Wajahnya nampak terkesiap melihat kedatangan gue yang tiba-tiba.

Tatapan kami beradu. Tapi saat melihat wajah Arie, justru gue menyebut nama Ayah dalam hati.

Emosi gue kembali naik.

Oke. Gue nggak butuh elu, Yah! Gue bisa dapetin apa yang gue mau dari orang lain! Desis gue penuh amarah.

“Yo…!”

Gue menutup pintu dan berputar menghadap Arie.

“Elu—ada apa?”

Elu bakal nyesal, Yah. Gue serius!!! Amarah di hati gue terus bergema.

Gue melompat naik, menubruk Arie yang masih menampilkan wajah kebingungan akan kedatangan gue. Mendapat serangan gue yang tiba-tiba, ia langsung jatuh tertidur.

Arie masih kebingungan di bawah tatapan gue. Tapi gue nggak ngasih dia kesempatan untuk bertanya lagi. Gue langsung meraup bibirnya dengan keras. Menekan bibir gue ke bibirnya.

Ini! Elu lihat, Yah! Gue bisa ngelakuin ini sama orang lain! Jerit hati gue ditengah hisapan gue pada bibir Arie.

Dan apa hanya perasaan gue aja, tapi gue ngerasa Arie mulai membalas ciuman gue. Awalnya pelan, tapi lama-lama pagutannya semakin liar mengimbangi gerakan bibir gue.

Jujur, gue nggak menyukainya. Hati kecil gue menolak. Seumur-umur, gue hanya pernah ciuman sama Ayah. Dan kini gue ciuman sama Arie. Rasanya? Ngg… saat bibir kita menyatu, gue nggak ngerasain gejolak seperti halnya saat gue ciuman sama Ayah. Gue hampir saja melerai ciuman itu, jika saja wajah Ayah nggak bermain di pelupuk mata gue. Jadi gue bukannya melerai ciuman itu, justru malah memagut bibir Arie makin beringas. Gue ingin melampiaskan kemarahan gue sama JOHAN!!!

Entah berapa lama kami berpagutan, yang jelas gue yang melerai ciuman itu. Karena dari Arie sendiri tak ada tanda-tanda untuk menghentikannya. Maka gue menarik kepala gue menjauh.

Kita berdua terengah-engah saat ciumannya usai. Tatapan kami bertemu. Gue melihat percikan gairah di mata Arie.

“Kenapa dengan elu?” desis Arie.

Gue nggak menjawab. Hanya mata gue saja yang terus menatapnya.

“Elu sadarkan gue siapa? Gue bukan Mister—”

Ya! Dia yang menyebabkan gue di sini malam ini! Potong hati kecil gue.

Gue nggak mau dengar apapun dan dari siapapun lagi saat ini. Jadi gue menyarangkan ciuman lagi ke bibir Arie untuk membungkam mulutnya.

Kali ini Arie nampaknya ingin menghindari ciuman gue. Tapi gue buru-buru menahan wajahnya dengan siku agar tetap lurus menghadap gue.

Sumpah! Gue benci melakukannya! Tapi saat wajah Ayah membayang di benak gue, gue terus memaksakan mencium Arie. Bahkan lebih dari itu. Gue menyusupkan tangan gue ke dalam kaos oblongnya. Menyusuri perut dan naik ke dadanya. Mencari dua titik kecokelatan pada dadanya.

Rabaan gue mengenai nipple sebalah kanannya. Gue langsung membelai titik kecil itu. Menekan, menarik dan membuat lingkaran di atas puncak nipple-nya dengan permukaan telunjuk gue.

Arie menatap gue nanar. Pupilnya membesar. Entah apa artinya. Mungkin ia terkejut dengan tindakan gue. Gue nggak perduli! Gue semakin liar dalam kewarasan gue. Ya. Gue sepenuhnya sadar atas segala tindakan gue ke Arie saat ini. Gue nggak lagi dirasuki gairah, tapi dikontrol amarah. Gue ngelakuin ini tanpa rasa!

Tanpa rasa. Ya, mungkin kedengarannya sangat berlebihan. Tapi itulah yang gue alami saat ini. Gue sendiri bingung. Kenapa gue nggak ngerasain gejolak nafsu seperti saat gue ngelakuinnya sama Ayah (gue masih berat banget buat manggil dia Ayah saking marahnya).

Oke, mungkin karena Arie masih bersikap pasif. Gue mungkin butuh sedikit rangsangan. Maka gue mengangkat kaos gue sampai ke ketiak. Lalu gue beringsut naik dan meletakkan nipple gue tepat di atas mulut Arie. Gue menekan kepala Arie ke arah gue, sehingga bibirnya menyentuh nipple gue.

Arie saat itu juga mengerti keinginan gue. Meskipun mulanya ragu-ragu, ia tetap membawa nipple gue ke mulutnya. Membuka bibirnya sedikit dan menghisap pelan. Gue menekan dada ke arahnya lebih kuat. Ya Tuhan, please, buat gue terangsang.

Mulut Arie terus bermain dengan dada gue, sementara tangannya menjalar ke punggung telanjang gue. Membelai tengkuk dan turun ke panggul melewati tulang belakang gue. Gue mendesah. Oke, gue mulai menikmati sentuhannya.

Gue minta waktu sejenak, melerai hisapan Arie sekedar untuk melepas baju. Arie juga mengikuti gue. Ia melepas kaos abu-abu yang ia kenakan. Setelah itu gue kembali menunduk untuk menyabut bibir Arie yang setengah terbuka.

Gue bisa merasakan Arie makin bernafsu. Terlihat dari gerakannya yang semakin intens. Memeluk gue dengan erat. Sesekali ia meremas pinggang dan punggung gue.

Ini rasanya seperti mimpi. Maksud gue, hampir tiga tahun gue memimpikan bisa bercinta dengan sahabat gue ini, dan sekarang terwujud! Dan gue masih nggak percaya. Hanya saja rasanya tak seperti yang gue bayangkan. Bukan gairah yang menggebu-gebu seperti yang selama ini ada dalam khayalan liar gue, tapi sepenuhnya hanya dorongan emosi.

Jujur, gue nggak menikmatinya. Pun saat Arie menghisap milik gue, sensasinya tak bisa menyamai rasa nikmat saat gue berciuman sama Ayah.

Ah, Ayah… Seandainya gue melakoni semua ini bareng elu…

Gue lemas. Semakin tak bersemangat melanjutkan kegilaan ini. Gue nggak bisa melakukan ini bareng orang lain. Hisapan kasar dan tak terukur Arie makin bikin gue nggak nyaman. Entah apakah memang begitu rasanya gue nggak tahu. Tapi jika melihat blue film ataupun pendeskripsian dalam cerita dewasa, sepertinya rasanya luar biasa nikmatnya. Namun kenapa gue nggak mendapatkannya? Apa karena pengaruh gue melakukannya bukan dengan orang yang gue inginkan?

“Udah, Bray. Biar gue lagi…” kata gue.

Arie melepas tentara kecil gue dari mulutnya.
Arie tersenyum dan memelorotkan celana bola beserta dalamannya. Miliknya melompat bebas. Nampak sangat keras.

Nggak sebesar yang ada dalam khayalan gue sebelumnya. Masih gedean punya gue.

Arie bangun dan berdiri dengan lututnya di hadapan gue. Memegang pangkal tentara kecilnya yang siap tempur.

Refleks gue mengelap jidat yang tiba-tiba berkeringat.

Oh, Tuhan, apa gue harus melakukannya? Sumpah, gue ragu!!!

Arie menautkan alisnya, menatap gue tak sabaran sambil menggoyang-goyangkan miliknya.

Ayah…, panggil hati kecil gue tiba-tiba.

God, gue nggak mau ngelakuinnya. Gue nggak mau.

Tiba-tiba Arie membungkuk dan memegang pundak gue.

“Gue tahu apa yang ada di hati elu…” bisiknya.

Gue mendongak menatap matanya. Gue menangkap kekecewaan di sana.

“Apa?!” tanya gue.

“Kenapa elu ngelakuin ini sama gue? Ada Mister Jo—”

Gue mendorong Arie hingga tertidur. “Kita sama-sama suka!” kata gue sambil mundur sampai ke selangkangannya. Melahap miliknya sambil berusaha mengosongkan pikiran.

Nggak ada yang perlu gue pikirkan. Kalo pun gue mau berpikir, pikirkan saja rasa cinta gue ke Arie dulu. Bangkitkan semua kenangan itu. Bangkitkan gairah-gairah terpendam gue di saat-saat gue begitu mengharapkan dia. Lampiaskan sekarang! Realisasikan sekarang! Lakukan! Lakukan!!! Ceracau gue dalam hati.

Arie mendesah. Matanya merem-melek. Tubuhnya mengejang. Kelihatannya ia benar-benar menikmati hisapan gue. Mendengar desahan putus-putusnya, hati gue semakin kacau dan semakin memikirkan Ayah.

Seandainya yang mendesah ini Ayah…

“Aww… Yo, Yoo…” desis Arie lirih sambil menahan laju kepala gue.

Gue melepaskan miliknya dan terengah.

“Pelan-pelan, Yo. Adek gue kena gigi elu…”

“Oh…? Maaf, Rie…” gue kembali meraih milik Arie. Menghisap miliknya hati-hati. Terukur dengan kecepatan tetap.

Arie kembali terdengar mendesah. Duduk dengan lutut dan satu tangannya bertumpu pada ranjang di samping belakang pinggang kanannya.

“Aoww..! Yo… Gigi elu…!”

Kecamuk di dada gue terhempas ke dasar. Sekarang gue kembali fokus ke Arie. Apa lagi yang udah gue lakukan?

“Iya, Rie?” gue gak dengar jelas apa yang tadi ia katakan.

“Gigi elu…”

Gigi lagi?

“Oh, maaf. Gue kelewat semangat,” gue kasih alasan. “Oke kali ini nggak gitu lagi. Elu ingetin gue kalo gerakan gue mulai kacau…” sambung gue sambil membungkus badan tentara kecilnya dengan tangan gue.

Tiba-tiba Arie memegang pergelangan tangan gue yang sedang berada di atas tentara kecilnya itu.

Gue mendongak.

“Cukup, Yo…” kata Arie lembut dan serak.

“Kenapa? Belum selesai.”

“Feel gue dan elu beda. Pikiran elu nggak di sini…”

“Eng, nggak. Gue cuma gugup. Ini pertama kali,” kilah gue sambil melingkarkan lengan di sekeliling dada Arie, mencoba membangun keintiman lagi.

“Pertama kali? Elu sama Mister Jo selama ini nggak pernah?”

“M-Maksud gue sama orang selain dia…”

Arie menyipitkan matanya. “Kenapa?”

“Kenapa apanya?” gue mulai kesal sama pertanyaannya.

“Kenapa elu ngelakuin ini dengan orang lain? Ada apa dengan kalian???”

“Ah! Kenapa sih elu, Bray?! Elu suka kan sama gue??? Udah, elu nikmati aja!” gue menghisap kepala tentara kecilnya.

“Jujur gue suka. Taiklah kalo gue nggak suka. Cuma gue ngerasain kok kalo kita nggak satu gairah. Elu dari tadi lebih banyak nggak fokusnya. Perhatian dan jiwa elu nggak di atas ranjang ini…”

Gue diam.

“Udah. Nggak usah dilanjutin…” Arie beringsut menjauh dan memungut celananya.

“Plis, Rie, jangan pake pakaian dulu…”

Arie menatap gue manyun.

“Pliiis. Gue pengen tidur sama elu.”

“Tidur?”

“Ya, tidur. Tidur beneran.”

“Buat apa?” Arie mengambil ancang-ancang ingin mengenakan celananya lagi.

“Peluk gue, Bray. Peluk gue…” kali ini benar-benar suara hati gue.

Arie menatap gue dari tempatnya.

Gue menunduk dan merasa sangat lemah di depannya.

Arie akhirnya urung mengenakan celana dan naik ke tempat tidur. Tapi ia hanya duduk di samping gue dalam diam.

Gue meliriknya sejenak. Rupanya ia juga lagi memperhatikan gue sehingga tatapan kami bertemu. Tanpa pikir panjang gue langsung menubruk dadanya. Gue jadi melankolis seketika. Gue rasanya pengen nangis.

Gue merasakan tangan Arie di bahu gue. Itu cukup menahan air mata gue yang hampir saja jatuh.

“Yo, elu kenapa?”

Gue geleng kepala.

Arie meluk bahu gue. Gue menekan jidat gue ke dadanya lebih dalam.

“Rie, gue pengen tidur…” kata gue.

“Oke…” Arie melerai pelukannya.

Gue menegakkan kepala dan beringsut ke samping tubuhnya. Lantas berbaring dan menarik selimut sampai ke dada.

Arie duduk mematung di tempatnya.

