Bianglala Satu Warna Chapter XVh

***Mario***

Bak sudah penuh. Airnya meluber kemana-mana. Gue langsung mematikan mesin pompa air yang biasanya kami sebut sanyo.

Oke, sekarang gue ngapain lagi? Hati gue bertanya. Berdiri di depan tombol on/off sanyo kayak orang mati ide.

Gue melirik ke arah luar—ke arah pintu kamar Ayah yang terbuka—dengan tatapan sayu. Gue mendesah berat. Dia pasti masih sit up. Gue mendesah lagi.

Gue makin linglung. Mengalihkan pandangan ke seisi dapur dengan tatapan hampa. Gue butuh aktivitas untuk melenyapkan kehampaan ini. Tapi di satu sisi, gue malas ngapa-ngapain.

Ah, iya. Nyapu lantai. Tugas rutin gue tiap pagi. Lagi, gue menghela nafas sebelum melangkah mengambil sapu yang tergantung di balik pintu.

Sapu di tangan. Gue bingung lagi. Mulai dari mana ya??? Akh, dari ruang makan aja deh! Gue menyeret kaki dengan malas. Gue masih pengen berdiri di depan tombol on/off sanyo tadi!

Gue nyapu dalam diam. Dan tak terasa sekarang gue udah nyapu di depan kamar aja. Telinga gue terusik sama suara berat dan terputus dari dalam kamar.

“Dduua ttujjuhhhh… Hhh, dduua delaphaann…”

Itu suara Ayah yang sedang sit up di lantai. Biasanya dia melakukannya sampai lima puluh kali tiap pagi. Makanya otot perutnya kencang. Sayang gue nggak bisa menikmati perut kencang hasil sit up-nya itu. Sigh!

Gue terus menyapu sampai ke ruang tamu. Ngeliatin tuh orang olahraga dan keringatan, bikin gue makin pusing. Bisa-bisa gue horny lagi, tapi ujung-ujungnya solo karier lagi di kamar mandi.

Punya pacar tapi gak bisa diajak duet. Payah!

Kadang gue bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya diantara kami berdua ini, siapa sih yang otaknya konslet? Gue atau Ayah?

Gue punya nafsu yang luar biasa besar. Hampir tiap hari milik gue bangun. Setiap mendengar, melihat dan mikirin hal-hal berbau seks, pasti bawaannya pengen mulu. Dan gue rasa itu normalkan? Semua cowok seperti itukan?

Nah, sementara Ayah, gue nggak pernah lihat dia horny. Bahkan saat bangun tidur sekalipun, gue nggak pernah menangkap basah miliknya lagi berdiri. Padahal setiap cowok itu mengalami morning erection.

Gue jadi bingung. Di antara kami berdua siapa sih yang abnormal? Guekah, yang otaknya selalu mikirin selangkangan mulu, atau Ayah yang sepertinya punya dorongan seksual sangat rendah atau barangkali aseksual.

Logikanya antara dua cowok muda, sehat, pacaran dan tiap malam tidur bareng, pastilah akan melewati malam-malam panas bersama. Minimal dalam satu minggu itu ranjang kami bergoyang untuk menyalurkan hasrat masing-masing. Tapi itu tidak berlaku bagi kami! Sudah enam puluh hari kami bersama, nggak pernah sekalipun kebablasan. Padahal udah beberapa kali gue mancing Ayah supaya hasratnya bangkit. Tapi hasilnya tetap nihil!

So, wajar dong kalo gue gusar?! Oke, emang yang namanya pacaran itu nggak melulu harus berhubungan seks. Nggak terkecuali buat pasangan gay kayak kami. Dan mungkin prinsip inilah yang dipegang sama Ayah. Karena di luar sana yang namanya pasangan straight itu nggak semuanya berhubungan seks sebelum menikah. Mungkin itu yang ingin diterapkan Ayah pada hubungan kami.

Arrghh! Kalo itu alasannya, gue keberatan. Itu sama saja kalo selamanya gue gak akan pernah merasakan dia. Dan jujur, gue butuh itu. Gue pengen ngerasain lebih dari sekedar ciuman dari dia.

