Bianglala Satu Warna Chapter XVl-lanjutan

Review: Johan dan Mario kembali akur. Mereka kembali menghabiskan waktu bersama seperti sebelum adanya konflik di antara mereka. Di akhir pekan, Mario diminta mamanya membantu membereskan laporan sehingga ia harus menginap di rumah. Apa yang selanjutnya terjadi saat mereka berdua untuk semalam tidur tak satu atap malam itu???

***

Sore hari di penghujung bulan Mei…

Tiba-tiba Mama menelepon Mario.

“Assalamualaikum. Napa, Ma?” tanya Mario.

“Yo, kamu gak ada kerjaan kan?”

“Nggak…”

“Bantuin Mama, ya?”

“Bantu apa dulu nih?” Mario yang tadinya duduk bersandar sekarang menegakkan tubuhnya.

“Besok kan awal bulan. Laporan Mama belum kelar. Tolong ya…”

“Terus laporannya diapain?”

“Dienter ke excel…”

“Cuma masukin data ke laptop doang?”

“Ya.”

“Bisa, bisa.”

“Oke. Bisa kan malam ini?”

“Bisa kok. Ntar Yo ke rumah.”

“Ya, ya. Makasih ya, Nak…”

“Ya, Mam.”

Setelah mendapat telepon dari sang Mama, Mario langsung menemui Johan yang sedang angkat dumble di kamar.

“Yah, tadi Mama telepon Oh…” beritahu Mario sambil duduk di bibir ranjang.

“Ya…?”

“Mama minta Oh bantuin dia beresin laporan kerjaannya…”

“Ya, bantuin dong. Kamu kan gak ada kerjaan…”

“Iya. Oh cuma kasih tahu doang. Ntar malam Oh pulang bantu Mama…”

“Good.”

“Ayah nggak mau kesana?”

“Ntar Ayah kesana, tapi cuma antar kamu doang.”

“Nggak ikut tidur di sana?”

“Nggak. Ayah mo ngerjain tugas power point sama presentasi, Oh…”

“Kan bisa di sana?”

“Di rumah aja deh. Sekalian jaga rumah…”

“Ooohh, gitu. Ya udah…”

“Kapan mo kesana?”

“Habis Maghrib aja.”

“Oke, oke.”

“Habis Maghrib kita langsung cabut. Kita makan malam di sana aja ya?” usul Mario.

“Boleh, boleh…”

Mario mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah itu diam sambil memperhatikan Johan mengangkat dumble.

Jadilah seusai maghriban, keduanya berangkat ke rumah Mario. Sesampainya di sana mereka langsung makan malam. Setelah itu mereka ngobrol di ruang tengah sembari menonton TV. Setengah jam kemudian, Johan pun pamit pulang.

“Gak nginap di sini aja, Jo?” usul Mama Mario.

“Makasih, Te. Cuma masih ada tugas kampus yang belon kelar…”

“Ooohhh… Ya udah, hati-hati aja pulangnya ya…”

“Ya, Te.”

Johan pun berjalan keluar ditemani Mario.

“Ayah beneran mo balik?” tanya Mario.

“Iya dong…”

Mario mangut-mangut.

“Ayah pulang ya?” Johan memakai helm-nya.

“Ayah…”

“Eh?”

“Cium dulu…” kata Mario sangat pelan, hampir tak terdengar.

“Apa?”

“Cium.”

“Ngomong apa sih?” Johan melepas helm-nya lagi.

“Ci-um,” Mario mendekatkan bibirnya ke telinga Johan.

“Woalah!” Johan terkekeh. Ia mencium kening Mario dengan hidungnya.

Mario mengumbar senyumnya.

“Ayah pulang ya?”

“Hati-hati…”

Johan mengangguk.

***

Mario tengah berkutat dengan data sang mama yang ingin dimasukkan ke komputer saat sebuah pesan WA masuk.

Arie: Yo, elu besok ada di rumah?

Mario: ada. Knp?

Arie: gue mo kesana. Besok Mr Jo kuliah gak?

Mario: nggak. Kan Sabtu…

Arie: oohhh…

Mario: emang napa?

Arie: ada yg pengen gue omongin.

Mario: kesini aj.

Arie: gue cuma mo ngomong berdua.