Gue menghela nafas dan menegakkan kepala dan mendekat ke arahnya. Gue memeluk pinggang telanjangnya. Arie pun langsung mengawasi gerakan gue.

Entah berapa lama gue berbaring sambil memeluk Arie yang tidak berucap sepatah katapun. Dalam keheningan yang tercipta, gue berusaha menenangkan pikiran gue yang kalut. Tapi entah dengan Arie. Gue nggak tahu apa yang ada dalam pikirannya di saat dia membisu seperti itu. Gue juga enggan mengusik kebisuannya. Biar dia tenggelam dalam pikirannya. Toh gue juga lagi nggak mau bercakap-cakap saat ini. Gue nyaman dalam keheningan ini. Gue nyaman memeluk pinggangnya. Ini suasana paling menenangkan yang gue rasakan sejak dua hari lalu dan gue pengen tidur dalam suasana seperti ini…

***

I Am A Slave for You Sekuel: I’ll Volunteer

Masih ingat dengan kisah Wahyu? Cowok apes yang dilecehkan cowok rada psycho bernama Rizky? Hmmm, kira-kira bagaimana ya kabar si Wahyu sekarang? Kita intip yuk!

Bagi yang belum baca atau udah lupa monggo dicek di:

Slave Part One|Slave Part two

Sekuel I’am A Slave for You:

I’LL VOLUNTEER.

Wahyu merupakan sosok pribadi yang kuat. Tak mudah trauma dengan kejadian buruk yang pernah dialaminya. Meskipun begitu, bukan berarti ia bisa melupakan begitu saja apa yang sudah menimpanya. Ia tetap waspada akan setiap langkahnya. Terlebih lagi saat hatinya terus mengingatkan bahwa ia masih berutang satu janji konyol dengan cowok psycho itu. Janji yang tak akan pernah dipenuhi oleh Wahyu sampai kapanpun. Menyerahkan tubuhnya untuk diperlakukan sesukanya lagi sama cowok gila itu? Yang benar saja! Itu sama saja ia ikut-ikutan gila! Tapi tentu saja, sekonyol apapun hutang satu ronde itu, tapi Wahyu yakin bagi si Rizky, itu tidak main-main. Cowok itu menganggapnya serius dan di luar sana sedang mencari cara untuk menjeratnya lagi. Oleh karena itu, ia selalu wanti-wanti untuk tidak pergi ke area sekolahan Regi, awal di mana petaka itu terjadi. Ia juga jarang keluar rumah, kecuali ada keperluan mendesak. Pokoknya sebisa mungkin tetap stay di rumah.

Oh, iya, sedikit mengenai Regi, sejujurnya Wahyu sangat marah dan kesal sama sohibnya itu, terutama di minggu pertama pasca ia disekap di rumah Rizky. Bisa dikatakan Regilah yang menjadi biang kerok kejadian buruk yang menimpa dirinya. Gara-gara ia menjemput Regi di sekolahnya, ia jadi bertemu sama makhluk terkutuk macam Rizky. Karena ajakan Regi juga akhirnya ia dijerat sama Rizky dan “menginap” bersama cowok itu sampai pagi. Untungnya pikiran jernihnya masih bisa menguasai otaknya. Ia sadar semua ini bukan salah siapa-siapa, apalagi Regi. Temannya itu tak tahu apa-apa. Jika ada orang yang patut disalahkan, maka dialah Rizky. Yang begitu kejamnya menganiaya orang tak bersalah secara seksual.

Wahyu sadar, ini semua murni apes yang harus ia tanggung, sebagai lika-liku hidup yang siapapun tak ingin mengalaminya, namun mesti ia tanggung. Wahyu tak mau karena aib ini, ia justru terpuruk. Ia malah ingin lebih tegar lagi dan bisa hidup lebih baik tanpa memperdulikan apa yang sudah ia alami. Maka dari itu, ia berhenti menyalahkan Regi. Selain itu ia juga mencoba untuk menerima keadaan dirinya kini.

Dua minggu setelah peristiwa itu, ia sempat ingin menceritakan semuanya ke sahabatnya itu. Tapi niat itu diurungkannya. Entah kenapa, hatinya masih berat untuk membeberkan rahasia itu ke orang lain. Ia belum bisa percaya pada siapapun kecuali hatinya sendiri. Ia takut orang lain tak bisa menjaga mulutnya dan jika itu terjadi habislah dia. Karena itu sampai saat ini menurut Wahyu, tak ada yang tahu soal rahasia kelam itu kecuali dia, Rizky dan Tuhan yang tahu.

***

Tiba-tiba di suatu sore…

Sederet nomor tak dikenal: elu tahu sudah 1 bulan lebih terlewat? Gue gak bisa nunggu lebih lama!

Wahyu mengerutkan keningnya, tak paham apa yang dimaksudkan si pengirim pesan.

Salah kirim kali, Wahyu memilih mengacuhkannya.

Sederet nomor tak dikenal:Wahyu, elu jangan mangkir dari hutang satu ronde kita.

Pesan itu datang lagi. Dan kali ini berhasil membuat Wahyu menelan ludah.

Rizky?!

Dari mana cowok gila ini mendapatkan nomor hape-nya?

Sederet nomor tak dikenal: elu tahu gue bukan orang yang suka basa basi. Elu mo bohongi gue? Nggak ada tempat untuk pembohong buat gue!

Terserah apa kata elu dah! Emang elu pikir gue harus datang lagi menyerahkan diri gitu? Secara gue masih waras, nggak mungkin gue ngelakuin itu! Desis Wahyu dalam hati.

Sederet nomor tak dikenal: ada harga yang harus elu bayar karena kebohongan elu! Gimana kalo teman karib elu, REGI, yang jadi gantinya?

Regi? Jadi penggantinya? Bakal dijadikan korban kayak gue? Mata Wahyu membelalak.

Wahyu tercenung dengan tenggorokan tercekat.

Ia sadar cowok macam Rizky nggak main-main. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Diam saja dan membiarkan Regi jadi korban seperti dirinya?

“Kalo Regi jadi pengganti, setidaknya gue punya teman senasib…” pikiran kejamnya melintas.

“Tapi masa sih gue membiarkan sesuatu yang buruk menimpa dia? Sahabat macam apa gue? Apalagi jika hal yang buruk itu karena gue…” pikiran jernihnya mengingatkan.

“Terus gue harus menghentikan cowok itu, gitu? Datang dan menyerahkan diri supaya Regi nggak diapa-apain?” gugat hati kecilnya.

“Kalo gue ketemu dia lagi, akh…” Wahyu menghentikan ucapannya. Bayangan buruk menari-nari di pelupuk matanya. Penyiksaan yang lebih hebat lagi mungkin akan ia terima. Rizky pasti sangat geram padanya.

Sederet nomor tak dikenal: semuanya di tangan elu.

Wahyu menghela nafasnya. Ia bingung. Dia bukan superhero yang rela mengorbankan diri buat orang lain, tapi ia juga bukan manusia tanpa hati yang bisa diam aja melihat temannya mengalami nasib buruk.

Mondar-mandir di kamar, akhirnya Wahyu memutuskan untuk membalas pesan tersebut.

Wahyu: jangan apa2in teman gue itu.
Sederet nomer tak dikenal: ha! Akhirnya elu balas juga. Semua di tangan elu.

Wahyu: gue bakal datang. Tp gue punya syarat.

Setelah Wahyu mengirim pesan itu, nomor tersebut meneleponnya.

“…” Wahyu mengangkat panggilan tanpa berucap sepatah katapun.

“Halo, my toy, syarat apa, eh?” suara di seberang terdengar renyah dan santai.

“Gue pengen ngomong sama Regi.”

“Regi? Dia gak ada di sini.”

Wahyu mengerutkan keningnya.

“Gue belum ngapa-ngapain dia, jadi elu tenang aja. Dia masih aman di rumahnya, atau di mana pun itu gue nggak peduli.”

Regi nggak ada di sana? Jadi ngapain gue ke situ, desis Wahyu dalam hati.

“Tapi jangan karena Regi nggak ada di sini, jadi elu sok pintar. Menjerat Regi ke sini sesuatu yang mudah buat gue. Elu bakal bayar dengan harga yang mahal kalo elu coba-coba bertindak bodoh, apalagi mangkir dari janji satu ronde kita dan memperingatkan dia… Elu tahu gimana gue kan???”

Rahang Wahyu mengeras.

“Gue sengaja gak nyekap tuh orang, justru demi kebaikan elu. Apa elu mau dia tahu kalo elu sudah melewati malam panjang bareng gue…???”

“Heh, elu emang berhati malaikat ya?” cemooh Wahyu. “Nggak usah basa-basi. Gue langsung aja dengan syarat gue. Pertama, elu jangan melibatkan orang-orang di sekitar gue dalam melampiaskan nafsu bejat elu itu. Kedua, jangan kasih tahu ke siapa-siapa tentang kita, dan ketiga, gue bakal datang asal elu nggak memperlakukan gue dengan kasar…”

“Well, cuma itu syaratnya? Mudah. Gue pikir elu mo minta imbalan yang gede…”

“Jadi elu setuju?”

“Ya, yaaa…”

“Gue serius. Gue nggak mau dikasarin dan dipaksa…”

“Oke. Itu masalah gampang. Kita bisa buat kesepakatan, okey? Sebaiknya elu ke sini sekarang…”

“Ya!”

“Gue di depan rumah elu. Lihat ke jendela!”

“Apa?!” Wahyu langsung melongok ke arah jendela. Sebuah mobil hitam mengkilat terparkir di luar pagar. Sesosok cowok berjaket kulit melambai ke arahnya. Sementara satu tangannya menggenggam hape yang ditempelkan di telinganya.

Wahyu meringis. “Dasar cowok gila…”

***

“Masuk…!” Rizky membukakan pintu mobil untuknya.

Wahyu mendelik dan masuk dengan enggan.

Rizky tersenyum binal lalu menutup pintu mobil, jalan memutari kepala mobilnya dan masuk dari pintu kanan kemudian duduk di belakang kemudi.

“Hari ini sangat cerah. Gimana kabar elu?”

“Amat sangat buruk!” jawab Wahyu tanpa basa basi.

“Oh ya?” Rizky pura-pura terkejut. “Tenang saja. Sebentar lagi gue bakal buat hari elu kembali indah,” sambungnya lagi-lagi dengan senyuman binalnya.

Wahyu membuang pandangan ke luar mobil. Inikah takdir gue? Hatinya menggungat.

Mereka pun sampai di rumah Rizky yang mewah dan megah. Suasana hati Wahyu semakin suram. Rumah ini…, Wahyu tak meneruskan kata hatinya.

“Masuk, yuk!” ajak Rizky. “Nggak perlu sungkan. Bukannya elu udah pernah ke sini, eh?”

Wahyu menelan ludah. Rizky sengaja mengingatkannya tentang malam itu.

“Ayo!” ajak Rizky lagi. Wahyu pun mensejajari langkah Rizky dengan berani. Ia tak ingin menunjukkan ketertekananya di depan cowok brengsek itu.

Rizky tersenyum. “Mau minum?”

“Boleh.”

“Apa?”

“Terserah, asal yang dingin.”

“Oke!” Rizky berjalan gontai menuju dapur. Sementara Wahyu tanpa dipersilahkan langsung duduk ke sofa.

Tak berapa lama kemudian, Rizky datang dengan dua gelas minuman di tangannya.

“Rumah sebesar ini nggak ada pembantu?” tanya Wahyu.

“Ada. Tapi gue pengen ngelayanin elu…”

Wahyu mengangkat sudut kiri atas tangkup bibirnya.

“Oke, sekarang ayo kita bicara!” Rizky merebahkan punggungnya di sandaran sofa.

“Di sini aman?” Wahyu melirik sekeliling.

Rizky terkekeh. “Amaaaannn! Mo maen di sini juga gak akan ada yang mergoki! Jadi elu ngomong aja…”

Wahyu kembali melirik sekeliling, tak bisa mempercayai omongan Rizky begitu aja.

“Hey! Di sini cuma ada satpam, tukang kebun merangkap sopir dan pembantu. Satpam di posnya, tukang kebun di kamarnya dan pembantu di belakang!” terang Rizky.

“Di belakang? Bukan berarti ia nggak bisa dengarkan omongan kit—”

“Okey! Ayo!” Rizky bangkit dan menyambar lengan Wahyu dengan gusar. Ia membawa cowok itu menaiki tiat tangga menuju kamarnya.

Wahyu sedikit panik. Ia belum siap (dan tak pernah siap) jika Rizky ingin menggaulinya…

“Batas keras! Gue bilang gue gak mau dipaksa!” seru Wahyu.

Rizky berhenti dan melepaskan cengkeramannya di lengan Wahyu.

“Elu bikin gue kesal.”