Kalo lagi kesal begini, seringkali gue mikir yang nggak-nggak. Puluhan ide gila melintas di pikiran gue. Salah satunya pengen ngasih dia obat perangsang. Wkwkwkwk. Kalo udah dicekoki sama obat begituan, gue jamin Ayah nggak bakal nolak lagi.

Tapi tentu aja itu cuma sebatas ide gila. Gue nggak akan melaksanakan niatan jahat itu. Gue masih berharap dan menunggu Ayah sendiri yang memintanya. Bukankah yang alami itu lebih baik? Hehehe…

***

Selesai sarapan bareng, Johan berangkat ke kampus. Sementara Mario dititipi tugas untuk ke gudang sayuran di pasar untuk mengambil nota dari orang yang dipercayakan Johan mengelola keluar masuknya barang hasil bumi dari gudang mereka. Nantinya nota itu akan dicek kembali oleh Johan sekembalinya dari kampus.

Setelah mengambil nota, Mario tak segera kembali ke rumah. Melainkan ke rumah Arie. Hatinya terasa berat untuk menemui sohibnya itu, tapi ia juga ingin mendengar alasan kenapa Arie membohonginya.

Kebetulan sekali saat itu Arie ada di rumah. Orang tuanya lagi di toko pakaian mereka di Bang Mego, sementara Sagita, adik perempuan Arie sedang di sekolah. Di rumah cuma ada Arie seorang.

Seperti semalam, kekakuan antara mereka belum juga pudar. Arie nampak kikuk saat mengetahui bahwa Mario yang bertamu. Ia mempersilahkan Mario masuk dan menunggunya di ruang tamu. Begitu pula dengan Mario. Biasanya ia langsung membuntuti Arie ke kamarnya, tapi kali ini ia hanya duduk di ruang tamu sambil memandangi beberapa lukisan yang dipajang di dinding.

Rupanya Arie mengganti pakaiannya. Yang tadinya hanya mengenakan singlet, sekarang badannya sudah ditutupi dengan kaos oblong. Rambutnya juga disisir rapi. Ia langsung duduk di hadapan Mario sambil menaruh kemeja di atas meja.

“Ini kemejanya…” kata Arie.

Mario mengangguk. Ia mengambil kemeja itu dan menaruhnya tepat di hadapannya.

“Eng, elu udah sarapan?” tanya Arie.

“Sudah,” jawab Mario singkat.

“Oh…” desis Arie.

“Elu?” tanya Mario setelah kebisuan tercipta beberapa detik.

“Sudah juga.”

Mario menghela nafas. Ia menyandarkan tubuhnya agar lebih rileks.

“Mister Jo ke kampus?” tanya Arie setelah kebisuan berikutnya.

“Ya.”

Arie mengangguk-angguk.

“Elu sendirian di rumah?” tanya Mario. Pertanyaan konyol sebetulnya. Ia sudah tahu kalau disaat-saat seperti ini seluruh anggota keluarga Arie semuanya berada di luar rumah.

“Ya. Apak sama Amak di toko. Gita sekolah,” terang Arie. Penjelasan yang tidak perlu. Mario sendiri sudah tahu jawabannya.

“Elu kok nggak ikut jaga toko?”

“Nggak aja…”

Mario mangut-mangut. Berapa lama lagi basa-basi-busuk ini akan berakhir?

“Elu—”

“Udah—”

Mario dan Arie ngomong serentak, dan diam serentak pula.

“Elu bakalan ikut doa bersama besok?” tanya Mario.

“Iya. Elu?”

“Mungkin…”

“Kok mungkin? Emang kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

“Elu ada acara lain?”

“Nggak ada. Oh, ya, tadi elu mo ngomong apa?”

“Nggak ada.”

Lagi-lagi keheningan tercipta. Mario mengambil handphone-nya, sementara Arie melempar pandangan keluar rumah.

“Ehm! Ada yang mau elu sampain ke gue?” akhirnya Mario menyampaikan maksud kedatangannya.

Arie menoleh.

Mereka berdua berpandangan.

“Apa alasan elu nggak ngasih tahu ke gue kalo elu itu Ariesboyz?” tanya Mario to the point.