Mario: malam ini aja. Gue lgi di rumah mama.

Arie: elu lg di Tamsis?

Mario: iya. Gue bantu mama ngurusin laporan.

Arie: oke. Gue ke sana.

Mario: gue tunggu.

Beberapa menit kemundian, Arie sudah satu ruangan dengan Mario.

“Apaan sih yang mau elu omongin?” tanya Mario tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

“Nggak…”

“Nggak? Katanya mau ngomong…”

“Elu tidur di sini ntar?”

“Iya. Sampai laporannya kelar.”

“Kenapa nggak dibawa ke rumah Mister Jo?”

“Nggak aja…”

“Kok dia gak kesini? Besokkan libur?”

“Dia ngerjain tugas kampus…”

“Kenapa nggak ngerjain di sini?”

“Katanya repot…” jawab Mario sambil mengangkat bahunya.

Arie mangut-mangut.

“Bantuin gue, Mo.”

“Bantu apa?” Arie beringsut duduk di samping Mario.

“Elu sebutin isi datanya, gue yang ngetik. Capek gue bolak balik lihat kertas-laptop terus-terusan…”

“Sini,” Arie mengambil kertas laporan yang berada di samping laptop. “Yang mana lagi?”

“Nomer 134.”

“Ohhh, 134. Di kolom barang kertas A4. Jumlah 8 rim. Harga @Rp.35.000…”

***

Berkat bantuan Arie, Mario bisa menyelesaikan laporan mamanya lebih cepat. Saat jarum jam hampir menyentuh pukul 00.00 mereka kelar memasukkan semua data laporan di kertas ke laptop.

“Huaaaa… Kram rasanya kaki sama tangan gue…” kata Mario sambil menggeliat.

“Iya nih…” kata Arie sambil “mematah-matahkan” lehernya.

“Hoaaa—nghantugh ghueee…” Mario menggugam tak jelas sambil menguap.

“Gue matiin ya laptopnya?” tanya Arie.

“Ntar dulu. Gue tanya Mama dulu,” tahan Mario.

“Lho, apalagi? Emang masih ada data yang lain?”

“Bukan!” jawab Mario sambil melesat keluar kamar.

Tak berapa lama kemudian ia datang lagi sambil menaruh sebuah flash disk ke atas meja.

“Copy-kan datanya ke sini, Bray.”

Arie meraih Flash disk tersebut dan mencolokkannya ke laptop.

“Kalo udah laptopnya dimatiin yaaaa…” pesan Mario sambil berlalu keluar kamar lagi.

“Mau kemana lagi sih…” gumam Arie. Ia meng-copy data laporan yang mereka masukkan tadi ke flash disk. Setelah itu mematikan laptop sesuai pesan Mario. Saat ia hendak keluar menuju kamar mandi, ia berpapasan dengan Mario.

“Dari mana elu?” tanya Arie.

“Kamar mandi. Elu mo ke kamar mandi?”

“Iya.”

Mario mengangguk.

“Datanya udah gue masukin ke flash…” beritahu Arie.

“Sip!”

Di kamar, Mario melihat laptop sudah ditutup. Flash disk berada di atasnya. Ia mengambil flash tersebut dan langsung memberikannya ke sang mama. Saat ia balik ke kamar, ia sudah menemui Arie tiduran di ranjang.

“Elu nggak lapar, Mo?” tanya Mario.

“Nggak. Napa? Elu lapar?”

“Nggak. Kalo elu laper, nasi sama lauk masih ada tuh. Atau elu juga bisa masak mie sama telur…” terang Mario seraya berbaring di samping Arie.

“Nggak. Sebelum ke sini gue udah makan. Lagian nggak baik makan malam…”

“Hehehe…”

“Mendingan tidur aja deh kita…” ajak Arie.

“Yup. Tapi gue masih penasaran sama isi WA elu tadi. Sebenarnya elu mo ngomongin apa sih?”

“Nggak ada.”

“Ah! Gaje elu!”

“Dari dulu.”

“Ish!”

Arie terkekeh. Bersamaan dengan itu handphone Mario berbunyi.

“Ayah telepon…” gumam Mario.

Tawa Arie langsung berhenti.