“Sorry…”

“Batas keras? Lanjutkan…” Rizky bersandar di pagar pembatas tangga.

“Gue gak mau elu memperlakukan gue kayak malam itu. Mohon ngerti gue. Gue belum pernah berhubungan badan dan itu nggak manusiawi…”

Rizky diam saja.

“Jangan paksa gue melayani elu terus menerus. Jangan masukin gue secara paksa, jangan suruh gue minum cairan elu…”

“Baiklah!”

Wahyu menunduk.

“Kalo gitu ayo kita mulai sekarang!”

“Se-sekarang?”

“Yup. Sekarang saatnya gue nuntut hak gue!”

Wahyu mengernyitkan dahinya. Hak? Sejak kapan dia berhak atas gue, dan sejak kapan gue punya kewajiban sama dia??? Nggak tahu malu! Gerutu Wahyu.

***

“Beruntung banget orang yang punya teman kayak elu,” komentar Rizky sambil duduk di bibir ranjang dengan kedua lengan bertumpu di atas ranjang.

Wahyu cuma mangut-mangut.

“Tapi gue saranin jangan terlalu baik sama orang. Apa elu udah mikir kalo Regi yang berada di posisi elu, apakah dia bakal melakukan hal yang sama buat elu?”

“Dia bakal ngelakuin hal yang sama. Itulah namanya teman,” jawab Wahyu mantap.

Rizky terkekeh. Ia kemudian berjalan mendekati Wahyu.

“Gue kagum sama elu. Begitu mengagungkan persahabatan…” Rizky melingkarkan kedua lengannya di pinggang Wahyu.

“Tapi gue juga kasihan sama elu…” Rizky membelai rambut yang menutupi kening Wahyu.

“Jangan sok punya hati! Lakukan apa yang ingin elu lakuin. Gue pengen pergi!”

“Hehehe…, bukannya elu sendiri yang tadi bilang nggak mau dipaksa? Tapi, karena elu udah minta, gue siap laksanakan!” Rizky membelai bahu Wahyu.

Wahyu menghela nafas. Tubuhnya seketika kaku.

“Rileks…” kata Rizky seakan tahu apa yang cowok di depannya itu rasakan.

Wahyu mengerjapkan kelopak matanya.

Rizky merunduk sedikit dan meraup bibir Wahyu. Memagut bibir merah itu kasar.

“Lepas pakaian elu!” perintahnya sambil melepas kaus berkerahnya sendiri melewati kepala.

Wahyu melepaskan bajunya dengan enggan.

“Semuanya!” perintah Rizky lagi ketika Wahyu hanya menanggalkan atasannya saja.

Wahyu mendesah, sebagai bentuk keberatannya. Tapi ia nggak mau berkonfrontasi saat ini, sehingga ia menuruti keinginan Rizky.

Rizky terkekeh melihat ketelanjangan Wahyu. Sementara yang ditatap nampak gelisah dan tak nyaman dengan ketelanjangannya.

“Ikut gue!” Rizky melambaikan tangan ke Wahyu sembari melangkah ke ruangan yang dinamainya Ex-Room.

Wahyu memutar bola matanya.

“Elu pilih yang mana?” Rizky menunjukkan scarf dan borgol di tangannya.

Wahyu yang baru tiba di ambang pintu langsung mengernyitkan jidatnya.

Rizky mengangkat dan menggerak-gerakkan scarf di tangan kanan dan borgol di tangan kirinya.

Wahyu menunjuk tangan kanan Rizky.

“Ini? Oke!” Rizky mengalungkan scarf ke lehernya dan menaruh borgol ke atas meja.

“Come to Master!” Rizky duduk dengan santai di bibir ranjang.

Wahyu mendekat.

Rizky tersenyum.

Wahyu duduk di sebelah Rizky.

“Eh, siapa yang nyuruh duduk? Bangun!”

Wahyu mendelik dan bangun dengan cepat.

“Berdiri di depan gue!”

Wahyu maju selangkah dan bergeser ke kanan tepat di hadapan Rizky. Dadanya berdebar nggak karuan. Malu dan merasa sangat direndahkan.

Sementara Rizky lagi-lagi tersenyum sembari menyusuri tubuh Wahyu lewat matanya. Lantas ia menjulurkan lengan kanannya ke arah selangkangan Wahyu. Menggerak-gerakkan twins ball cowok itu.

Wahyu menahan nafas. Guncangan lembut pada twins ball-nya menimbulkan getaran lain. Membuat bola kembarnya itu mulai membesar.

Rizky menyadari itu. Ia sekarang meremas-remas bola kembar itu sehingga Wahyu mendesah. Tapi tiba-tiba ia menghentikan gerakannya. Wahyu langsung bereaksi, menatapnya dengan pandangan tak rela.

“Balik badan!”

Wahyu menggerak-gerakkan bibirnya. Menggerutu tak bersuara.

Plak!

“Adaw!” Wahyu berjengit saat pantatnya ditampar.

Plak!

Kali ini tamparan mendarat di pantat kanannya. Panas.

Plak!

Wahyu memejamkan matanya.

Plak!

“Batas keras!” teriak Wahyu sembari balik badan.

“Gue nggak mau disiksa.”

“Baru aja segitu…”

“Kalo gue diam aja, berapa kali lagi baru elu berhenti nampar gue?!”

“Balik badan!”

Rizky acuh.

“Balik badan! Gue nggak bakal nampar elu lagi!”

Wahyu menarik bibirnya menjadi garis geras dan kembali membelakangi Rizky. Sedetik kemudian, ia merasakan tangan Rizky menangkup kedua bongkah pantatnya. Pelan-pelan jemari cowok itu meremas bongkah pantatnya. Jujur, Wahyu menyukai gerakan lembut yang Rizky lakukan. Ia merasa diperlakukan manusiawi. Untuk beberapa saat ia melupakan bahwa ia melakukan ini dalam tekanan. Namun perasaan itu tak berlangsung lama, ketika ia merasakan Rizky mendorong masuk jarinya ke dalam dirinya secara tiba-tiba. Terang saja tubuhnya langsung menegang. Ia juga menjerit.

“Elu melanggar lagi!”

“Argh!” Rizky mencabut jarinya dengan kasar.

Wahyu kembali menjerit. “Cukup! Gue nggak mau lagi!”

“Elu tuh terlalu banyak protes! Bisa nggak elu diam?”

“Gimana gue nggak protes kalo—” ucapannya terhenti saat kedua lengannya ditarik ke belakang dengan keras.

“Oke, silahkan ngomong!” ia mendengar nafas Rizky memburu.

“Lepasin gue!” Wahyu meronta sambil menahan sakit karena tangannya yang dipelintir.

Rizky tak perduli. Ia justru menurunkan celananya sampai ke pangkal paha. Setelah itu membungkukkan tubuh Wahyu secara paksa, sehingga pantat cowok itu mengarah ke selangkangannya. Tanpa babibu, ia langsung melesakkan juniornya ke dalam diri Wahyu.

“Aaaarrgh!” Wahyu menjerit saat junior Rizky menerobos dirinya dengan paksa.

Rizky mendorong miliknya sedalam mungkin sehingga tubuh Wahyu mengeras. Perlahan ia menarik miliknya keluar, lalu menekannya ke dalam lagi tanpa memperdulikan jeritan Wahyu. Ia sangat kesal dengan ocehan dan komplen cowok ini. Jadi ia masa bodoh dengan istilah batas keras dari Wahyu.

“G-gue–e lepass-siiinn…” Wahyu meronta.

“Kalo elu meronta terus, yang ada elu bakal capek!” Rizky menyetubuhi Wahyu dengan keras dan bertenaga. Juniornya keluar masuk dengan cepat, sehingga terdengar kecipak saat tubuhnya bergesekan dengan pantat Wahyu.

Tubuh Wahyu bergetar hebat. Bergerak seiring hentakan demi hentakan yang dilancarkan Rizky. Ia mencoba berdiri untuk menahan laju junior Rizky. Tapi lengan cowok itu menekan pinggangnya dengan kuat.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pantat kanannya. Wahyu menggeram rendah.

Rizky terkekeh mendengar geraman rendah itu. Ia makin bernafsu menyetubuhi Wahyu. Ia mendorong miliknya kuat ke Wahyu lantas membenamkannya sebentar di sana. Menikmati sensasi hangat sembari melengkungkan tubuhnya, menempel pada punggung Wahyu dan mengulum telinga cowok itu lembut.

“Menggeram lagi. Aku suka mendengarnya…” pinta Rizky.

Wahyu mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Ayo…!” pinta Rizky sambil menekan miliknya lebih dalam lagi.

“Akhh…” Wahyu tak kuasa mendesah saat milik Rizky menyentuh satu titik—titik rangsangnya mungkin—yang mengirimkan sensasi nikmat ke tubuhnya.

Rizky terkekeh. Ia langsung mengangkap bibir Wahyu yang terbuka. Melumatnya dan menggigit tangkup bibir merah itu.

Wahyu goyah. Lututnya lemas dan serasa tak sanggup menopang dirinya. Ia ingin berbaring. Gempuran Rizky membuatnya limbung.

“Gguee… Lepaasss…!” desisnya.

“Apa?” Rizky menarik miliknya keluar.

Kesempatan itu langsung digunakan Wahyu untuk berdiri, namun sayangnya gerakannya terlambat sedetik. Sebab milik Rizky sudah meluncur masuk lagi ke dalam liangnya.

Wahyu kembali tertunduk sambil mendesah pelan.

Kali ini gerakan Rizky lebih cepat dan brutal. Menghentak dengan kecepatan penuh. Terus merangsek, seakan ingin menerobos sampai ke usus. Ia menarik miliknya sedikit keluar sebagai awalan untuk menghujam lebih dalam lagi.

Wahyu menggigit bibirnya. Berusaha bertahan agar tidak terjerembab ke lantai. Berpegangan pada kedua lututnya yang lemas. Tapi akhirnya tangannya tergelincir jatuh. Rizky buru-buru menangkap pinggang Wahyu dan membantu cowok itu berdiri.

“Rapuh banget sih!” ejek Rizky. Ia kembali menampar pantat Wahyu keras. Lalu memposisikan tubuh cowok itu seperti semula untuk dimasukinya lagi.

Ia baru saja menekan kepala juniornya ke dalam saat telinganya menangkap isak pelan. Ia mengurungkan niatannya dan menarik wajah Wahyu ke arahnya.

Cowok itu menangis. Air mata menetes di kedua pipinya.

“Kok elu nangis sih???”

Wahyu tak menjawab.

“Oke, istirahat sebentar…” Rizky mundur ke belakang sambil menggoyang-goyangkan junior-nya yang masih berdiri.

“Kenapa elu berhenti?! Terus aja!!!” kata Wahyu sambil menahan isak tangisnya.

Rizky hanya senyam-senyum aja.

“Puas elu kan kalo bisa nindas orang?!”

Rizky bangkit dan memegang pundak Wahyu.

“Kan elu sendiri yang bersedia—”

“Tapi bukan berarti elu bisa memperlakukan gue seenaknya. Syarat gue—”

“Ya! Ya! Ya! Elu dari tadi ngomongin syarat mulu. Makanya gue kesal…” terang Rizky sambil mengikuti garis tubuh Wahyu dengan jemarinya.

“Sekarang elu istirahat dulu…”

“Gue nggak mau lagi!”

“Kita belum selesai.”

“Gue mohon, pliiisss. Gue benar-benar mohon sama elu. Gue nggak mau lagi…” Wahyu mengiba.

“Gue janji nggak bakal sekeras tadi.”

“Tetap gue nggak mau…”

Rizky membalas penolakan itu dengan mengangkat tubuh Wahyu dan membaringkannya ke ranjang.

“Pliiissss…” nada suara Wahyu terdengar putus asa.

Rizky tersenyum. Tanpa suara ia membawa bibirnya ke atas nipple Wahyu. Membasahi titik itu dengan ludahnya dan menghisapnya lembut.

Wahyu mengerang. Terlebih saat Rizky menjatuhkan satu tangannya ke atas nipple-nya yang lain. Memainkannya dengan gerakan lambat.

Sudut bibir Rizky tersenyum saat melihat reaksi Wahyu. Ia menghisap nipple cowok itu makin kuat. Dan perut Wahyu mengempis.

“Elu suka?”

Wahyu tergagap.

Rizky terkekeh melihat mimik wajah Wahyu. Ia tahu Wahyu menyukai permainannya, tapi cowok itu malu untuk mengakuinya.

“Baiklah. Bagaimana dengan yang ini?” Rizky merosot turun dan berhenti tepat di bawah pusar Wahyu. Ia menegakkan batang kemaluan cowok itu dengan mulutnya. Dibawanya milik Wahyu ke dalam mulutnya.