“Emangnya kalo gue kasih tahu kalo Ariesboyz itu gue, apa untungnya buat kita?” Arie balik nanya.

“Setidaknya, kejadian semalam nggak bakal terjadi. Nggak bakal ada kesalahpahaman…”

“Kita nggak lagi salah paham kan?”

“Tapi elu ngobohongi gue. Apa maksud elu nggak mau kasih tahu gue tentang siapa elu?”
“Gue rasa elu nggak penting tahu tentang ini. Hanya akan mempersulit persahabatan kita.”

Mario diam.

“Gue surprise banget pas tahu OHMario itu elu. Tapi sekaligus sedih juga mengingat status elu—” Arie tak meneruskan ucapannya.

“Kalo elu belum milik Mister Jo, gue nggak akan mundur kayak sekarang, Bray. Nggak akan ada cerita gue pura-pura jadi orang lain di depan elu. Gue bakal nembak elu saat itu juga. Saat gue tahu OHMario itu elu…”

Mario menelan ludah.

“Gue merasa nggak pantas buat ngasih tahu elu siapa gue, karena itu akan mempengaruhi hubungan kita. Nggak penting elu tahu kalo selama ini gue suka sama elu, iya kan? Buat apa coba? Sekarang elu udah punya Mister Jo. Elu sayang banget sama dia. Gue nggak mau merusak kebahagiaan kalian…”

“Ya. Elu benar. Gue pengen seperti sedia kala. Jadilah Arie yang selama ini gue kenal. Arie yang suka cewek, Bray gue yang straight. Karena selama ini gue tahunya elu seperti itu. Dan gue nyaman dengan itu. Gue sulit menerima kalo elu sama kayak gue…”

“Gue janji gue nggak akan berubah, Yo. Tetap jadi Arie yang dulu. Tapi setelah elu tahu keadaan gue, apa masih mungkin elu bisa mandang gue kayak dulu? Konyol banget kalo gue godain dan ngomongin cewek di depan elu, padahal kita berdua udah tahu rahasia masing-masing. Feel-nya nggak bakal dapet lagi…”

“Elu udah punya Juwi. Elu bi kan? Elu harus fokus sama cewek. Gue pengen elu sepenuhnya suka sama cewek!”

“Kenapa sih, Yo? Kenapa elu nggak mau nerima gue?”

“Karena–Karena sulit bagi gue terima keadaan elu. Sepanjang kita sama-sama, yang tertanam di benak gue itu elu itu straight! Dan gue terbiasa dengan itu. Rasa sakit serta perjuangan gue menekan perasaan suka gue buat sohib gue selama ini, gue terima semuanya. Gue terbiasa dengan kehampaan itu. Gue nikmati semuanya. Gue terus berharap suatu saat elu juga belok kayak gue, dan kita jadi pasangan. Tapi sampai titik gue menyerah mengharapkan elu, harapan itu cuma harapan. Dan di titik itu, gue berbesar hati menerima kalo elu cowok straight yang nggak boleh diusik. Tapi kenapa sekarang elu tiba-tiba hadir dengan membawa cerita baru? Gue keberatan, Rie.”

Arie tersenyum kecut. “Gue telat, Yo. Dan gue tahu itu. Makanya sejak gue tahu elu itu OHMario, gue lebih milih nggak kasih tahu elu. Itu alasannya! Biar hubungan elu sama Mister Jo dan hubungan kita berdua tetap seperti semula…”

“Ya, gue inginnya kayak gitu.”

“Tapi bukan berarti dengan masalah ini kita nggak bisa kayak dulu, Yo. Antara elu dan gue udah nggak ada rahasia lagi. Kita bisa lebih dekat lagi karena ini. Ada kesamaan yang kita berdua punya dan bisa memperkuat pertamanan kita…”

“Gue harap gitu sih. Punya teman yang sama kayak gue di dunia nyata. Meskipun sebenarnya yang gue harapkan jadi teman gue itu bukan elu…”

Arie tersenyum tipis.

***

***Mario***

“Yeah, beresss…!” gue mendengar desis lega dari Ayah. Ia barusan saja merampungkan pengecekan nota-nota yang gue ambil dari gudang tadi siang.