“Walaikumsalam. Belum… Baru aja mo bobo… Udah, barusan aja udah… Tugas Ayah gimana?… Oohhh… Iya. Ngantuk dikit, hehehe. Ayah lagi apa?… Lagi tiduran aja… Oke. Have a nice dream, My Daddyyyy. Muach!”

“Hmmm… Cieee…!” goda Arie setelah Mario selesai teleponan dengan Johan.

Mario terkekeh. “Kenapa? Cemburu elu? Makanya cari cowok, hehehe…!”

“Cowok inceran udah ada yang punya sih…”

“Aduh! Gue gee-eeerrr…!”

“Hahaha.”

“Elu beneran suka sama gue, Mo?”

“Menurut elu?”

“Meneketehe.”

“Yup. Tapi sekarang nggak lagi.”

“Kok gitu?”

“Yaaahh, gitu deh. Setelah gue pikir-pikir, gue sama elu gak boleh punya perasaan lebih, selain temenan…”

“Kenapa? Apa karena gue udah punya Ayah?” selidik Mario.

“Salah satunya itu. Tapi masih ada alasan lain yang cukup gue yang tahu, hehehe…”

“Ish!”

“Elu itu gak se-“wah” yang gue pikir selama ini, wkwkwkw…!”

“Maksud elu?!”

“Hahahaha…!”

“Menurut gue elu itu gak usah mikirin cowok. Fokus ke cewek aja, Rie. Gak usah main cowok selagi masih bisa sama cewek. Pertahanin hubungan elu sama Juwi,” saran Mario.

“Hehehe. Iya…”

“Kalo gue pikir, kita berdua ini emang gak ditakdirkan buat bersatu sebagai pacar ya, Mo? Ditakdirkan cuma jadi sahabat sejati…”

“Kenapa elu bilang gitu?”

“Soalnya kita ini udah temenan sekian lama. Tapi baru kali ini kita tahu isi hati masing-masing. Sama-sama suka sejak dulu, tapi gak pernah ada celah yang membuat kita menyatu. Sekalinya dikasih tahu kebenaran, eh, gue udah punya orang lain… Elu juga udah punya pacar…” Mario menjelaskan.

“Jalan kita masih panjang kok. Apapun bisa terjadi. Siapa tahu itu hanya sebuah awal… Kita gak pernah tahu…” Arie menaruh kedua lengannya di belakang kepala.

“Iya sih…”

Sejenak mereka larut dalam pikiran masing-masing…

“Bentar lagi kita akan pisah, Bray…” Arie memecah kebisuan.

“Iya…” desis Mario.

“Kita bakal susah ketemu…” suara Arie tercekat.

“Iya. Tapi bukan berarti komunikasi kita akan terputus…”

“Iya…”

“Gue akan tetap kuliah di sini, Rie…”

“Ohhh…” desis Arie.

“Elu jadi ke Padang?”

“Iya.”

“Kenapa gak di sini aja biar kita tetap bisa sama-sama?”

“Hehe…” Arie tertawa lirih. “Saatnya kita menentukan jalan sendiri-sendiri, Mo.”

“Hehehe…”

Arie terdengar menghela nafasnya.

“Di sana banyak cowok cakep ya…” gumam Mario.

“Cowok cakep banyak, tapi cari yang klik susah…”

Mario tersenyum.

“Ah, sedih gue, Bray. Kita bakal pisah,” desis Mario.

“Gue juga. Sedih.”

“Elu kalo liburan sering-sering pulang ya.”

“Gak janji ya. Kalo lebih enak di sana ngapain pulang, hehe…”

“Jiah, belum pergi aja udah sombong elu!”

“Hehehe…”

“Awas kalo elu sombong! Pura-pura gak kenal gue. Gue kutuk jadi batu!”

“Ampun Bundoooo…! Hahaha…!”

“Indak ado ampun-ampunan!”

“Ini cerita Malin Kundang apa ibu tiri?”

“Ibu tirinya Malin Kundang, haha…”

“Stres.”

“Itu namanya kreatif. Pasti kalo dibikin cerita bagus tuh…”

“Ya udah, bikin aja sama elu sendiri…”

“Tunggu gue jadi penulis skenario. Bakal gue tulis!”