Pertama-tama ia menyelubungi kepala junior Wahyu dengan bibirnya. Beberapa kali ia membasahi bagian itu dengan lidahnya. Sesekali ia melakukan gerakan menghisap. Membuat Wahyu terpaksa melengkungkan pinggangnya untuk membendung sensasi yang ada.

“Gimana kalo kita masukin semuanya, eh?” goda Rizky sambil menenggelamkan milik Wahyu ke dalam mulutnya dengan dramatis.

Wahyu mendesah seiring masuknya sedikit demi sedikit kemaluannya ke dalam rongga mulut Rizky.

Basah. Ia merasakan sekujur tubuhnya basah. Darahnya mengalir deras. Rasanya sungguh luar biasa. Pikirannya mengabur seiring dengan gerakan mulut Rizky pada juniornya.

Wahyu menggeliat, mencengkeram seprai dengan kuat. Ia hampir mencapai tepian orgasme. Ia tak tahan menerima lebih banyak lagi, tapi ia juga tak ingin Rizky berhenti. Ia tak rela barang sedetikpun cowok itu melepaskan miliknya. Ia menjatuhkan jemarinya ke atas rambut Rizky dan menekan kepala cowok itu lebih dalam ke arah selangkangannya.

Rizky tersentak. Pikirannya berputar cepat, merespon gerakan Wahyu barusan. Serta merta ia melepaskan milik Wahyu dan mengangkat kepalanya.

Wahyu ikutan tersentak menerima reaksi Rizky yang tiba-tiba. Terlebih lagi saat mendengar nafas cowok itu naik turun dengan berat. Bibir Rizky juga bergetar dengan rahang mengeras.

Rizky perlahan merebahkan tubuhnya ke samping Wahyu. Ia memejamkan mata. Deru nafasnya pun mulai melambat.

Wahyu yang tak mengerti apa yang sedang terjadi terus mengamati Rizky. Ia waspada jika sewaktu-waktu cowok itu bertindak di luar kewajaran.

“Elu boleh pulang,” kata Rizky tiba-tiba.

Wahyu mengerutkan keningnya.

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba—”

“Gue pengen istirahat. Elu juga kan?”

“Elu baik-baik aja kan?”

“Cepat pergi sebelum gue berubah pikiran!!!” hardik Rizky.

Wahyu melompat bangun. Ia memunguti pakaiannya yang berserakan dan langsung menuju kamar mandi. Membasuh mukanya dan menyisir rambutnya yang berantakan. Setelah itu mengenakan kembali pakaiannya.

Saat ia keluar dari kamar mandi, ia masih menemui Rizky dalam posisi yang sama. Rebah terlentang dengan pandangan menerawang.

“Gue mau pulang. Elu benaran nggak apa-apa?” tanya Wahyu sekali lagi dari ambang pintu ex-room.

Rizky menoleh ke arahnya.

“Oke, gue pulang…” pamit Wahyu.

“Kenapa elu nanya keadaan gue?” tanya Rizky.

“Maaf, nggak apa-apa,” Wahyu bermaksud melangkah mundur.

“Kenapa?” tanya Rizky lagi.

Wahyu berhenti dan menatap Rizky. “Karena elu tiba-tiba bersikap aneh…” terangnya.

“Gue baik-baik aja. Gue cuma… Capek!”

“Ohhh… Iya. Gue baru tahu elu kenal rasa capek juga,” kata Wahyu sinis.

Rizky tersenyum tipis.

Wahyu bergerak mundur dari ambang pintu.

“Wahyu! Elu mo nemenin gue?”

Wahyu mengernyitkan dahinya.

“Kalo elu mau. Gue nggak bakal minta elu melayani gue. Cuma nemenin gue istirahat…”

Wahyu memainkan sudut bibirnya. Mencerna ucapan Rizky barusan.

“Kalo elu nggak keberatan. Tapi kalo elu mo pulang, juga nggak apa-apa kok. Maaf gue nggak bisa anter…”

Wahyu maju selangkah, tepat di ambang pintu. Hatinya tiba-tiba tergerak mendengar ucapan lembut dan sopan Rizky barusan. Wajah cowok itu nampak lembut dan berbeda dari biasanya.

“Elu sakit?” Wahyu berjalan menghampiri Rizky.

Rizky geleng kepala.

“Elu nampak lemah…”

“Oh ya?” Rizky mengangkat kedua alisnya dengan congkak. Tapi Wahyu bisa merasakan itu dipaksakan.

Wahyu menyentuh kening Rizky. “Nggak panas…”

“Gue emang nggak sakit kok…”

“Terus?”

“Gue cuma capek. Gue pengen tidur. Elu mo nemenin gue tidur?”

Wahyu tak segera menjawab. Melainkan meneliti Rizky dari ujung rambut sampai ujung kaki berulang-ulang.

“Tenang. No sex scene…” kata Rizky meyakinkan. “Kalo elu mau, ayo kita pindah ke kamar. Kita bisa nonton teve di sana,” Rizky bangkit dan berjalan meninggalkan Wahyu yang masih berdiri di pinggir ranjang.

Wahyu menghela nafas sejenak lantas mengikuti Rizky keluar ruangan kecil itu.

Rizky nampak menghempaskan diri ke ranjang. Ia berbaring terlentang di tengah-tengah ranjang dengan santai meskipun dalam keadaan telanjang.

“Sebaiknya elu pake pakaian dulu…” saran Wahyu.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa,” jawab Wahyu sambil duduk di kursi belajar.

“Kok duduk di sana? Di sini aja!” Rizky menepuk permukaan ranjang di samping tubuhnya.

Wahyu bangkit.

“Kalo mo nonton, itu remot-nya di sebelah teve,” terang Rizky.

Wahyu yang bermaksud ke ranjang langsung berbelok ke arah teve yang berada tepat di depan ranjang. Sekalian saja ia menyalakan teve berukuran jumbo tersebut. Setelah itu ia duduk di samping Rizky.

“Kalo elu mo nonton film, pilih aja DVD-nya di sana,” kasih tahu Rizky sambil mengarahkan telunjuk ke lemari kecil di samping teve.

“Ya.”

“Gue mo tidur,” Rizky menarik selimut menutupi bahunya.

“Oke!”

“Kalo elu mo pulang, jangan lupa pintunya dikunci dari luar. Terus kuncinya masukin lagi lewat bawah.”

“Heeh.”

Rizky membungkus tubuhnya dengan selimut sampai ke kepala, berdehem kecil kemudian hening.

Setelah ditinggal Rizky tidur, suasana rumah semakin bertambah hening. Cuma hanya suara teve yang terdengar.

Cukup lama ia menonton acara teve dengan berganti-ganti channel, sampai bosan melandanya. Ia pun memutuskan untuk keluar kamar. Berkeliling ruangan rumah besar ini sepertinya cukup menarik.

Perjalannya dimulai dengan melintasi ruangan kecil yang hanya bersisi satu set sofa dan kursi santai, sebelum akhirnya berbelok menuruni tangga yang lebar, megah dan kokoh. Setelah kakinya mencapai lantai dasar, ia berjalan lurus, melintasi ruangan luas dengan berbagai macam benda antik berupa patung dan guci. Sementara di dinding dihiasi ornamen dan lukisan-lukisan beraliran surealis.

Anehnya, tak ada satu hiasan yang berupa foto di sepanjang ruangan yang ia lewati. Padahal Wahyu ingin sekali melihat wujud orang tua dan keluarga Rizky. Atau barangkali potret keluarga ini dipajang di ruangan lain? Mungkin.

Ada pertanyaan lain yang mengusik benak Wahyu. Kemanakah orang tua Rizky? Kok mereka nggak pernah kelihatan ke sini? Terus saudara-saudaranya juga nggak ada. Apa mungkin dia anak semata wayang? Ia sama sekali tak mengenal latar belakang cowok berbahaya ini. Apakah keluarganya tahu tentang sepak terjang si Rizky yang kriminal ini?

Gue bakal tanya itu nanti pas dia bangun, kata Wahyu dalam hati.

Setelah berkeliling di beberapa ruangan rumah, Wahyu memutuskan untuk kembali ke kamar. Rasanya sedikit lancang jika ia menelisik seluk beluk rumah ini tanpa sepengatahuan pemiliknya.

Sekembalinya dari luar, Wahyu mendapati Rizky masih tidur. Hanya posisinya saja yang berubah dari terlentang sekarang dalam posisi miring dengan selimut sampai di bahu.

Wajahnya nampak tenang. Jauh dari kesan menyebalkan dan pongah seperti yang selama ini ia tampilkan. Wajahnya seakan tanpa dosa, menerbitkan senyum di bibir Wahyu.

Kenapa sih kelakuan elu nggak secakep paras elu… Desis Wahyu sambil duduk di samping Rizky.

Wahyu menghela nafas kemudian melirik jam dinding. Sudah sore sekarang. Tapi entah kenapa ia enggan rasanya untuk angkat kaki dari sini. Ia ingin menunggu sampai Rizky bangun. Ia sendiri tak mengerti dengan perasaannya. Alih-alih ingin meninggalkannya, ia justru ingin terus menatap bahkan membelai wajah yang tertidur lelap itu.

Aneh.

Elu gila?! Protes hati kecilnya.

Wahyu menghela nafas. Ia menjatuhkan kepalanya ke bantal. Menatap langit-langit dengan serentetan protes di dalam kepalanya…

To be continue…

AY: The Wildest Night Part Four & Five [End]

Chapter Four

Milik Bima belum sepenuhnya menegang, tapi hampir berdiri tegak lurus dengan tubuhnya. Dia menarik tubuhku kearahnya, mengangkat seluruh beratku dengan satu tangan. Aku duduk mengangkangi lututnya dan memegang miliknya di tanganku sekali lagi.

Dia mengulurkan tangan dan membuka laci di meja sebelah tempat tidur, merobek satu pengaman dari rentengannya dan membukanya. Aku mengambil pengaman itu darinya dan membentang di atas puncak kemaluannya, menggulung ke bawah dengan dua tangan secara bergantian. Saat sudah terpasang, dengan memegang pinggulku Bima mengangkat dan membimbingku ke arah kemaluannya. Aku memegangi miliknya dengan satu tangan dan menjajaki milikku dengan ujung kepala juniornya.

Aku menahan tubuhku di atasnya sejenak, menatap ke arahnya, mata kita bertemu. Aku bersumpah ada bunga api yang terbang di udara, meskipun hanya sesaat. Aku membenamkan diriku ke bawah dalam satu gerakan lambat, terengah-engah, mulutku gemetar saat dia meregangkan milikku lebih lebar untuk menerima dirinya. Ya Tuhan, miliknya besar. Dia mengisiku, dan membuatku meregang untuk menyesuaikannya.

Dia mengerang saat aku melingkupinya, geraman rendah seperti predator di belakang tenggorokannya, suara primitif yang membuatku jadi liar. Aku menyangga tubuhku dengan tangan di dadanya dan mulai memutar pinggulku dengan pelan, terukur tanpa tergesa-gesa, membiarkan milikku menyesuaikan ukurannya. Dia bahkan belum sepenuhnya masuk ke dalam, dan aku sudah menuju ke arah orgasme. Aku tak bisa bernapas merasakan dirinya ada di dalam diriku, dan malah bertambah buruk ketika ia membelai dadaku dengan tangannya dan melakukan sihirnya lagi, memutar- mutar dan mencubit kedua nipple-ku dengan tangannya yang besar.

“Seberapa sering kau melakukannya dengan mantanmu?” Bima bertanya, nyaris belum menggerakkan pinggulnya, belum menyodok sama sekali. “Kau masih ketat.”

Aku menarik napas untuk bicara. “Tidak tentu. Entahlah, mungkin milikmu yang terlampau besar, Tuan,” godaku.

Ia terkekeh. “Oh ya? Kuharap tidak menyakitimu…”

Aku menggeleng sembari mengangkat pinggul hingga membuatnya hampir keluar dariku, dan dia mendorong ke arahku, ingin menenggelamkan dirinya lagi. Aku mengempaskan diriku, dan kali ini aku mengambil seluruh miliknya ke dalam diriku, sampai ke dasar, mengendaskan pinggulku padanya. Aku ambruk ke atas tubuhnya, melumat bibirnya, napasku terengah, lembab keringat mulai terasa di tulang punggungku.

Api bergolak di dalam perutku, menyebar ke setiap jengkal tubuhku, merespon setiap pergerakan Bima di dalam tubuhku. Ia bergerak dan berdenyut. Setiap gerakannya mengirim ekstasi mendebarkan ke seluruh tubuhku, menyesakkan napas, mengeluarkan rintihan dari tenggorokanku. Aku menyesuaikan ritmenya, hanya sedikit bergerak masuk dan keluar, aku mencengkeram tubuhnya, lenganku di lehernya, seluruh tubuhku menempel pada tubuhnya, keringat kita bertemu dan napas kita bersatu. Bibirnya menyentuh bahuku dan jari-jarinya mencengkeram pinggul dan pahaku, berusaha mengambil kendali.