Gue cuma mangut-mangut lalu kembali menatap layar HP.

Dari tadi gue baca cerpen dan fanfiction di internet. Tentu aja yang bertema gay. Kalo baca cerita-cerita jenis ini gue lumayan suka. Apalagi kalo ada bonus adegan seks-nya. Wkwkwk. Senang aja bisa merasakan kebahagiaan dari para tokohnya dan nggak jarang gue berkhayal kalau para tokoh itu adalah gue. Sejenak melupakan dunia nyata dan berfantasi di dunia khayal yang tanpa cela sangat menyenangkan!!!

“Serius banget sih mantengin ponselnya?” tiba-tiba Ayah udah duduk di samping gue. Kepalanya condong sedikit ke gue.

Gue nggak jawab dan terus baca. Dia bisa lihat apa yang gue baca.

Sedetik kemudian gue mendengar desah senyumnya. Satu ciuman juga mendarat di pipi gue. Gue nggak merespon. Karena gue tahu cuma bakal berakhir sampai di situ.

Benar. Selesai ngasih ciuman kecil di pipi, Ayah kembali ke dunianya. Nyalain TV dan duduk bersandar di kepala ranjang. Yaaaa, seperti malam-malam biasanya.

Huhhffhh…! Gue mendesah berat. Entah kenapa dua hari belakangan ini gue suka banget mendesah. Gue juga mulai merasa bosan dengan hubungan kami. Tiba-tiba aja gitu merasa jengkel sama semuanya. Terutama dengan sikap Ayah yang nggak ada mesra-mesranya sama gue. Well, padahal dari awal gue udah tahu sikapnya memang begini, dan itu bukan masalah besar. Tapi sekarang gue menjadikan itu suatu masalah. Sekali lagi gue nggak tahu kenapa. Gue jadi orang yang nggak sabaran dan nggak puas cuma dapat ciuman doang dari hari ke hari.

Tuh, kan??? Pikiran gue mulai ke selangkangan lagi!!!

Gue mengangkat kepala dan melirik sejenak ke Ayah. Dia nampak fokus ke TV. Nonton Indonesia Lawyer Club. Tontonannya berat banget. Gue mengumpat dalam hati. Kalo jenis tontonannya begini, mana bisa bikin horny!

Grrrr…! Gue geram banget. Huhhh, kenapa sih gue bisa suka sama dia? Aneh banget deh. Dari awal dia itu kaku banget. Emang sih dia ganteng dan baik. Dia juga bisa romantis. Cuma kadar romantisnya itu dikiiiit banget! Gue merasa diperlakukan kayak pacar itu cuma pas di Bengkulu beberapa waktu lalu doang. Selebihnya gue ngerasa hubungan gue dan dia ini nggak lebih dari sebatas hubungan kakak-adek.

Akh, coba kalo gue pacaran sama Arie…

ARIE!

Hati gue serasa melompat dari tempatnya.

Ya, Arie. Nggak nyangka banget ternyata dia belok juga!

Eh, dia kan suka sama gue?!

Hati gue tiba-tiba muram mengingat kenyataan itu.

Arie… Dulu gue suka pake banget sama dia. Di hati gue cuma ada dia. Nama dia selalu mengisi hari-hari gue. Rasanya pengen dekat-dekat dia mulu. Seakan-akan cuma dia cinta sejati gue. Seakan-akan gue nggak akan pernah berhenti mencintai dia. Besar banget rasa cinta gue ke dia. Gue nafsu banget sama dia. Suka jadiin dia bahan coli gue.

Tapi ternyata perasaan cinta yang menggebu-gebu itu bisa padam juga. Berganti ke lain hati. Pindah ke Ayah. Dan perasaan suka gue ke Arie dulu hilang tak berbekas. Dan kini, perasaan cinta yang menggebu-gebu itu teruntuk Ayah. Sama persis seperti yang dulu gue rasaian ke Arie.

Akh, seandainya gue nggak ketemu Ayah, mungkin sampai detik ini gue tetap mengharapkan Arie. Dan… Kayaknya bakal bahagia banget deh pas tau dia belok juga dan suka sama gue!