“Sesuatu yang nampak mustahil, wkwkw…!”

“Gak ada yang nggak mungkin…”

“Iya, tapi susah.”

“Kalo itu pasti. Hihihihi.”

“Udah ah, tidur yuk?”

Mario melirik jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi.

“Yuk!”

Mereka berdua merapikan selimut yang membungkus tubuh. Suasana pun berubah hening.

“Maafin kalo gue ada salah sama elu…” tiba-tiba Arie berujar lagi.

“Ya…”

“Gue pasti banyak banget salah sama elu. Secara nggak sengaja gue juga mungkin udah nyakitin hati elu…”

“Banget!” balas Mario lalu tertawa.

“Jujur, gue nggak pernah bermaksud begitu…” nada suara Arie terdengar serius.

“Gue tahu. Kalo gue nyakitin elu, juga nggak disengaja itu…”

“Gue bisa ngerasain itu sekarang.”

“Maksudnya?” Mario menoleh kepalanya ke Arie.

“Lupakan, hehe…”

“Grrr…! Dari tadi elu ngomongnya gantung mulu, Rie!” Mario gusar.

“Hahaha. Masa sih?”

“IYA!”

“Maaf deh…”

“Ngomongnya juga serius banget. Bikin gue takut aja elu, ah! Elu udah ada tanda-tanda bakal mati besok apa???”

“Haha, sial!”

“Kita itu udah temenan sejak lama! Udah tahu karakter masing-masing… Nggak perlu lah minta-minta maaf segala. Gue udah maafin apapun kesalahan elu, tanpa elu minta. Gue rasa elu juga gitu kan?”

“Hehe, iya…”

“Tuh!”

“Hehe…”

“Udah ah! Tidur yuk?”

“Gue belum ngantuk…”

“Ohhh…”

“Kalo elu mo tidur, duluan aja…”

Mario tak menjawab. Ia menatap langit-langit kamar.

Sekitar lima menitan hening…

“Bray, udah tidur?” tegur Arie.

“Belum…”

“Kok belum?”

“Belum ngantuk juga, hehe…”

“Ooohhh. Huffhhh…” Arie menghela nafas lewat mulutnya. “Gue boleh nanya soal hubungan elu sama Mister Jo?”

“Apa?”

“Elu kan macarin cowok straight. Elu yakin sama perasaannya?”

“Maksud elu? Rasa cintanya ke gue?”

“Ya.”

“Gue yakin aja.”

“Banyak yang bilang di forum kalo cowok straight itu gak bisa sepenuhnya kita genggam—”

“Ya, gue tahu,” potong Mario. “Jujur, rasa khawatir pasti ada. Kalo lagi berantem dan dia nggak mau memenuhi permintaan gue, gue sering mikir apa bener dia sayang sama gue? Makanya gue minta macam-macam sama dia buat ngebuktiin kalo dia bener-bener sayang sama gue.”

“Terus dia mau menyanggupi permintaan elu?”

“Sejauh ini iya. Meskipun nggak langsung mengiyakan, tapi apa yang gue inginkan selalu disanggupi Ayah.”

“Berarti dia benar-benar cinta sama elu.”

“Gue harap gitu. Karena selama ini gue selalu menuntut dia ini itu, dan dia menyanggupi. Terlepas dia tulus atau tidak, tapi gue ngerasa gue nggak perlu melakukan apa-apa lagi untuk pembuktian. Selama ini gue udah keterlaluan memaksakan kehendak…”

“Elu beruntung banget dapat bf yang kek gitu…”

“Hehehe…” bunga-bunga cinta bermekaran di dada Mario saat bibirnya mengumbar tawa.

“Berarti gue bisa ngelepasin elu sama Mister Jo…”

“Hah?” kening Mario berkerut.

“Elu kan adek gue. Sekarang elu udah punya kakak baru yang lebih baik dari gue…”

“Kakak gue? Pret!”

“Yaaa, gue yang anggap elu adek. Nggak tahu sih elu anggap gue apa…” nada suara Arie terdengar sendu.

“Ish! Elu sensitif amat, Bray?” Mario bisa merasakan kesenduan Arie.