Aku merasa otot-ototnya tegang dalam sentuhanku, dan kemudian ada saat memusingkan ketika ruang merentang dan berputar dan tiba-tiba Bima sudah berada di atas tubuhku, tubuhnya berat tapi tidak menekanku, sekarang miliknya di dorong sepenuhnya tapi tidak menerjang. Mulutnya menemukan nipple-ku, dan dia menggigit tonjolan sensitif itu dengan giginya, menyebabkan lenguhan kecil dariku.

Bima bergerak makin bersemangat sekarang, menarik keluar dirinya lebih jauh dan mendorongnya kembali, dan aku mengerang menyertai setiap gerakan pinggulnya, setiap dorongan nikmat darinya. Aku tak bisa menahan suara yang keluar dariku, suara itu seperti sedang ditarik keluar dariku, dari tenggorokanku tanpa bisa kukendalikan.

“Aku biasanya tidak begitu berisik,” kataku, menanam ciuman di pipi, rahang, dan terakhir bibirnya.

“Jangan berhenti,” katanya. “Aku menyukainya. Aku suka suara yang kau buat…”

“Kalau begitu jangan berhenti apa yang sedang kau lakukan,” kataku, tersenyum diatas mulutnya.

“Tidak akan terjadi.” janji Bima.

Dia menarik keluar sehingga hanya ujungnya yang ada dalam diriku, mengaitkan kakiku di atas bahunya dan menekuk lututnya. Setengah berat tubuh bagian bawahku kini disangga oleh kemaluannya dan kakiku yang ada di pundaknya. Tanganku mencengkeram selimut, mencakar dengan kekuatan putus asa saat ia mulai mendorong dirinya ke dalam diriku, lambat pada awalnya, kemudian kecepatannya mulai meningkat. Pinggulku menempel di pinggulnya, dan sekarang aku menerima miliknya sepenuhnya, seluruh miliknya masuk ke dalam dan menyeruduk dinding bawahku, tergelincir dengan licin kembali keluar, kemudian ia melakukan dari awal lagi hanya untuk menekan hole-ku lagi.

Eranganku sekarang vokal, bukan hanya rintihan napas, tapi suara desahan kenikmatan sepenuhnya. Dia bergabung denganku, menggeram dan mendengus, seperti binatang mengamuk dengan mata liar dan otot berkilat, keringat berkilau dan sensual. Dorongannya bertambah cepat, merangsek sampai ke usus. Aku menggelepar bagai ikan kekurangan air.

Aku menjerit keras sekarang, lebih keras dari suara yang pernah aku keluarkan, saat tubuhku dibawa ke puncak sensasi. Bima juga berteriak, dan kemudian miliknya berdenyut dan mendorong keras. Aku merasa dia klimaks, merasa otot-ototnya menegang dan dia bersandar di atas kakiku. Lalu saat orgasmeku mulai terjadi, aku melihat titik-titik putih diseluruh pandanganku, titik-titik kecil tak berwarna menyebar keluar satu sama lain sampai seluruh dunia menjadi putih sepenuhnya dan tubuhku terkurung dalam ekstasi dan kejang yang begitu kuat dan tak berujung, tanpa henti. Miliknya terus tenggelam dalam diriku, mendorong ledakan dalam tubuhku jadi lebih panas, lebih tinggi, dan lebih kuat.

Dengan gemetar kugenggam milikku yang semakin mengeras, memompanya kuat dengan tanganku. Ada sesuatu yang mendesak ingin terbebaskan di dalam sana. Merangsek maju dengan cepat bagai air bah lalu meluncur keluar berkali-kali tepat saat ledakan bergulir melalui tubuhku, aku mengejang, dan terkulai.

Tapi tidak dengan Bima. Ia masih bergelut dengan miliknya di dalam diriku. Terus menghentak penuh tenaga, menggila dan membuat seluruh tubuhku bergetar. Kupikir ia akan meledak ketika ia terus mendorong, menuju puncak orgasmenya.

Entah bagaimana tiba-tiba kakiku sudah berada di tempat tidur dan tubuh Bima sudah ada di atas tubuhku dan miliknya masih berdenyut di dalam diriku, menarik sisa-sisa terakhir dari sensasi dari dalam tubuhku.

Napasku terengah-engah dan otakku berputar lambat. Benar-benar orgasme yang intens.

“Ini adalah benar-benar seks terbaik dalam hidupku…” desisku.

Bima menoleh dan menurunkan bibirnya ke bibirku. Ia menciumku dengan kelembutan yang mengejutkan.

Aku mengulurkan tanganku ke bawah dan membelai miliknya yang mulai membesar, kemudian menyadari bahwa ia masih mengenakan pengaman, lemas dan basah. Aku menariknya bebas dan meletakkan pengaman itu di meja samping tempat tidur. Bima mengangkat alis ke arahku, lalu meraih satu pengaman lagi.

Aku menghentikannya. “Bagaimana jika kita meninggalkan itu?” kataku sambil menunjuk kondom di tangannya.

“Aku lebih suka tidak mengambil risiko.”

“Aku belum pernah melakukan tanpa itu.”

“Itu bagus. Sebaiknya harus selalu begitu.”

“Kau pernah melakukannya tanpa pengaman?” Aku mulai menyentuh miliknya lagi, menggeser tanganku pada miliknya yang licin dan basah kuyup. Bima mengerang, menekan dahinya ke dahiku. Dia menggerakkan pinggulnya dengan halus. Omong-omong, sekarang ia sudah ereksi sepenuhnya.

“Ya dan…”

“Aku ingin merasakannya bersamamu,” potongku sambil menariknya masuk ke dalam diriku, dan dia masih ragu-ragu, mencoba untuk menariknya keluar.

“Pliisss,” pintaku. “aku ingin merasakan milikmu keluar di dalam diriku.”

“Seharusnya jangan…” tolaknya.

Tapi itu sudah terlambat. Aku menggesek kearahnya, meregang dan siap untuk menerima dirinya.

Dia mengerang, setengah nikmat dan setengah frustrasi.

“Kita sama-sama sehat,” desis Bima meyakinkan dirinya lalu ia berguling dariku, mengabaikan jeritan protesku. Dia meluncur turun dari tempat tidur, menyambar tumitku dan menarikku ke arahnya. Dia menarik kakiku yang lain dan memutar kakiku hingga aku tak punya pilihan selain berguling tengkurap. Aku melihat ia menyeringai sangat lebar, menyeret pantatku ke arah miliknya yang tegang. Dia membiarkan jari kakiku menyentuh lantai, lalu menyelipkan tangan di bawah panggulku dan mengangkatku, mendorong bantal di bawah perutku, rendah, sehingga pantatku menjadi lebih tinggi.

Bima menggenggam miliknya dan menyenggolkannya di pantatku, menggeser ujungnya ke bawah celahku, kemudian turun. Aku melebarkan kakiku, merasakan tangannya mencengkeram pantatku dan menyebarkannya terpisah.

Dia menampar pantatku dengan tangannya, cukup keras hingga menyengat, menyebabkan jeritan terkejut dariku, kemudian dia mencium tempat di mana ia menampar tadi, mengubah jeritanku menjadi erangan. Dia melakukan hal yang sama ke sisi yang lain, dan kali ini ketika ia menciumnya, aku mendorong pinggulku kearahnya. Dia bergantian menampar dan mencium pantatku berkali-kali sampai aku tak bisa menerimanya lagi, dan tepat pada saat itu, ia mengelus telapak tangannya di kulit pantatku.

Aku memutar pinggulku lagi, permohonan tanpa kata meminta dirinya tanpa pelindung di dalam diriku.

Dia menggeser miliknya ke celah pantatku, kemudian berhenti. Aku menahan nafas. Tiba-tiba aku merasakan dirinya masuk ke dalam, selambat dan sehati-hati seperti yang pertama tadi. Dia membenamkan miliknya ke dalam diriku, mendorong miliknya sampai pangkalnya dalam satu gerakan. Aku melengkungkan punggung ke arah dalam dan tersentak.

Bima meletakkan tangannya di pantatku, mendorong pantatku ke arah dirinya sambil mencengkeram satu pinggulku dan meningkatkan temponya, sekarang lebih yakin pada dirinya sendiri karena ia tahu aku bisa menerimanya lebih terbuka dari yang sebelumnya. Selusin dorongan kemudian, aku merasakan orgasmeku terbangun dan pinggulku mulai berputar terhadap miliknya. Bima pun mempercepat gerakannya sekarang.

Ketika aku mengerang lupa daratan, dia menggapai ke bawah, mencondongkan tubuhnya ke arahku, dan menemukan milikku yang menegang. Ia menggerakkan tangannya dengan intens di sana.

“Oh God…!!” teriakku.

Aku orgasme dengan keras. Aku melihat bintang-bintang lagi, dan merasa kejang di tubuh bagian bawahku. Tapi Bima tak berhenti, dan aku menyadari bahwa dia baru saja mulai. Kemaluannya masih menyodok ke dalam diriku, dan aku menjerit dan mengerang di atas selimut karena orgasme terus meroket melandaku.

Ia mulai mendengus, hembusan napas yang panjang dan serak, dan ia mendorong lebih keras lagi ke arahku, milikku mengetat, mencengkeram, menjepit miliknya, kemudian ia klimaks dan semua kendali menghilang.

Dia menghentak ke dalam diriku, dan aku merasakan bolanya menampar dan berdenyut. Klimaksnya seperti banjir panas di dalam diriku, mengisi setiap ruang yang tak tersentuh oleh kemaluannya dengan cairan kental.

Bima membungkuk di atasku sekarang, napas terengah-engah di atas rambutku yang masih basah, napas kasar dan putus asa mencari udara. Seluruh tubuhnya gemetar, menjalar ke arahku, denyutan tak terkendali miliknya ke dalam diriku.

“Jika aku orgasme sekali lagi aku pasti mati,” bisikku.

Bima mengangkat tubuhnya dariku, tapi aku sudah seperti jelly, tak bisa bergerak dan ia harus mengangkatku, membaringkanku ke tempat tidur.

“Aku tak pernah klimaks sebegitu hebat seumur hidupku,” kata Bima.

Aku menyeringai. “Yah, sepertinya setelah ini kau akan mendapatkannya lebih banyak lagi….” desisku.

***

Chapter Five

Kami melakukannya lagi malam itu, dua kali, sebelum jatuh tertidur setelah fajar. Setiap kali lebih panas dari sebelumnya. Ketika Bima dan aku akhirnya jatuh ke pelukan masing-masing, kami berdua kehabisan tenaga dan kelewat lelah.

Seluruh badanku pegal, tapi aku begitu menikmatinya.

Aku terbangun oleh cahaya pagi yang tertuju padaku dari jendela, dan Bima duduk di tempat tidur di sampingku dengan secangkir kopi di kedua tangan, aroma kopi telah membangunkanku.

“Pagi, tukang tidur,” katanya, menyodorkan kopi saat aku duduk, aku tak mau repot-repot menutupi tubuhku dengan selimut.

Aku nyengir.

Kami lantas meneguk kopi masing-masing dalam keheningan. Aku tergoda untuk menciumnya, tapi aku tahu bagaimana mulutku, dan aku merasa perlu gosok gigi dulu.

Saat aku keluar dari kamar mandi, kulihat ia sudah berpakain rapi.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Aku harus ke kantor sekarang.”

“Kau? Pekerja kantoran? Kau lebih cocok jadi marinir…”

Ia tertawa sambil merapikan kemeja di sekitar ikat pinggangnya. Pandanganku langsung mengembara ke tonjolannya. Aku menginginkannya lagi.

Aku mendekatinya dan menyentuh retsletingnya.

Dia mundur, menyeringai. “Tidak, tidak bisa. Aku harus pergi sekarang sebelum terlambat.”

Aku mengejarnya melintasi ruangan sampai aku membuat dia terpojok. Dia menatap ke arahku, dengan mata terbakar.

“Fabiooo…” ia memperingatkanku.

Aku berlutut di depannya, membuka retsleting dan menarik celananya ke bawah sehingga kemaluannya yang memanjang melompat bebas. Dia tersentak ketika aku membawanya jauh ke dalam tenggorokanku tanpa banyak peringatan.

“Kita bisa melakukan ini,” kataku, menyebarkan air liurku padanya, dengan kedua tangan.

Dia terasa bersih dan enak. Dia klimaks dengan keras, dan cepat. Aku menyelipkan kembali miliknya ke dalam celananya dan berdiri, menyeka bibirku dengan punggung tanganku, terengah-engah.

“Ohhh, kau tahu, tadi, aku sudah memikirkan untuk berlibur denganmu, jika kau mau…” ia mengucapkannya sedikit terputus-putus.

“Benarkah?”

“Iya.”

“Kemana?”