Wih, kira-kira apa yang bakal terjadi, ya? Gue dan Arie pasti bakal melewati hari-hari yang luar biasa. Secara gue sama dia kan sama-sama gila. Mengingat otak kita berdua kerap berada di selangkangan, gue yakin bukan sekedar ciuman dan pelukan yang kita lakukan, tapi lebih dari itu.

Aahhhh, pasti hot banget! Arie pasti bisa membahagiakan gue dan dia tahu apa yang gue mau.

***

Arie tersenyum manis ke gue. Gue balas menatapnya cuek, menunggu apa reaksinya.

Arie melompat, bak raja hutan langsung menindih gue. Ia nampak beringas. Langsung mencari bibir gue dan melumatnya dengan ganas.

Celana gue langsung terasa sempit. Begitu juga dengan Arie. Miliknya yang keras menekan pangkal paha gue. Bentuknya gede.

Gadang bana, gue ngakak dalam hati.

“Kenapa, Mo?” Arie melerai ciumannya.

“Apa?”

“Mata elu melotot gitu…”

“Kont*l elu gadang, Mo!” gue menjentik miliknya keras.

“Seak! Sakit bengak*!” umpat Arie. Ia tanpa permisi menurunkan restleting gue dan mengeluarkan junior gue. Bukan hanya itu, ia juga menggenggam punya gue kuat dengan telapak tangannya yang hangat.

“Mooo, Mooo, sakiiittt…!”

“Mampus! Biareeeennn!” Arie menguatkan genggamannya.

“Woy, Mo, Seak! Patah bego!” gue memukuli dadanya.

Arie malah ngakak. Tapi sedetik kemudian ia membungkukkan kepalanya ke arah selangkang gue. Ia mengecup kepala junior gue.

Ouch…! Gue menggeliat kecil.

“Gimana rasanya?” Arie mengerling sejenak ke gue sebelum melakukan aksi yang sama untuk kedua kalinya.

“Gue udah nunggu sekian lama. Hampir tiap hari ngayal jorok tentang elu. Kalo gue tahu elu homo juga, udah kapan hari gue perkosa elu!” kata gue gemas.

Arie ngakak. “Elu kira cuma elu aja? Gue juga kaleee pengen perkaos elu, hahaha…!”

Gue menekan kepalanya ke arah selangkangan gue lagi. Gue pengen dia ngelakuin itu lagi…

HHUH!

Tiupan dingin di telinga gue. Refleks gue menutup telinga dan menoleh dari mana tiupan itu berasal.

Sepasang mata yang sedikit menyipit tengah memandangi gue. Gue yakin tiupan tadi dari dia.

“Kayaknya lagi berpikir keras nih? Sampai-sampai yang di bawah ikutan keras…”

Gue bergerak dan membetulkan posisi junior gue yang terasa sesak di sangkarnya.

“Marioooo, Mario…” Ayah geleng-geleng kepala.

Gue menghela nafas sambil memejamkan mata. Barusan gue ngelamun jorok, berandai-andai apa yang akan terjadi jika gue pacaran sama Arie. Dan hasil khayalannya luar biasa. Sayang keburu diganggu sama tetangga sebelah!

“Baca stensilan ya kamu?”

“Ya. Kita praktekin yuk?” ajak gue spontan.

Ayah melirik gue dengan tatapan tajam.

Gue membalas tatapannya dengan santai. Nggak hanya itu, gue bahkan beringsut naik ke atas pahanya.

Ia merengut mengikuti gerakan gue.

Gue melempar senyum sesensual mungkin. Kali ini gue nekat. Kalo cara lembut nggak berhasil, mungkin gue harus terang-terangan minta dia menuruti keinginan gue.

“Ceritanya panas banget. Bikin Oh horny banget,” gue mendesis di pangkal leher Ayah. Sisa horny akibat lamunan tadi masih terasa sampai sekarang.

Ia tetap mengikuti gerakan gue dengan waspada lewat ekor matanya.

Gue menjatuhkan lengan kanan gue ke belakang telinga kanannya. Lantas turun menyusuri garis rahangnya.

Sejauh ini ia tetap diam saja. Mungkin ini permulaan yang baik.