“Dari dulu kok gue sensitif. Tapi orang lain aja yang nggak peka…”

“Aaarrggghhh! Elu tuh kenapa sih?! Jangan gitu ah!” Mario tak suka dengan sikap Arie yang dianggapnya aneh.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa!”

“Hmmm…”

“Elu itu gak bisa digantikan sama siapapun. Elu dan Ayah itu beda.”

“Eh?”

“Elu itu tetap teman terbaik yang gue punya dan udah gue anggap kakak sendiri. Elu itu punya tempat tersendiri di hati gue. Ayah itu pacar gue. Dia juga punya bagian tersendiri. Kalian itu sama-sama penting buat gue… Jadi gak usah banding-bandingin diri elu sama dia!”

“Iya… Gitu aja ngambek…”

“Elu sih…”

“Cup…cup… Netek dulu yuk?”

“Ada susunya nggak?”

“Coba aja dulu, siapa tahu anda beruntung…”

“Wkwkwkwk…!”

“Hehehe…”

“Nah, gitu dong! Gue tahunya Arie teman gue itu bocor. Jangan sok-sok mellow ah!”

“Bowcor… Bowcor…! Nah KAU!”

“Makanya pake yang “bersayap” biar gak bowcor…”

“Jiah! Elu kira gue nifas?!”

“Hah? Kok nifas?”

“Datang bulan.”

“Bego! Haids woy! Nifas itu kalo melahirkan!!!” teriak Mario di depan telinga Arie.

“Eh? Hehe… Salah sebut aja. Itu maksud gue…” Arie ngeles.

“Halah!”

“Kok elu tahu banget, Bray? Gue curiga elu ini pernah melahirkan, hihihi…”

“Melahirkan pejuh! Hahaha…!”

“Wih! Mau dong…”

“Mau apa? Mau pejuh?”

“Gue punya. Barter yuk?”

“Pejuh versus pejuh gitu?”

“Maunya sama apa?”

“Pejuh gue cuma untuk dia seorang… Hihihi.”

“WHA!!!” seru Arie.

“Kenapa?”

“Mister Jo doyan pejuh???!!!”

“Bego!”

“Hahahaha…!”

“Udah ah. Tidur yuk?” pungkas Mario.

“Ayolah…” Arie membungkus wajahnya dengan selimut…

***

Mario terbangun dari lelapnya. Tapi ia tak tahu pukul berapa, karena ia tidak melihat jam. Lagi pula ia terbangun hanya sebentar. Hanya saja ia bisa merasakan lengan Arie di seputaran pinggangnya. Arie memeluknya dengan erat.

Ia tersenyum dan kembali memejamkan mata. Pelukan Arie terasa hangat. Sangat erat dan terasa dominan. Bahkan pelukan itu lebih erat dari pelukan Johan. Untuk menggerakkan tubuhnya saja Mario kesulitan. Arie memeluknya seakan tak akan melepaskannya lagi…

Mario kembali terbangun saat mendengar kokok ayam bersahutan. Kali ini ia mendapati sebelah kaki Arie sudah berada di atas pahanya. Tubuh Arie menempel erat di tubuhnya. Saking dekatnya, ia bisa merasakan “gundukan” Arie menekan tulang ekornya.

Mario tersenyum geli. Ia menolehkan wajahnya ke Arie yang masih terlelap. Jujur, ia tergoda untuk “bermain-main” dengan temannya itu. Tapi ia cepat-cepat menghilangkan pikiran kotoran tersebut.

“Jangan macam-macam. Gue cuma milik Ayah,” hatinya memperingatkan.

Mario memalingkan wajahnya lagi. Tidak hanya itu, ia menyingkirkan kaki Arie dari pahanya. Tapi saat ia bergerak, Arie ikutan bergerak. Temannya itu malah memeluknya makin erat. Ia bisa merasakan milik Arie semakin keras.

Shit, umpat Mario. Ia mencoba menjauhkan punggung bawahnya dari Arie.

“Engghhh…” gumam Arie tak jelas.

“Rie, bangun…!” Mario menyikut dada Arie.

“Uugghhh… Dingiiinnn…” gumam Arie.

“Udah pagi, woy!!!”

“Pukul berapa sekarang, Bray?” tanya Arie dengan suara berat.