Ia mengangkat bahunya dan mematut diri di cermin.

“Maksudnya?”

“Tunggu saja. Tapi yang pasti kau harus bersiap jika sewaktu-waktu kuajak, oke?”

Aku terkekeh. “Tentu. Aku tak akan melepaskan ini…” aku meremas ereksinya.

“Hey! Kau tak bisa membangunkannya terus menerus…”

“Aku bisa!”

“Baiklah, tapi bisakah kau membuatku bernafas sekarang? Aku harus bekerja…” bisiknya.

“Bisa diatur…” aku mengecup rahangnya.

“Oke. Kau—aku akan pergi. Kuharap kau tidak menemui pria semalam itu.”

“Tidak. Aku akan pulang ke rumah—rumahku. Kau tuanku sekarang,” aku mengedipkan sebelah mata.

Ia mengangkat kedua jempolnya.

Aku tersenyum. Kemarin malam bisa saja sangat buruk, tapi aku juga merasakan itu malam terhebatku. Dan kurasa magis itu akan berlanjut pada malam-malam berikutnya…

*the end*

to be continue to the next Amazing You Series…

AY: The Wildest Night Part Three

Aku menemukan Bima sudah berganti pakaian, mengenakan celana jeans biru yang bersih dan T-shirt tanpa lengan, T-shirt Led Zepplin yang sudah pudar. Dia menoleh saat mendengar kedatanganku, menatapku.

Tatapannya intens, melahapku. Aku memutuskan untuk pura-pura malu.

“Kenapa?” Aku bertanya, menampilkan sosok yang polos dan sopan.

“Entahlah,” katanya, suaranya serak, matanya menyapu pada handuk yang melilit di pinggangku. “Kau tak tahu pengaruh apa yang kau berikan padaku.”

Aku menatap selangkangannya, di mana tonjolan itu muncul lagi. Aku menggerakkan jemariku sampai paha dan ereksinya, menelusuri sepanjang retsleting, mengunci tatapannya.

Aku membuka kancing celana jinsnya, mencium rahangnya. “Kalau begitu tunjukkan padaku,” bisikku. Tanganku menelusuri dadanya, memancing ereksinya sekali lagi. Aku benar-benar ingin melihat kemaluannya, melihat miliknya itu melompat bebas dari dalam celananya sehingga aku bisa menyentuh dan menempatkan miliknya di mulut dan diriku.

Kedengarannya gila. Selama ini aku selalu bersikap cerdas, mengambil keputusan yang bertanggung jawab satu demi satu. Tapi Bima telah membuatku gila dan impulsif, dan aku menyukainya.

Dia mendorong tubuhku ke arah tempat tidur dan melepaskan lilitan handukku. Menariknya bebas, hingga tubuhku telanjang di udara yang dingin, dan matanya menatapku lapar.

Tangannya menelusuri perutku, naik ke atas menggosok ibu jarinya di atas nipple-ku. “Aku tak sabar untuk mencicipi dirimu seutuhnya.”

Aku tersenyum membalas ucapannya.

Belaiannya seperti sihir pada tubuhku. Ia mendekatkan bibir ke dadaku, mencium nipple-ku bergantian. Kemudian mencubit nipple yang satu dan mencium yang lainnya. Aku tenggelam dalam aksinya, hanya berbaring di sana dengan tanganku di punggung dan bahunya, mataku sedikit terpejam.

Aku merasakan sesuatu yang tebal menekan hole-ku, dan kupikir dia entah bagaimana telah melepas celananya tanpaku sadari, tapi ternyata itu adalah jarinya, meluncur turun untuk mendorong masuk ke dalam, meluncur keluar dan kembali masuk, membuatku menekan tulang belakangku ke tempat tidur merespon gerakannya. Aku tak ingin diam, lantas mendorong celana jinsnya sampai turun dari pinggulnya, dan ia menggoyangkan keluar dari celananya, menendangnya tanpa ragu.

Tanganku menemukan jalan ke pantatnya lagi, dan aku mengagumi pantat yang berotot dan kencang itu.

Tiba-tiba, aku menyadari betapa kecil dan lunaknya pantat Yukos, dan kemudian aku mengusir semua pikiran tentang mantan pacar dari pikiranku. Tak layak membandingkan si brengsek itu dengan dewa seks yang panas ini.

Bibir Bima perlahan mulai turun ke bawah secara bertahap, mencium tulang rusukku, dan kemudian perut, pusar, dan kedua tulang pinggulku. Dia mengangkatku dan menarikku ke ujung tempat tidur, tergelincir, dan kemudian lututku tersampir di pundaknya dan lidahnya menjilati paha bagian dalamku dan janggutnya yang pendek menggesek pahaku.

Aku melebarkan lututku terbuka, mengangkat pantatku karena aku merasa lidahnya menemukan hole-ku, berputar-putar dalam lingkaran lambat. Aku terkesiap, menarik napas dengan lembut. Oh, lidah itu gesit dan meyakinkan, menciptakan kenikmatan dariku dalam gelombang yang terampil, membawa ke atas, dan kemudian kembali turun, lebih dekat ke tepian orgasme dan kembali menjauh. Dia mencelupkan lidahnya masuk, menggerakkan kepalanya berputar saat pinggulku mulai melengkung.

Aku terengah-engah, hampir merintih sekarang, tapi ia memperlambat tempo dan aku membungkuk untuk menempatkan jariku di rambutnya, mengacak-acak dan mencengkeram, tapi tidak mendorongnya ke arahku, tapi hampir. Dia tertawa di antara pahaku, dan aku mengerang oleh panas yang tiba-tiba ada di sana. Dia melakukan lagi, kali ini tidak tertawa tapi bernapas lambat, napas panasnya membuatku liar. Ia menghembuskan napas lagi. Ia membuat lingkaran lambat dengan lidah di tepian hole-ku, kemudian menjilat ke atas sedikit, dan kemudian melingkar lagi, menekan di sekitar hole-ku sampai aku mengejangkan pinggulku dengan kacau. Kali ini aku benar- benar menjerit dan mengerang.

Aku menarik Bima ke arahku dan menciumnya, rakus akan bibirnya, mencicipi rasaku sendiri di bibirnya.

Bima kemudian berbaring di sebelahku dan kami bercumbu, hanya berciuman dan berciuman, lidah kami bertaut dan bibir menggeram. Aku terengah-engah saat kita terpisah. Aku bersandar dengan satu siku dan menjelajahi seluruh tubuhnya, melihat hamparan otot-ototnya yang kencang, menonjol dan liat. Aku menelusuri dadanya dengan jariku, berputar di nipple-nya, dan kemudian membiarkan jariku mengikuti lekukan dan cekungan antara otot perutnya, akhirnya menemukan bentuk V di mana otot perutnya mengarah menuju pangkal paha, dan menghilang di balik celana boxer-nya.

Dia keras karena aku, menonjol jelas di balik celana boxer-nya dengan kepala mengintip keluar. Aku melirik Bima, dan dia mengangkat alisnya, tersenyum hanya dengan satu sudut mulutnya. Dia hanya berbaring di sana, menunggu, satu tangan di punggungku, yang lain jatuh dengan malas di sepanjang dadanya. Dia tahu apa yang dia punya, dan dia hanya menunggu aku untuk menemukannya.

Satu jariku masuk ke bawah celana boxer abu-abunya, dan jariku menyenggol ujung miliknya. Dia tersentak, perutnya mengempis masuk. Aku menarik pinggang boxer-nya turun, dan ujung kemaluannya melompat bebas, dan aku hampir mengerang saat melihat miliknya. Aku menarik boxer-nya turun ke paha, dan kemudian, merasakan getaran keberanian mengembang dalam perutku, aku bergerak ke bawah dan menyentuh kemaluannya hanya dengan ujung lidahku. Bima menarik napas dalam melalui hidung, dan aku menatapnya sambil tersenyum.

Aku menggenggam ereksinya dengan kedua tangan, satu kepalan di atas yang lain, dan kepalanya masih satu inci di atas jari-jariku, bisa juga lebih. Dia juga besar, lebar dan bulat, dengan lengkung lembut dari pangkal ke ujungnya. Aku menelusuri lubang kecil di ujungnya dengan ibu jari, dan cairan bening berdenyut keluar. Aku menundukkan kepalaku untuk mencicipinya, dan dia tersentak lagi, kemaluannya terayun-ayun bersamaan saat ia menarik napas. Sangat sensitif.

Aku mengusap ke atas dan ke bawah dengan tanganku, tapi aku sadar dia kering, jadi aku menurunkan mulutku, menjilati dirinya, membawanya ke samping ke dalam mulutku dan membiarkan air liurku melapisinya. Dia licin sekarang, dan aku membawanya ke tanganku lagi, memompa perlahan. Pinggul Bima mulai berputar, dan aku merasa lebih berani, sekarang. Matanya setengah tertutup dengan dada naik-turun perlahan-lahan sementara tangannya menggenggam selimut tempat tidur. Aku mengambil bulatan, kepalanya dalam mulutku, mencicipinya di lidahku, dan kemudian mengeluarkannya kembali untuk mengagumi miliknya sekali lagi.

Dia tersenyum padaku, lalu memiringkan kepala ke belakang dan melengkungkan punggung saat aku membawanya lagi di mulutku, melebarkan bibir semampuku untuk menyesuaikan ukurannya. Aku memompa telapak tanganku di sekelilingnya, membawanya jauh ke dalam mulutku sampai menabrak bagian belakang tenggorokanku. Menariknya keluar lagi, tidak semuanya, dan dia mencengkeram selimut dengan erat.

Aku tersenyum. Aku mengulangi lagi, kali ini mendorongnya lebih dalam ke tenggorokanku, hanya sampai di tepi refleks tersedakku. Dia tersentak, ketika ia hampir sampai di tenggorokanku, dan aku suka suaranya, suka kekuasaan yang aku miliki atas dirinya, dan melakukan hal ini. Aku menikmatinya, untuk diriku sendiri, dan tentu untuknya juga. Sekarang aku mulai berirama, naik-turun padanya, menggelincirkan tanganku pada pangkalnya seirama dengan mulutku.

Bima menggerakkan pinggul dengan putus asa. Mulut dan tanganku mengikuti gerakannya semampuku, meluncur di atas miliknya yang licin oleh air liurku. Aku membawa miliknya yang besar dan semakin mengembang ke dalam mulutku, lalu, membiarkan dia mendorong tenggorokanku hingga aku hampir tersedak lagi. Dia menekan dengan liar, dan aku belajar untuk mundur saat ia mencapai puncak dorongnya agar aku tak muntah. Terdengar engahan rendah di tenggorokannya.

Aku meninggalkan satu tanganku dari kemaluannya dan bergerak menggerayangi bolanya, menangkup kantung itu di telapak tangan dan jari-jariku, memijat selembut yang aku bisa. Mereka begitu lembut, rambut lembut dan kulit keriput kencang dan ketat.

Dia menggertakkan gigi, memberi peringatan melalui giginya yang terkatup,

“Aku datang, oh Tuhan, aku datang sekarang…”

Dia datang, keras, melepaskan banjir panas, ke dalam mulut dan tenggorokanku. Bolanya berdenyut di tanganku, dan kemaluannya bergetar dan bergetar saat ia datang. Aku memeras dengan keras, mengisap sampai pipiku cekung, juga dengan tanganku sampai ia mengerang lagi dan menggeliat di tempat tidur, membungkuk ke depan dan kemudian melengkungkan punggungnya.

Aku merasa berkuasa dan puas atas permainanku. Dia menarikku ke dadanya dan aku meringkuk dalam dekapannya. Aku merasa terlingkupi dalam pelukannya, dikelilingi oleh rasa hangat pada otot-ototnya.

“Kau membuatku datang begitu keras. Itu sangat mengagumkan,” suara Bima serak dan masih terengah-engah.

Aku merasakan sensasi bangga mendengar pujian itu. Aku bersedia melakukannya lagi, hanya untuk mendapatkan reaksi darinya, merasakan kekuasaan atas tubuhnya, memberinya kenikmatan semaksimal mungkin.

Jemariku menelusuri otot-ototnya, tangan yang lain menekan di antara tubuh kami. Tangannya meluncur naik dan turun di atas punggungku, menggelitik tulang ekorku dan ke dalam celah pantatku, bergerak naik dari pinggul ke bahuku dan kembali ke pantatku dalam belaian mengeksplorasi.

Aku tak bisa menjauhkan tanganku dari kemaluannya, dan segera berada di tanganku sekali lagi, aku suka menyentuhnya. Sekarang miliknya itu lembut dan lemas, jatuh di tanganku, namun anehnya terasa berat.

Perutku tegang dengan antisipasi saat ia mulai menegang di bawah sentuhanku. Aku menginginkan dia dalam diriku, aku gemetar dengan antusiasme untuk merasakan dia masuk ke dalam milikku yang basah.