Gue mengecup sudut bibirnya. Turun ke dagunya. Turun lagi ke sepanjang lehernya. Lantas naik lagi ke dagunya. Bergerak ke rahangnya. Dan kini telinganya. Gue tiup pelan belakang telinganya sebelum gue bawa ke dalam mulut gue.

Kali ini Ayah bereaksi. Ia mengangkat bahunya. Barangkali ia merasa geli. Gue pun mengemut telinganya dengan dramatis.

Cukup lama gue bermain dengan salah satu anggota tubuh paling sensitif itu. Tapi sampai saat ini Ayah tetap diam. Hanya nafasnya saja yang sedikit memburu.

Gue nggak bakal nyerah. Mungkin gue harus lebih gigih lagi!

Gue meninggalkan telinganya dengan satu kecupan di daun kupingnya.

“Udah?” tanya Ayah sambil mengganti channel TV.

“Belum!” jawab gue cepat.

Ini sebuah lampu hijau, eh?!

Gue mengecup bibirnya cepat. Matanya membesar.

Gue mengedip nakal. Bibirnya mengatup rapat dan rahangnya bergerak-gerak.

Gue gak perduli itu pertanda apa!

Gue langsung mengangkat kaos oblong longgarnya. Sasaran kali ini adalah nipple merah kecokelatannya.

Salah satu titik paling sensitif setelah junior. Gue yakin sentuhan gue di nipple bakal meruntuhkan pertahanannya.

Gue langsung mendaratkan bibir gue ke nipple-nya. Melumat titik kecokelatan itu dengan lahap.

Tubuh Ayah merespon dengan cepat. Ia mengeraskan perutnya. Dan mendorong kepala gue menjauh.

“Cukup, Oh!” bibirnya bergetar.

“Kenapa?” gue menatapnya. “Ini belum selesai,” sambung gue sambil kembali melumat nipple-nya.

Tak hanya itu, gue semakin berani sekaligus bernafsu saat ini. Gue hisap nipple-nya dengan kuat, sementara tangan gue menggapai ke bawah, meremas selangkangannya. Gue menemukan miliknya yang mengeras. Yeah! Gue menyusuri batang kemaluannya dengan permukaan jempol gue.

BRUG!

Sedetik kemudian tubuh gue sudah terhempas ke ranjang. Belum sempat gue memikirkan sesuatu, posisi gue sekarang sudah berubah telungkup.

Gue mengerang kesakitan saat kedua lengan gue dipelintir dan ditarik ke belakang. Dada gue ditekan ke ranjang.

“Puas? Sudah cukup main-mainnya!!!”

Gue menahan nafas seiring semakin dalamnya tekanan di dada gue.

“Kamu semakin kurang aja, Mario.”

Gue membuka mulut lebar-lebar. Berharap oksigen yang gue hirup lewat mulut bisa mengurangi rasa sesak yang seakan ingin meledakkan dada.

Gue memejamkan mata. Rasa sakit dan kecewa melingkupi gue sepenuhnya. Lagi, gue gagal dan diperlakukan kayak gini sama dia. Rasa panas menyebar ke seluruh tubuh gue.

“Sorry. Lepasin!” pinta gue dingin.

“Asal kamu nggak—”

“Iya. Gue nggak akan pernah ngelakuin ini lagi!” potong gue cepat.

Pelintiran di lengan gue mengendur dan dilepas. Begitu juga tekanan di dada gue. Gue langsung menghela nafas berkali-kali dan bangkit.

“Gue nggak ngerayu elu lagi. NGGAK AKAN!” ulang gue dengan nada emosional.

Gue marah, gue terluka dan harga diri gue tercabik dalam waktu yang sama.

Ayah—Johan maksud gue, menatap gue dengan ekspresi datar seperti biasa. Entah gue nggak tahu apakah memang ia terlahir sebagai manusia dengan mimim ekspresi, atau ekspresi minimalis itu ia dapatkan dengan latihan bertahun-tahun selama hidupnya. Yang jelas gue udah muak dengan ekspresi sok cool-nya itu. Terutama malam ini. Ini malam puncak kekesalan gue!