“Nggak tahu. Bentar lagi terang nih…”

“Gue masih ngantuk. Bobo lagi yuk…” Arie meraup pinggang Mario dengan tangannya. Membuat miliknya kembali menekan tubuh Mario.

“Eh…!”

“Bbrrrr…”

Mario menelan ludah. Entah apa hanya perasaannya saja, barusan ia merasakan Arie menggesekkan gundukan itu ke pinggang belakangnya.

“Elu dingin nggak?” tanya Arie.

Mario mengangkat bahunya saat hembusan nafas Arie menerpa daun telinganya.

“Biasa aja…”

“Gue dingin…” Arie membenamkan wajahnya ke tengkuk Mario.

Mario tak menjawab.

“Dingin banget ih di sini? Di rumah gue nggak sedingin ini…”

“Sama aja ah…”

“Nggak ah.”

“Perasaan elu aja…”

“Mungkin… Eh, nggak apa-apa ya gue peluk elu.”

“I-iya…”

“Huuhhhh….” lagi-lagi Arie menghembuskan nafas. Kemudian tanpa sungkan ia mendekap Mario lebih erat lagi.

Ada degupan tak biasa di dada Mario. Entah kenapa tiba-tiba rasa yang pernah ia persembahkan untuk Arie dulu muncul lagi dan perlahan merangkak naik ke permukaan. Hanya getaran kecil saja, tapi tetap saja menggoda.

“Bray, gue horny…” bisik Arie tiba-tiba.

13 komentar di “Bianglala Satu Warna Chapter XVl-lanjutan

  1. arixanggara 10/20/2013 pukul 7:44 am Reply

    Nanggung bener bang…..!!!

  2. Lee Eunzaihae 10/20/2013 pukul 9:39 am Reply

    ALHAMDULILLAH!!! Akhirnya update juga. >__<
    hahaha kasian Arie nya cemburu. tapi penasaran sama yang mau dia sampein ke si Mario. apa ya..

  3. lian25 10/20/2013 pukul 1:10 pm Reply

    puji tuhan update,,,,,

  4. Chochowlatte 10/20/2013 pukul 2:27 pm Reply

    Akhiirnyaa update QAQ

  5. PUTTRA P 10/20/2013 pukul 4:01 pm Reply

    updatenya lama bener ya,,,,tp menurut gw ttp si mario ama arie udah klop,,gak kaku gitu beda pas ma johan,,,
    saran : alurnya bisa agak dcepetin šŸ™‚

  6. ray_har 10/21/2013 pukul 11:22 am Reply

    updatenya lama banget yah -_- gue sampe tiap hari buka ini blog loh.. bener atas gue alurnya dipercepat dikit, dikiiit pleasee šŸ™‚

  7. yubdi 10/21/2013 pukul 3:59 pm Reply

    akhirnya update… tpi kok dikit ya…. si ari mo ngomongin apa tuh… jngn” dah putus am cwenya x_x

  8. Lee Eunzaihae 11/10/2013 pukul 11:20 am Reply

    haloooooooo…

  9. PUTTRA P 11/14/2013 pukul 1:11 pm Reply

    gimana nih kbar ceritanya? -_-

  10. Gerald 11/15/2013 pukul 11:36 am Reply

    Dilanjut dong Bro.. Dah kelamaan nih..
    SEMANGATTTTT!!!! (ąø‡’Ģ€āŒ£’Ģ)ąø‡

  11. ray_har 11/17/2013 pukul 9:57 am Reply

    mas bro lanjutannya manaaa… šŸ˜¦

  12. arixanggara 11/19/2013 pukul 5:52 pm Reply

    bang jangan sampe ilang geregetnya ni cerita, please arix mohon. Masa iya bang gak dilanjut ni cerita

    lanjut dong bang, apa butuh asisten buat ngetik nihhh…..???

    apa abang lagi ada masalah…..???

    cerita aja bang, jangan sungkan2 arix yakin fans abang pasti banyak solusinya. kalo gak di sini ya di forum.

    *maafSOTOY

  13. lian25 11/20/2013 pukul 1:22 pm Reply

    mas bro knpa g dilnjut crta ini…..dlnjut donggg pleaseee
    kangen mario dan johan nya

Tinggalkan Balasan ke arixanggara Batalkan balasan