“Ya Tuhan, kau membuatku siap untuk melakukannya lagi,” kata Bima.

***

Bianglala Satu Warna Chapter XVh

***Mario***

Bak sudah penuh. Airnya meluber kemana-mana. Gue langsung mematikan mesin pompa air yang biasanya kami sebut sanyo.

Oke, sekarang gue ngapain lagi? Hati gue bertanya. Berdiri di depan tombol on/off sanyo kayak orang mati ide.

Gue melirik ke arah luar—ke arah pintu kamar Ayah yang terbuka—dengan tatapan sayu. Gue mendesah berat. Dia pasti masih sit up. Gue mendesah lagi.

Gue makin linglung. Mengalihkan pandangan ke seisi dapur dengan tatapan hampa. Gue butuh aktivitas untuk melenyapkan kehampaan ini. Tapi di satu sisi, gue malas ngapa-ngapain.

Ah, iya. Nyapu lantai. Tugas rutin gue tiap pagi. Lagi, gue menghela nafas sebelum melangkah mengambil sapu yang tergantung di balik pintu.

Sapu di tangan. Gue bingung lagi. Mulai dari mana ya??? Akh, dari ruang makan aja deh! Gue menyeret kaki dengan malas. Gue masih pengen berdiri di depan tombol on/off sanyo tadi!

Gue nyapu dalam diam. Dan tak terasa sekarang gue udah nyapu di depan kamar aja. Telinga gue terusik sama suara berat dan terputus dari dalam kamar.

“Dduua ttujjuhhhh… Hhh, dduua delaphaann…”

Itu suara Ayah yang sedang sit up di lantai. Biasanya dia melakukannya sampai lima puluh kali tiap pagi. Makanya otot perutnya kencang. Sayang gue nggak bisa menikmati perut kencang hasil sit up-nya itu. Sigh!

Gue terus menyapu sampai ke ruang tamu. Ngeliatin tuh orang olahraga dan keringatan, bikin gue makin pusing. Bisa-bisa gue horny lagi, tapi ujung-ujungnya solo karier lagi di kamar mandi.

Punya pacar tapi gak bisa diajak duet. Payah!

Kadang gue bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya diantara kami berdua ini, siapa sih yang otaknya konslet? Gue atau Ayah?

Gue punya nafsu yang luar biasa besar. Hampir tiap hari milik gue bangun. Setiap mendengar, melihat dan mikirin hal-hal berbau seks, pasti bawaannya pengen mulu. Dan gue rasa itu normalkan? Semua cowok seperti itukan?

Nah, sementara Ayah, gue nggak pernah lihat dia horny. Bahkan saat bangun tidur sekalipun, gue nggak pernah menangkap basah miliknya lagi berdiri. Padahal setiap cowok itu mengalami morning erection.

Gue jadi bingung. Di antara kami berdua siapa sih yang abnormal? Guekah, yang otaknya selalu mikirin selangkangan mulu, atau Ayah yang sepertinya punya dorongan seksual sangat rendah atau barangkali aseksual.

Logikanya antara dua cowok muda, sehat, pacaran dan tiap malam tidur bareng, pastilah akan melewati malam-malam panas bersama. Minimal dalam satu minggu itu ranjang kami bergoyang untuk menyalurkan hasrat masing-masing. Tapi itu tidak berlaku bagi kami! Sudah enam puluh hari kami bersama, nggak pernah sekalipun kebablasan. Padahal udah beberapa kali gue mancing Ayah supaya hasratnya bangkit. Tapi hasilnya tetap nihil!

So, wajar dong kalo gue gusar?! Oke, emang yang namanya pacaran itu nggak melulu harus berhubungan seks. Nggak terkecuali buat pasangan gay kayak kami. Dan mungkin prinsip inilah yang dipegang sama Ayah. Karena di luar sana yang namanya pasangan straight itu nggak semuanya berhubungan seks sebelum menikah. Mungkin itu yang ingin diterapkan Ayah pada hubungan kami.

Arrghh! Kalo itu alasannya, gue keberatan. Itu sama saja kalo selamanya gue gak akan pernah merasakan dia. Dan jujur, gue butuh itu. Gue pengen ngerasain lebih dari sekedar ciuman dari dia.

Kalo lagi kesal begini, seringkali gue mikir yang nggak-nggak. Puluhan ide gila melintas di pikiran gue. Salah satunya pengen ngasih dia obat perangsang. Wkwkwkwk. Kalo udah dicekoki sama obat begituan, gue jamin Ayah nggak bakal nolak lagi.

Tapi tentu aja itu cuma sebatas ide gila. Gue nggak akan melaksanakan niatan jahat itu. Gue masih berharap dan menunggu Ayah sendiri yang memintanya. Bukankah yang alami itu lebih baik? Hehehe…

***

Selesai sarapan bareng, Johan berangkat ke kampus. Sementara Mario dititipi tugas untuk ke gudang sayuran di pasar untuk mengambil nota dari orang yang dipercayakan Johan mengelola keluar masuknya barang hasil bumi dari gudang mereka. Nantinya nota itu akan dicek kembali oleh Johan sekembalinya dari kampus.

Setelah mengambil nota, Mario tak segera kembali ke rumah. Melainkan ke rumah Arie. Hatinya terasa berat untuk menemui sohibnya itu, tapi ia juga ingin mendengar alasan kenapa Arie membohonginya.

Kebetulan sekali saat itu Arie ada di rumah. Orang tuanya lagi di toko pakaian mereka di Bang Mego, sementara Sagita, adik perempuan Arie sedang di sekolah. Di rumah cuma ada Arie seorang.

Seperti semalam, kekakuan antara mereka belum juga pudar. Arie nampak kikuk saat mengetahui bahwa Mario yang bertamu. Ia mempersilahkan Mario masuk dan menunggunya di ruang tamu. Begitu pula dengan Mario. Biasanya ia langsung membuntuti Arie ke kamarnya, tapi kali ini ia hanya duduk di ruang tamu sambil memandangi beberapa lukisan yang dipajang di dinding.

Rupanya Arie mengganti pakaiannya. Yang tadinya hanya mengenakan singlet, sekarang badannya sudah ditutupi dengan kaos oblong. Rambutnya juga disisir rapi. Ia langsung duduk di hadapan Mario sambil menaruh kemeja di atas meja.

“Ini kemejanya…” kata Arie.

Mario mengangguk. Ia mengambil kemeja itu dan menaruhnya tepat di hadapannya.

“Eng, elu udah sarapan?” tanya Arie.

“Sudah,” jawab Mario singkat.

“Oh…” desis Arie.

“Elu?” tanya Mario setelah kebisuan tercipta beberapa detik.

“Sudah juga.”

Mario menghela nafas. Ia menyandarkan tubuhnya agar lebih rileks.

“Mister Jo ke kampus?” tanya Arie setelah kebisuan berikutnya.

“Ya.”

Arie mengangguk-angguk.

“Elu sendirian di rumah?” tanya Mario. Pertanyaan konyol sebetulnya. Ia sudah tahu kalau disaat-saat seperti ini seluruh anggota keluarga Arie semuanya berada di luar rumah.

“Ya. Apak sama Amak di toko. Gita sekolah,” terang Arie. Penjelasan yang tidak perlu. Mario sendiri sudah tahu jawabannya.

“Elu kok nggak ikut jaga toko?”

“Nggak aja…”

Mario mangut-mangut. Berapa lama lagi basa-basi-busuk ini akan berakhir?

“Elu—”

“Udah—”

Mario dan Arie ngomong serentak, dan diam serentak pula.

“Elu bakalan ikut doa bersama besok?” tanya Mario.

“Iya. Elu?”

“Mungkin…”

“Kok mungkin? Emang kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

“Elu ada acara lain?”

“Nggak ada. Oh, ya, tadi elu mo ngomong apa?”

“Nggak ada.”

Lagi-lagi keheningan tercipta. Mario mengambil handphone-nya, sementara Arie melempar pandangan keluar rumah.

“Ehm! Ada yang mau elu sampain ke gue?” akhirnya Mario menyampaikan maksud kedatangannya.

Arie menoleh.

Mereka berdua berpandangan.

“Apa alasan elu nggak ngasih tahu ke gue kalo elu itu Ariesboyz?” tanya Mario to the point.

“Emangnya kalo gue kasih tahu kalo Ariesboyz itu gue, apa untungnya buat kita?” Arie balik nanya.

“Setidaknya, kejadian semalam nggak bakal terjadi. Nggak bakal ada kesalahpahaman…”

“Kita nggak lagi salah paham kan?”

“Tapi elu ngobohongi gue. Apa maksud elu nggak mau kasih tahu gue tentang siapa elu?”
“Gue rasa elu nggak penting tahu tentang ini. Hanya akan mempersulit persahabatan kita.”

Mario diam.

“Gue surprise banget pas tahu OHMario itu elu. Tapi sekaligus sedih juga mengingat status elu—” Arie tak meneruskan ucapannya.

“Kalo elu belum milik Mister Jo, gue nggak akan mundur kayak sekarang, Bray. Nggak akan ada cerita gue pura-pura jadi orang lain di depan elu. Gue bakal nembak elu saat itu juga. Saat gue tahu OHMario itu elu…”

Mario menelan ludah.

“Gue merasa nggak pantas buat ngasih tahu elu siapa gue, karena itu akan mempengaruhi hubungan kita. Nggak penting elu tahu kalo selama ini gue suka sama elu, iya kan? Buat apa coba? Sekarang elu udah punya Mister Jo. Elu sayang banget sama dia. Gue nggak mau merusak kebahagiaan kalian…”

“Ya. Elu benar. Gue pengen seperti sedia kala. Jadilah Arie yang selama ini gue kenal. Arie yang suka cewek, Bray gue yang straight. Karena selama ini gue tahunya elu seperti itu. Dan gue nyaman dengan itu. Gue sulit menerima kalo elu sama kayak gue…”

“Gue janji gue nggak akan berubah, Yo. Tetap jadi Arie yang dulu. Tapi setelah elu tahu keadaan gue, apa masih mungkin elu bisa mandang gue kayak dulu? Konyol banget kalo gue godain dan ngomongin cewek di depan elu, padahal kita berdua udah tahu rahasia masing-masing. Feel-nya nggak bakal dapet lagi…”

“Elu udah punya Juwi. Elu bi kan? Elu harus fokus sama cewek. Gue pengen elu sepenuhnya suka sama cewek!”

“Kenapa sih, Yo? Kenapa elu nggak mau nerima gue?”

“Karena–Karena sulit bagi gue terima keadaan elu. Sepanjang kita sama-sama, yang tertanam di benak gue itu elu itu straight! Dan gue terbiasa dengan itu. Rasa sakit serta perjuangan gue menekan perasaan suka gue buat sohib gue selama ini, gue terima semuanya. Gue terbiasa dengan kehampaan itu. Gue nikmati semuanya. Gue terus berharap suatu saat elu juga belok kayak gue, dan kita jadi pasangan. Tapi sampai titik gue menyerah mengharapkan elu, harapan itu cuma harapan. Dan di titik itu, gue berbesar hati menerima kalo elu cowok straight yang nggak boleh diusik. Tapi kenapa sekarang elu tiba-tiba hadir dengan membawa cerita baru? Gue keberatan, Rie.”

Arie tersenyum kecut. “Gue telat, Yo. Dan gue tahu itu. Makanya sejak gue tahu elu itu OHMario, gue lebih milih nggak kasih tahu elu. Itu alasannya! Biar hubungan elu sama Mister Jo dan hubungan kita berdua tetap seperti semula…”

“Ya, gue inginnya kayak gitu.”

“Tapi bukan berarti dengan masalah ini kita nggak bisa kayak dulu, Yo. Antara elu dan gue udah nggak ada rahasia lagi. Kita bisa lebih dekat lagi karena ini. Ada kesamaan yang kita berdua punya dan bisa memperkuat pertamanan kita…”

“Gue harap gitu sih. Punya teman yang sama kayak gue di dunia nyata. Meskipun sebenarnya yang gue harapkan jadi teman gue itu bukan elu…”

Arie tersenyum tipis.

***

***Mario***

“Yeah, beresss…!” gue mendengar desis lega dari Ayah. Ia barusan saja merampungkan pengecekan nota-nota yang gue ambil dari gudang tadi siang.

Gue cuma mangut-mangut lalu kembali menatap layar HP.

Dari tadi gue baca cerpen dan fanfiction di internet. Tentu aja yang bertema gay. Kalo baca cerita-cerita jenis ini gue lumayan suka. Apalagi kalo ada bonus adegan seks-nya. Wkwkwk. Senang aja bisa merasakan kebahagiaan dari para tokohnya dan nggak jarang gue berkhayal kalau para tokoh itu adalah gue. Sejenak melupakan dunia nyata dan berfantasi di dunia khayal yang tanpa cela sangat menyenangkan!!!