“Sorry udah bersikap lancang ke elu. Gue cuma pengen ngerasain—Ah sudahlah!” gue malas ngomong lagi sama dia. Yang ada malahan entar gue terdengar mengiba lagi.

Gue turun dari tempat tidur dan melesat ke luar kamar.

Gue terdiam di depan ruang tengah. Nafas gue masih memburu. Emosi gue masih di atas ubun-ubun.

Oke, desis hati gue. Gue nggak akan ngerayu elu lagi. Gak akan minta elu berhubungan seks lagi. Nggak akan! Tekad hati gue.

Gue janji. Gue benar-benar serius kali ini. Pun jika dia minta putus dari gue, gue siap. Gue bakal terima. Gue bisa cari yang lebih baik dan lebih ekspresif dari dia!

Darah gue menggelegak hebat. Gue pengen pergi dari sini. Gue nggak mau lihat muka dia.

Kemana?

Pulang ke rumah aja.

Ya, mendingan gue balik ke rumah. Nggak betah di sini!

Gue berjalan cepat menuju kamar. Mengambil jaket dan kunci motor. Tanpa pamit gue langsung melarikan motor gue ke dalam kegelapan malam.

***

notes:
*bengak : bego

11 komentar di “Bianglala Satu Warna Chapter XVh

  1. chochowlatte 08/15/2013 pukul 4:37 am Reply

    pengennya ayah tetep sama mario :3

  2. bebongg 08/15/2013 pukul 6:21 am Reply

    hopeless deh gue Ayah, emang gak bisa kayanya 😥
    padahal gue dari awal tetep berharap kalo Ayah bisa sama Mario, sekarang terserah bang santay deh :’)
    udah gak bisa berkhayal lebih skg mah gue 😥

    tapi semoga Ayah cepetan minta maaf sama Mario :’)

  3. sasukechan 08/15/2013 pukul 8:40 am Reply

    asik sebentar lagi mario-johan bakalan bubar abis itu arie-juwi juga bubar trus arie-mario bakal jadian #evilsmirk tertawa puas

  4. PUTTRA P 08/15/2013 pukul 9:21 am Reply

    klo soal perasaan gw tetep milih arie soalnya terlihat dari ucapan serta ekspresinya arie dewasa dan pengertian,,,,,wlpun johan itu pacar mario gw hnya ngrsa ikatan adek kakak aja, gk bisa lihat ikatan seorang pacar yg lg dmam cinta. semoga mario bisa sama arie lg 🙂

  5. arixanggara 08/15/2013 pukul 9:31 am Reply

    wewwww mario, kamu itu harus tegas sama jo. Jangan nungguin dia yg mutusin Kamu

  6. jacob damelian S(lian25) 08/15/2013 pukul 9:57 am Reply

    Sabar mario,,,
    Berharap nya mario ttp ma johan,,,
    Tapi kalo liat sikap johan kasian jga ma mario nya bkl ngrsa mkin sakit nantinya,,,,
    Smga bro santay cpt update nya
    Huahhh ikutan jadi ngrsa kyk marioooo nyesss lahhh

  7. mr_sulivan09 08/15/2013 pukul 2:02 pm Reply

    Bang santay ini nanggung banget loh,sumpah baca cerita ini kebawa banget emosinya

  8. Halrien 08/15/2013 pukul 3:18 pm Reply

    Awal konflik.

  9. Dan 08/16/2013 pukul 1:45 pm Reply

    Mungkin Jo impoten #pluaaaak :3 Aslinya Top Pasif Bottom Agresif tapi tidak bisa berbuat apa apa itu badai bangeeeet wkwkwk

  10. Tsu no YanYan 08/16/2013 pukul 2:13 pm Reply

    Ihh Mario ngayalnya ga nahan banget!>//< tapi nanggung ah~ *getokJohan*digetokbalik

    Hmmmm Johan marah, wajar sih.. Tapi kasian Mario TToTT

    Lanjut bang! Penasaran mampus! T.T

  11. ray_har 08/16/2013 pukul 8:28 pm Reply

    ikutan emosi..! udaah johan putusin ajaa, mendingan sama arie #gue marah nih :p

Tinggalkan Balasan ke jacob damelian S(lian25) Batalkan balasan