“Serius banget sih mantengin ponselnya?” tiba-tiba Ayah udah duduk di samping gue. Kepalanya condong sedikit ke gue.

Gue nggak jawab dan terus baca. Dia bisa lihat apa yang gue baca.

Sedetik kemudian gue mendengar desah senyumnya. Satu ciuman juga mendarat di pipi gue. Gue nggak merespon. Karena gue tahu cuma bakal berakhir sampai di situ.

Benar. Selesai ngasih ciuman kecil di pipi, Ayah kembali ke dunianya. Nyalain TV dan duduk bersandar di kepala ranjang. Yaaaa, seperti malam-malam biasanya.

Huhhffhh…! Gue mendesah berat. Entah kenapa dua hari belakangan ini gue suka banget mendesah. Gue juga mulai merasa bosan dengan hubungan kami. Tiba-tiba aja gitu merasa jengkel sama semuanya. Terutama dengan sikap Ayah yang nggak ada mesra-mesranya sama gue. Well, padahal dari awal gue udah tahu sikapnya memang begini, dan itu bukan masalah besar. Tapi sekarang gue menjadikan itu suatu masalah. Sekali lagi gue nggak tahu kenapa. Gue jadi orang yang nggak sabaran dan nggak puas cuma dapat ciuman doang dari hari ke hari.

Tuh, kan??? Pikiran gue mulai ke selangkangan lagi!!!

Gue mengangkat kepala dan melirik sejenak ke Ayah. Dia nampak fokus ke TV. Nonton Indonesia Lawyer Club. Tontonannya berat banget. Gue mengumpat dalam hati. Kalo jenis tontonannya begini, mana bisa bikin horny!

Grrrr…! Gue geram banget. Huhhh, kenapa sih gue bisa suka sama dia? Aneh banget deh. Dari awal dia itu kaku banget. Emang sih dia ganteng dan baik. Dia juga bisa romantis. Cuma kadar romantisnya itu dikiiiit banget! Gue merasa diperlakukan kayak pacar itu cuma pas di Bengkulu beberapa waktu lalu doang. Selebihnya gue ngerasa hubungan gue dan dia ini nggak lebih dari sebatas hubungan kakak-adek.

Akh, coba kalo gue pacaran sama Arie…

ARIE!

Hati gue serasa melompat dari tempatnya.

Ya, Arie. Nggak nyangka banget ternyata dia belok juga!

Eh, dia kan suka sama gue?!

Hati gue tiba-tiba muram mengingat kenyataan itu.

Arie… Dulu gue suka pake banget sama dia. Di hati gue cuma ada dia. Nama dia selalu mengisi hari-hari gue. Rasanya pengen dekat-dekat dia mulu. Seakan-akan cuma dia cinta sejati gue. Seakan-akan gue nggak akan pernah berhenti mencintai dia. Besar banget rasa cinta gue ke dia. Gue nafsu banget sama dia. Suka jadiin dia bahan coli gue.

Tapi ternyata perasaan cinta yang menggebu-gebu itu bisa padam juga. Berganti ke lain hati. Pindah ke Ayah. Dan perasaan suka gue ke Arie dulu hilang tak berbekas. Dan kini, perasaan cinta yang menggebu-gebu itu teruntuk Ayah. Sama persis seperti yang dulu gue rasaian ke Arie.

Akh, seandainya gue nggak ketemu Ayah, mungkin sampai detik ini gue tetap mengharapkan Arie. Dan… Kayaknya bakal bahagia banget deh pas tau dia belok juga dan suka sama gue!

Wih, kira-kira apa yang bakal terjadi, ya? Gue dan Arie pasti bakal melewati hari-hari yang luar biasa. Secara gue sama dia kan sama-sama gila. Mengingat otak kita berdua kerap berada di selangkangan, gue yakin bukan sekedar ciuman dan pelukan yang kita lakukan, tapi lebih dari itu.

Aahhhh, pasti hot banget! Arie pasti bisa membahagiakan gue dan dia tahu apa yang gue mau.

***

Arie tersenyum manis ke gue. Gue balas menatapnya cuek, menunggu apa reaksinya.

Arie melompat, bak raja hutan langsung menindih gue. Ia nampak beringas. Langsung mencari bibir gue dan melumatnya dengan ganas.

Celana gue langsung terasa sempit. Begitu juga dengan Arie. Miliknya yang keras menekan pangkal paha gue. Bentuknya gede.

Gadang bana, gue ngakak dalam hati.

“Kenapa, Mo?” Arie melerai ciumannya.

“Apa?”

“Mata elu melotot gitu…”

“Kont*l elu gadang, Mo!” gue menjentik miliknya keras.

“Seak! Sakit bengak*!” umpat Arie. Ia tanpa permisi menurunkan restleting gue dan mengeluarkan junior gue. Bukan hanya itu, ia juga menggenggam punya gue kuat dengan telapak tangannya yang hangat.

“Mooo, Mooo, sakiiittt…!”

“Mampus! Biareeeennn!” Arie menguatkan genggamannya.

“Woy, Mo, Seak! Patah bego!” gue memukuli dadanya.

Arie malah ngakak. Tapi sedetik kemudian ia membungkukkan kepalanya ke arah selangkang gue. Ia mengecup kepala junior gue.

Ouch…! Gue menggeliat kecil.

“Gimana rasanya?” Arie mengerling sejenak ke gue sebelum melakukan aksi yang sama untuk kedua kalinya.

“Gue udah nunggu sekian lama. Hampir tiap hari ngayal jorok tentang elu. Kalo gue tahu elu homo juga, udah kapan hari gue perkosa elu!” kata gue gemas.

Arie ngakak. “Elu kira cuma elu aja? Gue juga kaleee pengen perkaos elu, hahaha…!”

Gue menekan kepalanya ke arah selangkangan gue lagi. Gue pengen dia ngelakuin itu lagi…

HHUH!

Tiupan dingin di telinga gue. Refleks gue menutup telinga dan menoleh dari mana tiupan itu berasal.

Sepasang mata yang sedikit menyipit tengah memandangi gue. Gue yakin tiupan tadi dari dia.

“Kayaknya lagi berpikir keras nih? Sampai-sampai yang di bawah ikutan keras…”

Gue bergerak dan membetulkan posisi junior gue yang terasa sesak di sangkarnya.

“Marioooo, Mario…” Ayah geleng-geleng kepala.

Gue menghela nafas sambil memejamkan mata. Barusan gue ngelamun jorok, berandai-andai apa yang akan terjadi jika gue pacaran sama Arie. Dan hasil khayalannya luar biasa. Sayang keburu diganggu sama tetangga sebelah!

“Baca stensilan ya kamu?”

“Ya. Kita praktekin yuk?” ajak gue spontan.

Ayah melirik gue dengan tatapan tajam.

Gue membalas tatapannya dengan santai. Nggak hanya itu, gue bahkan beringsut naik ke atas pahanya.

Ia merengut mengikuti gerakan gue.

Gue melempar senyum sesensual mungkin. Kali ini gue nekat. Kalo cara lembut nggak berhasil, mungkin gue harus terang-terangan minta dia menuruti keinginan gue.

“Ceritanya panas banget. Bikin Oh horny banget,” gue mendesis di pangkal leher Ayah. Sisa horny akibat lamunan tadi masih terasa sampai sekarang.

Ia tetap mengikuti gerakan gue dengan waspada lewat ekor matanya.

Gue menjatuhkan lengan kanan gue ke belakang telinga kanannya. Lantas turun menyusuri garis rahangnya.

Sejauh ini ia tetap diam saja. Mungkin ini permulaan yang baik.

Gue mengecup sudut bibirnya. Turun ke dagunya. Turun lagi ke sepanjang lehernya. Lantas naik lagi ke dagunya. Bergerak ke rahangnya. Dan kini telinganya. Gue tiup pelan belakang telinganya sebelum gue bawa ke dalam mulut gue.

Kali ini Ayah bereaksi. Ia mengangkat bahunya. Barangkali ia merasa geli. Gue pun mengemut telinganya dengan dramatis.

Cukup lama gue bermain dengan salah satu anggota tubuh paling sensitif itu. Tapi sampai saat ini Ayah tetap diam. Hanya nafasnya saja yang sedikit memburu.

Gue nggak bakal nyerah. Mungkin gue harus lebih gigih lagi!

Gue meninggalkan telinganya dengan satu kecupan di daun kupingnya.

“Udah?” tanya Ayah sambil mengganti channel TV.

“Belum!” jawab gue cepat.

Ini sebuah lampu hijau, eh?!

Gue mengecup bibirnya cepat. Matanya membesar.

Gue mengedip nakal. Bibirnya mengatup rapat dan rahangnya bergerak-gerak.

Gue gak perduli itu pertanda apa!

Gue langsung mengangkat kaos oblong longgarnya. Sasaran kali ini adalah nipple merah kecokelatannya.

Salah satu titik paling sensitif setelah junior. Gue yakin sentuhan gue di nipple bakal meruntuhkan pertahanannya.

Gue langsung mendaratkan bibir gue ke nipple-nya. Melumat titik kecokelatan itu dengan lahap.

Tubuh Ayah merespon dengan cepat. Ia mengeraskan perutnya. Dan mendorong kepala gue menjauh.

“Cukup, Oh!” bibirnya bergetar.

“Kenapa?” gue menatapnya. “Ini belum selesai,” sambung gue sambil kembali melumat nipple-nya.

Tak hanya itu, gue semakin berani sekaligus bernafsu saat ini. Gue hisap nipple-nya dengan kuat, sementara tangan gue menggapai ke bawah, meremas selangkangannya. Gue menemukan miliknya yang mengeras. Yeah! Gue menyusuri batang kemaluannya dengan permukaan jempol gue.

BRUG!

Sedetik kemudian tubuh gue sudah terhempas ke ranjang. Belum sempat gue memikirkan sesuatu, posisi gue sekarang sudah berubah telungkup.

Gue mengerang kesakitan saat kedua lengan gue dipelintir dan ditarik ke belakang. Dada gue ditekan ke ranjang.

“Puas? Sudah cukup main-mainnya!!!”

Gue menahan nafas seiring semakin dalamnya tekanan di dada gue.

“Kamu semakin kurang aja, Mario.”

Gue membuka mulut lebar-lebar. Berharap oksigen yang gue hirup lewat mulut bisa mengurangi rasa sesak yang seakan ingin meledakkan dada.

Gue memejamkan mata. Rasa sakit dan kecewa melingkupi gue sepenuhnya. Lagi, gue gagal dan diperlakukan kayak gini sama dia. Rasa panas menyebar ke seluruh tubuh gue.

“Sorry. Lepasin!” pinta gue dingin.

“Asal kamu nggak—”

“Iya. Gue nggak akan pernah ngelakuin ini lagi!” potong gue cepat.

Pelintiran di lengan gue mengendur dan dilepas. Begitu juga tekanan di dada gue. Gue langsung menghela nafas berkali-kali dan bangkit.

“Gue nggak ngerayu elu lagi. NGGAK AKAN!” ulang gue dengan nada emosional.

Gue marah, gue terluka dan harga diri gue tercabik dalam waktu yang sama.

Ayah—Johan maksud gue, menatap gue dengan ekspresi datar seperti biasa. Entah gue nggak tahu apakah memang ia terlahir sebagai manusia dengan mimim ekspresi, atau ekspresi minimalis itu ia dapatkan dengan latihan bertahun-tahun selama hidupnya. Yang jelas gue udah muak dengan ekspresi sok cool-nya itu. Terutama malam ini. Ini malam puncak kekesalan gue!

“Sorry udah bersikap lancang ke elu. Gue cuma pengen ngerasain—Ah sudahlah!” gue malas ngomong lagi sama dia. Yang ada malahan entar gue terdengar mengiba lagi.

Gue turun dari tempat tidur dan melesat ke luar kamar.

Gue terdiam di depan ruang tengah. Nafas gue masih memburu. Emosi gue masih di atas ubun-ubun.

Oke, desis hati gue. Gue nggak akan ngerayu elu lagi. Gak akan minta elu berhubungan seks lagi. Nggak akan! Tekad hati gue.

Gue janji. Gue benar-benar serius kali ini. Pun jika dia minta putus dari gue, gue siap. Gue bakal terima. Gue bisa cari yang lebih baik dan lebih ekspresif dari dia!

Darah gue menggelegak hebat. Gue pengen pergi dari sini. Gue nggak mau lihat muka dia.

Kemana?

Pulang ke rumah aja.

Ya, mendingan gue balik ke rumah. Nggak betah di sini!

Gue berjalan cepat menuju kamar. Mengambil jaket dan kunci motor. Tanpa pamit gue langsung melarikan motor gue ke dalam kegelapan malam.

***

notes:
*bengak : bego